Setelah SOLO, Kini BUTON


Sultan Buton diarak keluar masjid

DI beberapa daerah, kekuasaan tradisional menjadi ajang konflik yang diperebutkan banyak orang atas nama masa silam. Setelah sebelumnya Solo yang dilanda konflik antara dua kerabat keraton, kini Kesultanan Buton kembali diterpa konflik yang sama. Sebanyak tiga orang mengaku sebagai sultan yang tengah menjabat dan merasa paling benar. Fenomena ini menggambarkan apa? Bagaimanakah memosisikan trah kekuasaan tradisional di abad milenium ini? Pelajaran apakah yang bisa dipetik dari konflik ini?

***

DIIRINGI tatapan banyak orang, lelaki berjubah putih itu, dr La Ode Izat Manarfa memasukkan kakinya ke batu popaua sebagai simbol pelantikan dirinya sebagai Sultan Buton ke-40. Tak lama setelah itu, dua orang lelaki yang berbaju adat Buton lalu menghunus golok. Mereka lalu berteriak barang siapa yang tak setuju dengan penobatan itu, maka disilahkan maju ke depan. Ia menantang duel siapapun yang menolak.

Suasananya sedemikian sakral. Selama puluhan tahun, rakyat Buton tak pernah menyaksikan acara sakral tersebut. Mereka hanya mendengarnya dari kisah-kisah yang dituturkan secara turun-temurun, atau melalui catatan peneliti asing yang pernah menyaksikan peristiwa serupa pada tahun 1930-an. Tak pelak, pelantikan itu mendapat atensi luas dari banyak orang, menjadi diskursus di banyak media sosial, dan menjadi topik diskusi dan amatan di mana-mana.

Mereka yang menyaksikan ritual sakral itu sama paham bahwa secara resmi seorang sultan baru telah dilantik. Selanjutnya, sang sultan lalu menuju baruga atau balairung. Di sana, ia menerima semua kepala distrik di seluruh wilayah Kesultanan Buton yang datang memberikan sembah sekaligus pernyataan siap untuk diperintah. Mereka memberikan penghormatan, lalu berjabat tangan dengan sultan sebagai tanda pengakuan atas manah yang barus aja diemban.

Pelantikan itu baru saja terjadi Jumat (13/12) silam. Meskipun posisinya tidak lagi sebagai sultan yang memiliki kuasa atas seluruh wilayah Buton, pihak lembaga adat kesultanan merasa perlu untuk tetap menghidupkan lembaga kesultanan. Mereka menganggap bahwa keberadaan seorang sultan sangat penting sebagai payung bagi pelestarian nilai-nilai adat dan kebudayaan.

Sayang, sebelum pelantikan terdapat sebuah insiden. Seorang pria yang mengaku sebagai pengikut sultan sebelumnya La Ode Muhammad Jaffar hendak menghentikan ritual pelantikan. Ia menggelar sajadah pada posisi sultan di Masjid Agung Keraton Buton. “Pelantikan hari itu tidak sah, sebab tak ada alasan kuat untuk memakzulkan sultan sebelumnya, La Ode Muhammad Jaffar. Saya menentang pelantikan ini,” kata pria tersebut. Pertengkaran pun terjadi, hingga akhirnya pria itu dipaksa meninggalkan masjid.

Pertengkaran ini kian membuka lapis-lapis kenyataan bahwa posisi sultan diklaim oleh beberapa orang. Selain Izat yang baru saja dilantik, ada dua sosok lain yang juga mengkalim diri sebagai sultan. Masing-masing dari mereka memiliki pembenaran sendiri atas posisinya. Pertanyaannya, mengapa mereka harus berkonflik? Apakah sang sultan tetap memiiki legitimasi yang kuat di kalangan rakyatnya?

Ada beberapa diskusi yang bisa dibedah di sini. Pertama, ada anggapan bahwa kepentingan politik lokal telah mengintervensi proses pemilihan sultan. Ada dugaan bahwa sejumlah partai politik dan kepala daerah telah mencampuri proses pemilihan ini. Beberapa orang menilai bahwa politik telah mengintervensi ruang kebudayaan sehingga pelantikan seorang sultan pun menjadi proses yang kehilangan nilai-nilai sakral sebab telah diintervensi. Saya teringat tuturan sosiolog Daniel Bell bahwa politik akan selalu mencari legitimasi pada tingkat kebudayaan. Meskipun saya sendiri tak melihat korelasinya di Buton, namun anggapan ini cukup subur di kalangan beberapa orang.

