plakat dari Kompasiana |
DUA plakat itu tak puas-puasnya saya
pandangi. Saya memang baru menerimanya kemarin. Padahal, plakat itu diserahkan
secara resmi di Jakarta pada bulan November silam. Jarak yang sedemikian jauh
antara Pulau Buton dan Jakarta telah merintangi langkah saya untuk menerimanya.
Kini, plakat itu ada di tangan. Saya masih tak percaya kalau saya yang
beruntung menerimanya.
Plakat pertama bertuliskan Kompasianer
Tahun 2013 Sedangkan plakat kedua bertuliskan Reporter Warga Terbaik 2013. Penghargaan
ini sangatlah membahagiakan buat saya. Betapa tidak, yang menyerahkan
penghargaan adalah Kompasiana, sebuah portal citizen reporter paling besar di
tanah air. Bisa terpilih dari sekian ribu para blogger Kompasiana di seluruh
Indonesia adalah hal yang membahagiakan, sekaigus menjadi tantangan di masa
depan.
Di ranah blog dan social media, saya
bukanlah seorang penulis yang produktif. Saya hanya menulis ketika sedang senggang,
dan ketika tidak terbebani banyak tugas. Makanya, saya tak pernah berharap
banyak ketika nama saya masuk dalam nominasi. Bagi saya, bisa terpilih adalah
satu prestasi besar di tengah ranah maya yang di dalamnya ada banyak penulis
hebat.
Malah, saya menganggap kalau kandidat lain
lebih potensial untuk memenangkan penghargaan. Mereka cukup produktif dan rajin
memposting gagasan. Makanya, ketika tahu bahwa saya terpilih, maka saya yakin
bahwa itu hanyalah keberuntungan semata. Penghargaan apapun jelas tak penting
ketika membuat seseorang kehilangan kepekaan untuk terus mengasah diri. Jauh
lebih baik tak memenangkan apapun namun terus mengembangkan kapasitas,
ketimbang menang cuma sekali, selanjutnya kemampuan tak berkembang.
berkat blog, saya bisa berkunjung dan memotret di Phuket, Thailand |
Saya menerima banyak berkah di bidang
penulisan pada tahun 2013 ini. Bulan Mei silam, saat masih tinggal di Amerika, artikel
saya masuk dalam jurnal bergengsi yang terbit di luar negeri. Selanjutnya, artikel
saya terpilih sebagai pemenang lomba ngeblog yang diadakan oleh lembaga Oxfam
internasional. Saat itu, saya menulis tentang seorang nelayan kecil Pulau Buton
yang menjalani hidup sebagaimana air mengalir. Tak disangka, artikel itu
terpilih sebagai juara.
Bulan Agustus lalu, saat baru sebulan di
tanah air, saya menang lomba menulis esai ekonomi yang diadakan oleh
Sekretariat Kabinet RI. Saya bukan seorang yang berlatar ekonomi. Saya hanya
seorang pencatat kehidupan yang menulis sesuatu dengan mercusuar yang dipandu
teori sosial yang pernah saya pelajari. Saya selalu belajar untuk menulis
sesuatu dengan sederhana demi untuk dipahami oleh semua kalangan masyarakat.
Bagi saya, sebuah tulisan adalah medium
untuk mendialogkan gagasan-gagasan. Ketika mengikuti lomba esai ekonomi, saya
menyadari bahwa buku-buku teks ilmu ekonomi terlampau melangit. Buku tersebut
seringkali hanya menyajikan sesuatu yang berada di atas, tanpa terjun bebas ke
tengah denyut nadi masyarakat demi melihat bagaimana mereka bertahan hidup,
mengembangkan kapasitas, dan secara sadar dan terencana keluar secara
perlahan-lahan dari berbagai masalah yang mereka hadapi. Tak disangka, upaya
menuliskan catatan tentang orang biasa itu berhasil memenangkan hadiah
tertinggi yakni uang senilai 20 juta rupiah.
Terakhir, di bulan November, saya menang dua
penghargaan di ajang Kompasianival, sebagaimana telah saya kisahkan di awal
tulisan. Saya menganggap penghargaan ini sebagai sebuah ajakan untuk terus
meramaikan ranah social blog Kompasiana dengan berbagai artikel.
Sejak dulu saya beranggapan bahwa menulis
hanyalah satu jalan untuk berdialog. Jika saya memiliki gagasan atau sebuah
cerita yang disampaikan secara lisan, maka cerita itu hanya menyentuh sedikit
orang. Namun jika disampaikan lewat tulisan, maka kisah itu akan tersebar luas,
menyentuh banyak lapisan masyarakat di berbagai pelosok, serta memiliki potensi
untuk menggerakkan orang lain. Lewat tulisan, sebuah gagasan akan memiliki
kaki-kaki untuk bergerak serta bisa menyapa banyak orang.
plakat dari Kompasiana |
Sebelum mengenal Kompasiana, saya kerap
menulis gagasan di media cetak. Sayangnya, tulisan di media cetak hanya dibaca
sehari. Selanjutnya, tulisan tersebut akan lenyap tak berjejak. Sementara di
dunia maya, sebuah tulisan akan bertahan lama serta punya potensi untuk dibaca
lebih lama. Saya juga berkeyakinan bahwa di masa depan, media akan
bermetamorfosis ke dalam model yang melibatkan sebanyak mungkin partisipasi
warga. Di masa depan, media akan meniru cara kerja Wikipedia, sebuah rumah yang
dibangun oleh ribuan armada semut dari berbagai titik, dan secara bersamaan
saling menguatkan.
Saya bahagia bisa mengambil bagian dalam
atmosfer media baru. Lebih bahagia lagi ketia mendapat beberapa hadiah dari
berkah kepenulisan di media baru. Namun ketika saya merenungkan berkah terbesar
dari menulis, ternyata bukan terletak pada hadiah-hadiah lomba. Bukan pula
terletak rasa bahagia karena artikel bisa terpilih. Berkah terbesarnya terletak
pada banyaknya sahabat di mana-mana yang saling berkirim pesan, serta berbagi
energi positif. Melalui artikel yang selalu diposting, ada semangat serta
ikatan kuat untuk selalu bertukar pesan.
Berkah lain dari dunia ini adalah jaringan
pertemanan yang tersebar di banyak tempat. Saya bertemu banyak orang yang
dengan sukarela menawarkan persahabatan, serta keriangan untuk saling bertukar
artikel dan saling memberikan masukan. Indahnya persahabatan dan pertemanan ini
adalah sesuatu yang tak ternilai. Saya bahagia punya banyak sahabat yang
sama-sama saling berbagi energi positif. Melalui persahabatan itu, saya
menemukan cermin untuk melihat sisi-sisi terdalam diri saya, menemukan
banyaknya kelemahan dan kekurangan, yang kemudian saya benahi setitik demi
setitik.
Lebih bahagia lagi ketika sebuah penerbit
besar akan menerbitkan tulisan-tulisan saya di Kompasiana dan blog pribadi.
Saya senang kaena gagasan yang ditulis dengan niatan berbagi pengalaman
tersebut akhirnya akan memiliki gaung yang lebih luas. Semoga saja buku itu
bisa diterima oleh publik.
Sungguh, saya masih jauh dari sempurna.
Tapi dengan banyaknya orang yang saling berbagi pengetahuan, saya percaya kalau
saya akan segera menemukan titik pijak untuk terus menata diri melalui proses
belajar. Terimakasih atas semuanya.
Jakarta, 31 Desember 2013
Catatan:
tulisan ini adalah tulisan terakhir saya
di Kompasiana pada tahun 2013. Sampai bertemu di tahun mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar