Soekarno, Embun, dan Kisah Pengantar Tidur


bacaan minggu ini

DI tangan saya adalah sebuah jurnal tentang Soekarno. Saya masih belum ingin membacanya. Saya masih ingin menimang-nimangnya, sembari sesekali membuka isinya, membaca beberapa kalimat atau diksi dari para penulis tentang sosok Soekarno. Saya ingin menikmati saat-saat emas ketika sebuah buku yang lama diidam-idamkan akhirnya datang untuk dinikmati, dikunyah-kunyah, lalu ditelusuri gagasannya.

Saya selalu berdebar setiap kali membaca tulisan tentang Soekarno. Saya merasa tak hanya membaca pemikiran tentang sosok besar negeri ini, namun juga seakan berhadapan dengan sosok manusia yang hidup pada satu ruang sejarah ketika pemikiran dan gagasan-gagasan besar menjadi fundasi untuk menyusun rumah besar bernama bangsa Indonesia. Saya membayangkan konteks dan dinamika ketika para founding father negeri ini mencipta gagasan, menggali kekayaaan khasanah dan tradisi pemikiran, lalu mendiskusikan keindonesiaan.

Pikiran saya menerawang tentang betapa romantiknya masa-masa yang lewat. Yang selalu membuat saya iri dengan periode awal kemerdekaan adalah mereka yang menjadi pemimpin di masa itu adalah barisan para aktivis yang tak hanya punya semangat berupa api yang menyala-nyala, namun juga punya embun-embun pemikiran yang kemudian saling berdialog, memperkaya, serta menguatkan.

Saya bangga ketika mengingat bahwa mereka bukanlah para pemimpin karbitan yang hanya mengandalkan survei, tim citra serta tim sukses yang setiap saat membobardir massa dengan pesan-pesan tentang kebaikan dan kehebatan. Mereka tak mengikuti anjuran Adolf Hitler bahwa kebenaran adalah kebohongan yang dikali seribu. Pantas saja jika mereka menerbitkan karyanya secara diam-diam, demi sekadar mengisi celah dialog tentang negeri yang masih seumur jagung. Malah, Tan Malaka hanya menulis lembar-lembar pemikirannya, tanpa pernah melihatnya terbit sebagai buku.

Yang bikin saya merinding adalah kenyataan bahwa mereka bukanlah para pemimpin yang membayar –ataupun memiliki-- stasiun televisi demi untuk menampilkan sosoknya yang sedang tersenyum dan menyeru kebaikan. Mereka juga tak berpura-pura alim dengan memakai kopiah, lalu mengutip ayat-ayat Tuhan, setelah itu menyebutkan dirinya sebagai calon pemimpin. Mereka tak sebodoh pemimpin masa kini yang membayar mahal para tim sukses untuk membangun pencitraan tentang sosok baik dan mendengar aspirasi.

Mereka bekerja diam-diam, menulis di tengah desing pertempuran serta bom yang setiap saat bisa memburai usus. Mereka bekerja dalam hening cahaya pelita, di tengah situasi yang penuh ancaman. Mereka menuliskan gagasan demi untuk dikenali dan dipahami. Di tengah situasi serba sulit itu, mereka telah mengisi khasanah intelektual bangsa sekaligus memberikan napas dan arah bagi bangsa.

Sungguh beruntung negeri ini memiliki kisah tentang sosok besar.  Soekarno, Hatta, Sjahrir, ataupun Tan Malaka adalah barisan intelektual yang menjadi benih-benih awal dari para pemikir hebat negeri ini. Mereka menulis sesuatu yang hingga kini tetap aktual dan mengisi debat tentang bangsa. Soekarno menulis tentang nasionalisme, Hatta mendialogkan tentang ideologi-ideologi besar, serta Tan Malaka menulis tentang pahaman filsafat sejarah, demi untuk tidak terjebak pada mitos.

Puluhan tahun setelah mereka mangkat, karya-karyanya pernah dinobatkan Tempo sebagai satu dari sekian buku terbaik yang pernah dituliskan oleh intelektual negeri ini. Buku mereka bukanlah sehimpunan kutipan dari manusia lain yang menulis di belahan bumi lain, melainkan sebuah upaya dialog yang tak berkesudahan demi untuk memahami tanah air yang terus bergerak secara dinamis.

Sayang, jalan takdir mereka tak selalu secemerlang tulisan-tulisannya. Mereka menjadi martir demi bangsa yang dicintainya. Revolusi telah memangsa anak-anaknya sendiri. Bukankah mereka mempersembahkan segala yang mereka miliki bangsa ini?

Yang membuat saya miris adalah tak ada satupun pemimpin atau pemimpin yang mengikuti garis yang mereka torehkan. Mereka yang sedang memimpin atau hendak memimpin di hari ini adalah penulis lagu, pengusaha tambang, penguasaha media, militer yang tak punya jejak prestasi, ataupun sosok yang hanya mengandalkan orangtuanya.

Ah, mungkin negeri ini tengah dikutuk. Negeri ini serupa negeri dalam film The Sleeping Beauty yang warganya disihir hingga tertidur hingga puluhan tahun. Kelak, akan ada manusia berpikir bebas, punya ide-ide yang serupa lilin, datang menerangi kepekatan negeri ini demi menggapai cahaya yang benderang.

Namun, kapankah gerangan? Mungkinkah saat kebangkitan itu hanya menjadi kisah untuk menemani seorang bocah yang hendak terlelap?


Baubau, 22 Juli 2013
Saat menimang buku tentang Soekarno


0 komentar:

Posting Komentar