bocah penyelam koin di Pulau Buton |
DI pesisir laut Buton, saya menyiapkan
pancing dan mulai bersiap-siap naik sampan kecil jenis katinting bersama beberapa kawan, tiba-tiba saja handphone saya
berdering. Rupanya, admin Kompasiana, Iskandar Zulkarnain, yang menelepon untuk
mengabarkan bahwa saya terpilih sebagai Kompasianer of the Year. Saya sempat tak
percaya dan bertanya, “Really?”
Di kalangan kompasianer, saya bukanlah seseorang
yang populer. Sejak bergabung di bulan Desember tahun 2009, saya hanya menulis
sebanyak 185 artikel. Jumlah ini sangatlah kecil jika dibandingkan pencapaian
dari banyak Kompasianer lainnya. Interaksi saya dengan para Kompasianer juga
terbatas.
Saya banyak mengenal Kompasianer senior
seperti Bang Asa, Lintang, Mariska Lubis, Faizal Assegaf, Linda Djalil, Omjay,
Kong Ragile, Dian Kelana, Herman Hasyim, Hazmi Srondol, Ahmed Tsar, dan
beberapa teman lainnya. Beberapa tahun silam, saya juga beberapa kali kopi
darat dan ngobrol akrab dengan mereka. Sayang, tak semua dari teman-teman itu
yang masih setia menulis di rumah sehat ini.
Dengan pengalaman yang minim, serta
interaksi yang terbatas, mengapa saya yang terpilih sebagai Kompasianer of the
Year?
Entahlah. Barangkali admin memiliki
kriteria dan argumentasi sendiri. Namun jika saya merenungi pengalaman menulis,
saya akhirnya menyadari bahwa ada semacam chemistry
kuat yang tak terbahasakan antara saya dan Kompasiana. Pengalaman kepenulisan saya
bertunas, lalu tumbuh subur di media ini. Hingga pada satu titik, pengalaman
itu menjadi ranting pohon di ketinggian yang berupaya menjangkau mega-mega.
Pada mulanya, seorang teman yang
berprofesi sebagai staf ahli Wapres Jusuf Kalla mengajak bergabung ke
Kompasiana. Pada masa-masa awal, energi menulis saya sangat menggebu-gebu. Saya
menulis berbagai topik mulai dari sejarah, sosial budaya, hingga refleksi atas
pengalaman sehari-hari. Dahulu, ada rubrik “Terpopuler.”
Pada masa itu, penguasa rubrik “Terpopuler”
adalah Mariska Lubis dan Bang Asa. Mereka penulis paling piawai dan produktif di
ranah maya ini. Saya pun meramaikan rubrik itu dengan beberapa tulisan sosial
budaya yang dikemas dalam tema-tema sederhana. Saya belajar bahwa sebuah
tulisan akan memiliki daya ledak ketika dikemas dalam bahasa yang simpel dan
bisa dijangkau banyak orang. Kompasiana mengajari saya untuk humble dan tidak terjebak dengan
bahasa-bahasa melangit generasi perguruan tinggi yang kerap kali membingungkan
pembacanya.
Sejak awal bergabung, saya selalu berusaha
untuk menulis reportase. Bagi saya, reportase adalah jenis tulisan yang paling
sulit dibuat. Seorang penulis mesti menjadi mata, telinga, serta hidung bagi
semua pembacanya. Ia dituntut untuk bisa menggambarkan sesuatu secara detail,
kemudian menghamparkan kenyataan itu ke hadapan pembaca. Ia harus bisa menjadi
kamera sekaligus alat perekam yang baik yang bisa melihat satu kenyataan dari
banyak sisi amatan, serta merangkum suara-suara yang berbeda.
ilustrasi perahu nelayan tradisional |
Dalam sebuah reportase, penulis mesti
melakukan wawancara mendalam serta dialog demi menemukan nuansa emosional dari
apa yang hendak ditulisnya. Ia juga mesti berkarib dengan data-data serta
literatur. Penulis yang baik adalah penulis yang rela ‘berdarah-darah’ demi
menemukan makna besar, lalu menyajikannya ke hadapan pembaca.
Seiring perjalanan waktu, saya menyadari
bahwa reportase yang baik bukanlah sekadar reportase yang merangkum kenyataan. Reportase
yang baik tak hanya merekam darah dan daging, namun juga jiwa, sesuatu yang tak
tampak, akan tetapi memegang peranan yang amat vital dalam kehidupan. Seorang
penulis mesti menukik ke lapis-lapis makna, lalu mengurai lapis-lapis misteri
itu sehingga pembaca memahami duduk perkara serta asal-muasal sesuatu.
Kerja-kerja ini jelas tak mudah, sebab menuntut disilin serta ketelitan untuk
mencatat dan mendokumentasikan.
