Malu Aku Jadi Anak Nelayan


seorang anak nelayan

DI satu sudut jalan di kota Baubau, saya melihat baliho yang berukuran cukup besar. Di situ terpampang wajah seorang pria beserta lambang partai berkuasa berwarna biru. Pria itu berpose dengan caping khas petani atau nelayan yang menahan panas. Di dekat wajahnya, terpampang tulisan, “Pilihlah anak nelayan untuk menjadi anggota dewan.”

Baliho itu bukanlah satu-satunya. Ada juga baliho lainnya yang bernada sama. Maklum saja, di pulau sekecil ini, mayoritas orang-orang berprofesi sebagai nelayan. Dengan menggunakan label nelayan, maka suara bisa terdongkrak. Benarkah? Mungkin saja.

Saat melihat baliho itu, saya tiba-tiba saja memikirkan hal lain. Saya memikirkan tentang profesi nelayan yang semakin lama semakin dipinggirkan oleh pelakunya. Ketika anak-anak nelayan justru tak tertarik menjadi nelayan, dan lebih tertarik menjadi politisi, lantas, siapakah kelak yang akan menjadi nelayan di negeri ini?

Kita terlahir pada masyarakat yang sering suka mencela dirinya sendiri. Meskipun tak pernah jelas pijakannya, masyarakat sering sekali membuat pemilahan tentang profesi baik dan profesi rendah. Profesi yang hebat adalah bekerja di BUMN pertambangan, menjadi dokter, tentara, karyawan perusahaan asing, atau menjadi jenderal. Sementara yang dianggap profesi rendahan adalah menjadi petani atau nelayan.

Dugaan saya, anggapan ini dibentuk oleh sinetron televisi. Jika melihat tayangan sinetron, maka mereka yang sukses adalah mereka yang memakai dasi dan kemeja rapi, serta ke mana-mana menggunakan mobil mewah. Mereka yang tidak sukses –untuk tidak menyebutnya gagal—adalah mereka yang pekerjaannya belepotan lumpur, tanah, hingga basah dan kotor.

perahu nelayan
 Mereka yang sukses adalah mereka yang selalu merias diri di salon, selalu memakai baju dengan trend terbaru, serta memakai perangkat teknologi terbaru. Sementara mereka yang tidak sukses adalah mereka yang memakai baju ketinggalan zaman, tidak merias diri, sering hanya bersarung, serta tak pernah mandi sauna. Tak percaya? Silakan lihat sinetron kita hari ini.

Di tengah simbol-simbol kesuksesan serta kemapanan yang selalu berseliweran di media kita, di manakah posisi para petani dan nelayan kita?

Beberapa hari lalu, saya singgah ke rumah seorang keluarga nelayan. Di kampung saya, nelayan adalah hal yang lazim dipilih sebagai profesi. Sang bapak bekerja sebagai nelayan yang sering bermalam di laut demi menjala ikan. Sang ibu berjualan ikan di pasar. Sering pula, sang ibu menjemur ikan di tepi pantai.

Kebetulan, keluarga itu punya tiga anak. Ketika saya tanya, apakah ada di antara anak mereka yang akan jadi nelayan, ayahnya menggeleng, lalu berkata, “Biarlah saya saja yang berprofesi sebagai nelayan. Anak-anak mesti mencari pekerjaan yang lebih baik.”

Saya terdiam. Bahkan seorang nelayan pun tetap menganggap pekerjaannya tidak begitu baik. Ia juga menganggap pekerjaannya sangat jauh dari layak. Mungkin ini pula yang dirasakan oleh keluarga nelayan yang lain.

Di kampung kami, mereka yang memilih profesi nelayan adalah mereka yang tak bersekolah. Biasanya, berasal dari keluarga yang tak berhasrat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Apakah seorang nelayan berdiri tegak ketika bersama profesi lain? Tidak sama sekali. Mereka kadang minder dengan profesinya. Anak nelayan malu dengan profesi nelayan. Mengutip puisi Taufiq Ismail, anak-anak nelayan itu hendak berkata, malu aku jadi anak nelayan.

Beda halnya dengan para dokter atau tentara yang bangga dengan pofesi serta status sosialnya di masyarakat. Pantas saja, seorang anak nelayan bercita-cita untuk mencari pekerjaan lain. Ini pula yang diharapkan ayahnya.

Siapakah yang mendefinisikan status sosial? Siapakah yang mendefinisikan mana keren dan mana tak keren?


Sepulang dari rumah nelayan, saya lalu menonton televisi. Ada tayangan tentang sebuah sekolah dasar di Jepang. Ketika guru bertanya kalau jadi besar mau jadi apa? Serentak banyak anak mengacungkan tangan. Ada anak yang menyebut dirinya ingin jadi penjual roti, ada yang menyebut petani, ada yang menyebut ingin kerja di pemadam kebakaran, serta ada anak yang menyebut ingin jadi nelayan.

Melihat itu, saya langsung tersedak. Ternyata di negeri seperti Jepang, semua profesi punya pride dan kebanggaannya masing-masing. Apapun profesinya, sepanjang dikerjakan secara sungguh-sungguh, pasti akan memberikan penghidupan yang layak. Dan semua warga amat bangga dengan pofesinya, tanpa ada kategori tentang mana yang keren dan mana yang tidak keren.


Baubau, 19 Juli 2013
Saat tak tahu hendak menulis apa.

4 komentar:

Fardelyn Hacky mengatakan...

Nice posting, Bro

Denal mengatakan...

Kebetulan saya jg datang dari keluarga Nelayan om, memang sekarang profesi nelayan merasa di pinggirkan, kenapa ?
Kenapa para nelayan malas jadi nelayan ? Hasil tangkap yang sedikit tidak sesuai dengan biaya operasional yang di keluar kan, di samping itu Bahan Bakar yang sukar di dapat kan juga menjadi faktor nelayan enggan untuk melaut.

Yusran Darmawan mengatakan...

thanks yaa

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas masukannya

Posting Komentar