Kedua, konflik itu mencuat sebagai akibat dari tiadanya ruang-ruang dialog untuk mendiskusikan berbagai hal dalam kebudayaan kita secara terbuka dan konstruktif. Pengalaman saya di daerah mengajarkan bahwa ada energi besar untuk membahas budaya, namun tak pernah ada kanalisasi yang tepat untuk mendiskusikannya. Idealnya, diskusi kebudyaan bisa secara aktif terwadahi dalam koridor lembaga adat. Namun sejak pemerintah RI memberangus semua kerjaan dan lembaga adat, maka ruang diskusi itu mampet selama puluhan tahun.

Pada masa Orde Baru, diskusi budaya Buton benar-benar punah di tangan negara. Buton mendapat stigmatisasi sebagai basis Partai Komunis Indonesia (PKI) sehingga diskusi yang menyangkut kebutonan juga perlahan dihapus. Lembaga kesultanan tak pernah bisa dibangkitkan. Bahkan ceramah masjid yang dahulu dilakukan dalam bahasa lokal diganti degan bahasa Indonesia. Kebudayaan Buton memasuki fase tiarap.

Sultan Buton keluar dari masjid
Sultan Buton menunggu di balairung

Ketika keran demokrasi dan kebebasan dibuka, diskusi itu tak menemukan saluran yang tepat. Banyak pihak mengklaim diri sebagai budayawan, namun tak membuka ruang-ruang dialog untuk meletakkan satu persoalan secara proporsional. Banyak yang mengklaim dirinya sebagai turunan bangsawan atau sosok penting pada periode kesultanan lalu menyebut dirinya lebih tahu dari yang lain. Celakanya, tradisi penulisan naskah yang membuat Buton begitu masyhur di masa silam kian lenyap di masa kini. Padahal jika debatnya dilakukan secara tertulis, maka pasti akan menjadi catatan penting tentang polemik kebudayaan yang konstruktif dan bisa diakses seluruh lapisan masyarakat.

Ketiga, harus diakui bahwa sejak awal Indonesia berdiri, semua sistem pemerintahan tradisional dihapus oleh negara. Pemerintah lalu menyeragamkan sistem pemerintahan hingga tingkat desa. Padahal di zaman VOC, birokrasi pemerintah kolonial hanya sampai di level pemerintah daerah. Pemerintahan atau kerajaan lokal tetap dipertahankan sehingga tetap memiliki legitimasi yang kuat di kalangan rakyat jelata.

Pengecualian diberikan bagi Yogyakarta. Sejak lahirnya Indonesia modern, hanya Yogyakarta yang diakui secara resmi dan diakomodasi dalam ketatanegaraan. Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah Yogyakarta punya kontribusi besar bagi Indonesia pada awal berdirinya. Alasan ini bisa menimbulkan reaksi dan protes. Haruskah kerajaan-kerajaan lain mengadakan perlawanan hingga berdarah-darah dulu untuk bisa diakomodasi? Haruskah memutar mundur jarum sejarah kembali ke awal pergerakan lalu mendukung republik agar kerajaan tradisional lainnya diakui? Bukankah kesediaan untuk menyerahkan tanah dan kampung halaman sebagai bagian dari NKRI adalah sebuah keikhlasan yang amat besar dan pantas untuk dihargai oleh negara?

Beberapa tahun lalu, saya berbincang dengan seorang raja di kawasan timur Indonesia. Ia mengeluh, sejak keluarnya UU No 5 tahun 1974, serta Undang-Undang Pokok Agraria, semua tanah yang dahulu menjadi hak kerajaannya tiba-iba dikuasai oleh pemerintah pusat. Ia bersedih bahwa kerajaannya menjaga hutan dan laut sebagai warisan bagi generasi mendatang, tiba-tiba pemerintah pusat dengan entengnya menyerahkan kerajaan itu pada investor tambang dan hutan.