Reportase yang baik juga harus mengandung
satu refleksi yang kuat serta merekam butir-butir hikmah yang kemudian menjadi
pembelajaran bagi pembacanya. Ia harus bisa merekam saripati kehidupan di
tengah dunia yang terus bergerak bagaikan sebuah kereta cepat sehingga tidak
memungkinkan setiap orang untuk melakukan refleksi. Di tengah dinamika hidup
yang bergerak cepat, reportase yang jernih menjadi oase sejuk di mana
orang-orang bisa menimba inspirasi. Dan itu saya dapatkan di Kompasiana.
Media ini mengajari saya untuk berkarib
dengan realitas sosial. Saya tak hanya menulis tentang orang-orang besar
seperti Presiden Obama, Presiden SBY, ataupun Pangeran William dan permaisurinya
Kate Middleton. Saya juga menulis tentang anak kecil yang berprofesi sebagai
penyelam koin di Pelabuhan Baubau, seorang pemulung dan pekerja seks di sudut kota,
nakhoda Bugis yang piawai membaca bintang di langit, penari sepuh di
Yogyakarta, misteri di balik potret gadis manis di monumen bom Bali, hingga
kisah tentang seorang lelaki penjaga benteng di Ternate. Reportase itu menjadi
catatan perjumpaan saya dengan banyak keping kehidupan.
Maria Loretha, pahlawan di tanah Kupang |
Suatu hari, ketika terbuka seleksi
beasiswa di satu lembaga internasional, saya lalu memberanikan diri untuk mengikuti
seleksi dan mengajukan dokumentasi liputan di Kompasiana tentang orang-orang
biasa yang sedang melukis bumi dengan caranya masing-masing. Ajaib. Kerja keras
itu terbayar. Saya dinyatakan sebagai penerima beasiswa ke Amerika Serikat
berkat reportase yang sering saya buat di Kompasiana.
Sungguh, saya tak membayangkan sebelumnya.
Bahwa Kompasiana tak hanya menyediakan ruang yang amat luas bagi saya untuk
belajar, namun juga memberikan kesempatan untuk mengunjungi negeri-negeri yang
jauh. Kompasiana menjadi sayap-sayap bagi saya untuk mengangkasa dan melihat
banyak kenyataan yang sebelumnya tak saya bayangkan.
Maka sejak tahun 2011, saya mulai menulis
reportase tentang Amerika. Saya menulis hal-hal sederhana, mulai dari hal yang
baik, lucu, hingga hal yang tak menyenangkan. Identitas keindonesiaan dalam
diri, saya jadikan sebagai lensa untuk melihat sesuatu. Ada banyak hal yang
bisa menjadi inspirasi tentang Amerika, namun ada juga banyak kenyataan yang
menunjukkan inspirasi Indonesia, yang kemudian dirindukan oleh orang Amerika.
Keduanya adalah dua sisi yang saling melengkapi kenyataan, menjadi puzzle yang saling melengkapi, serta
memperkukuh gambaran tentang tanah air serta perlunya berbagi energi positif.
Setelah kembali dari Amerika, saya
disadarkan berulang-ulang bahwa aktivitas menulis di Kompasiana telah menjadi
jalan pulang bagi saya untuk menemukan sisi luar biasa dari kampung halaman, lalu
menyelami degup jantung warga biasa yang setiap hari memperkaya pohon kehidupan,
dan memekarkan bunganya bagi generasi mendatang. Pengalaman itu mengajarkan
saya tentang pentingnya berbagi pengalaman positif dengan orang lain, serta
perlunya melihat sisi-sisi baik dari banyak kejadian. Saya lalu memelihara
tekad baru untuk menggugah dan menggerakkan orang lain demi berbagi energi
positif.
***
DUA hari lalu, saya dinyatakan sebagai
Kompasianer of the Year 2013. Silih berganti orang mengucapkan selamat. Saya
tahu persis bahwa ada banyak orang yang jauh lebih baik. Saya tahu bahwa ada
banyak orang yang menulis dengan hati dan menggerakkan orang lain. Merekalah
guru-guru tempat saya menimba ilmu. Saya hanyalah noktah kecil di rumah sehat
Kompasiana. Kalaupun saya yang terpilih, maka saya menganggap pilihan itu
sebagai keberuntungan belaka.
Pada akhirnya saya mengamini petuah Master
Oogway dalam film Kungfu Panda bahwa tak ada sesuatu yang sia-sia dalam
hidup. Segala sesuatu tidak terjadi secara kebetulan dan spontan begitu saja,
namun selalu ada butiran-butiran hikmah dan endapan makna yang ditemukan dalam
satu aktivitas sederhana yang mungkin diabaikan banyak orang. Yup. Menulis
reportase di Kompasiana adalah menulis reportase tentang kehidupan yang kelak
akan menjadi pupuk bagi kita untuk tumbuh dan menjangkau mega-mega.
Baubau, 25 November 2013
BACA JUGA:
2 komentar:
Selamat buat kak yusran.. Terus berkarya dan menginspirasi
makasih banyak bung zul qadri. mudah2an kita bisa sama2 belajar.
Posting Komentar