Keempat, pemerintah kita memang sejak awal mendua terhadap posisi lembaga adat dan pemerintahan tradisional. Di satu sisi menentang, namun di sisi lain, sering pua memanfaatkannya. Barangkali, kita bisa berasumsi bahwa orientasi masyarakat telah lama bergeser. Tapi anehnya, dalam banyak situasi konflik, sistem adat justru lebih efektif dalam meredam berbagai ekses konflik tersebut.

Di Buton sendiri, pernah ada konflik besar pada tahun 2003. Penyelesaian secara adat jauh lebih efektif ketimbang mediasi lewat camat dan lurah. Demikian pula yang terjadi pada beberapa tempat di kawasan timur Indonesia. Konflik Ambon mengajarkan kita bahwa penyelesaian dengan cara adat bisa menjadi jalan keluar dari perselisihan. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengakomodasi adat yang dikelola dalam pemerintahan tradisional sebagai mitra kuat untuk menggerakkan masyarakat?

gadis-gadis Buton
dua orang anak menunggu penobatan

Kelima, eksistensi pemerintah adat memang masih sangat kuat melekat di masyarakat. Yang saya saksikan di Buton, banyak desa-desa di banyak pelosok terpencil yang masih mempertahankan sistem pemerintahan tradisional. Meskipun di masa Orde Baru, Kesultanan Buton sudah lenyap, namun di desa-desa sistem itu masih ada dan menjadi payung bagi aktivitas. Ketika rakyat menggelar pesta panen, menentukan saat menanam, menggelar pernikahan, menentukan saat melaut, juga saat memberikan persembahan kepada alam, keberadaan pemangku adat sangatlah dibutuhkan. Adat juga menjadi payung nilai bagi warga untuk memuliakan sesama dan memberikan penghormatan bagi leluhur serta alam semesta. Tanpa nilai-nilai adat, masyarakat bisa terjerembab pada krisis nilai yang kelak akan membawa bencana bagi masyarakat itu sendiri.

***

NAH, pelajaran apakah yang bisa dipetik dari konflik ini? Saya melihat makna positif yakni kebudayaan kembali diperbibcangkan, dibahas, ditelaah, dan didiskusikan secara terbuka. Saya melihat cahaya terang bahwa ada ikhtiar untuk membicarakan ulang berbagai tradisi yang lama punah dan hanya bisa diketahui melalui buku-buku sejarah. Di tengah krisis nilai dan orientasi yang semakin banyak, maka seorang sultan bisa menjadi juru bicara atas nama adat dan budaya. Tentu saja, ini berpulang pada kemampuan sultan untuk memainkan peran.

Saya membayangkan bahwa seorang sultan bisa menjadi pemimpin alternatif yang bisa merepresentasikan suara kebudayaan rakyat kebanyakan di tengah rusaknya birokrasi pemerintahan karena tekanan politik lokal. Di tengah kelangkaan tokoh Buton yang bisa berbicara di level lokal dan nasional, seorang sultan bisa menjadi juru bicara yang akan menautkan kebanggaan komunitas, menjadi ikatan kuat yang menyatukan masyarakat Buton yang tercerai-berai atas perbedaan kelompok dan kepentingan, serta menjadi juru damai yang efektif untuk menjaga ikatan komunitas melalui mekanisme hukum adat.

Posisinya yang kuat secara adat ini mestinya menjadi jalan terang untuk menyelamatkan banyak tradisi. Sayang, kepentingan politik seringkali mengaburkan cara pandang banyak orang atas kebaikan yang bisa dibawa seorang sultan. Tapi saya ingin melihatnya secara positif. Sebab saya masih meyakini bahwa ada banyak jalan positif jika kita bersedia membuka hati untuk menelusurinya.


Baubau, 15 Desember 2013

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Keren yah tag2 fotonya.. Hehehe
buton hrus bsa blajar pda masa lalu buton yg bgtu mahsyur dlunya mmpunyai benteng terbesar didunia. Brarti buton adalah daerah dan masyarakat yg luar biasa. Mgkin ini krn era orde baru yg mengkucilkan buton sehingga msyaraktnya tidak berkembang ataukah msyarakat buton sndiri yg mlupakan bdaya dan adatnya?? Sya yakin Jika Budaya dan adat buton diamalkan dan dilestarikan buton akan lebih sejahtra lgi..

Posting Komentar