Lilin Redup di Pekuburan Wameo


ilustrasi

DULU, pada setiap malam Ramadhan, ayah selalu mengajak ke kuburan ayahnya yang terletak di Wameo, depan sebuah sekolah dasar. Kami akan datang sambil membawa beberapa lilin, menyalakannya di kuburan, lalu berdoa, serta membersihkan kuburan. Suasananya ramai, serupa pasar malam. Malam ini, saya kembali saya datang ke kuburan itu. Bukan hanya untuk menyalakan lilin di kuburan kakek. Tapi juga di kuburan ayah.

Satu hal yang tersisa dari masa silam adalah kenangan. Kenangan itu serupa pulau yang ditata indah dalam pikiran kita. Tak semua pengalaman akan disimpan dalam kotak kaca kenangan. Kita hanya mengingat episode tertentu, lalu melupakan episode lainnya. Sering pula kita meromantisir kenangan, demi membaca masa kini yang tak sesuai dengan pikiran kita. Akan tetapi, lewat kenangan itu, kita membaca zaman, menentukan arah, dan menyerap spirit masa silam untuk masa kini.

Dahulu, Ramadhan amatlah meriah di semua rumah. Malam hari, saya menyaksikan lilin-lilin yang dinyalakan di kuburan dan di depan rumah. Mereka yang memiliki rumah panggung, akan memasang lilin di setiap anak tangga. Seisi kampung bersalin rupa serupa pasar malam. Di sepanjang jalan, saya selalu melihat kerlap-kerlip lilin di depan rumah.

Ramadhan adalah momen penuh cahaya. Saya melihat lilin-lilin depan rumah adalah simbol dari cahaya terang dalam batin. Para pejalan yang mencari cahaya dan embun spiritualitas akan selalu melihat Ramadhan sebagai saat untuk menerangkan diri, mengatasi segala gelap dalam relung-relung hati, serta menemukan titik-titik cahaya sebagai arah untuk bergerak. Lilin-lilin itu tak saja menerangi halaman rumah, tapi juga menjadi simbol dari cahaya yang berpijar dalam hati yang kemudian termanifstasi pada kesiapan untuk menyambut Ramadhan.

Dahulu, Ramadhan ibarat tamu penting yang mesti disambut dengan suka-cita. Para ayah akan sibuk membeli bahan-bahan enak untuk dimakan saat sahur. Para ibu akan sibuk di dapur. Dan di sela-sela kesibukan itu, semua tak pernah melupakan sisi religius. Seisi rumah akan sama-sama ke masjid demi untuk salat tarwih berjamaah. Seisi rumah akan berbahagia demi menyambut hari-hari berpuasa.

Mereka yang dewasa akan mendorong yang kecil agar kuat menghadapi lapar dan haus. Bagi anak-anak, Ramadhan adalah saat yang membahagiakan. Mereka bermain kembang api lalu bermain di jalan-jalan, bahkan ke kuburan. Dahulu, saya ikut bermain di kuburan. Saya tak takut. Sebab, sebagaimana kata guru agama, ‘setan akan dikat di bulan ini.’ Saya membayangkan, setan yang serupa karakter Sekeleton dalam film seri He-Man. Setan yang bertubuh tengkorak, namun tiba-tiba diikat di rantai baja di bulan Ramadhan.

***

MALAM ini saya menuju kuburan. Saya melihat pemandangan yang berubah. Saya tak lagi melihat banyak lilin di depan rumah. Saya melihat rumah-rumah yang semakin megah dan tak menyediakan tempat untuk membakar lilin. Anak-anak tak lagi tertarik bermain kembang api. Permainan itu sirna ditelan deru zaman yang semakin ramai dengan aneka permainan baru.

Masyarakat Buton kian merasuk ke dalam deru perubahan dan menenggelamkan tradisi yang dianggap kian kolot. Padahal, seringkali pada setiap jejak tradisi, selalu ada pesan dan hikmah simbolik yang menjadi titipan untuk terus dimaknai seiring dengan perkembangan zaman. Lilin-lilin redup yang dahulu nampak di depan rumah tergeser menjadi tradisi yang nyaris punah dan kelak hanya akan menjadi pengantar tidur bagi seorang anak. Saya tidak saja menyayangkan tradisi yang lenyap. Saya menyayangkan makna dan tradisi kearifan serta pencarian cahaya yang bakal menguap tak berbekas.

Sayup-sayup saya melihat lilin-lilin yang masih menyala di kuburan. Ternyata, masih saja ada yang berziarah, namun tak sebanyak dahulu. Di depan pintu masuk kuburan itu, saya sempat terpekur ketika mengingat masa-masa di mana saya dan ayah datang ke tempat itu. Makna penting yang saya petik dari ziarah itu adalah perlunya menjaga ingatan tentang mereka yang hidup, pentingnya mengingat mereka yang telah lebih dahulu berpulang, serta menyerap hal-hal yang baik dari mereka demi menjadi cahaya di masa kini.

Dari kejauhan, saya melihat kuburan ayah sangat sepi di ujung sana. Saya lalu melangkahkan kaki demi melewati banyak kuburan di situ. Ketika mendekati kuburan ayah, saya melihat seseorang datang menyalakan lilin di situ. Dari belakang, saya melihat tubuhnya yang tambun. Entah kenapa, rasa dingin tiba-tiba saja menyelusup di sekujur tubuh ini. Saya lalu berdehem. Sosok itu menoleh ke arah saya. Saat itulah, kaki saya seakan tak berpijak di bumi. Saya melihat almarhum ayah sedang menyalakan lilin di atas kuburnya sendiri.


Baubau, 10 Juli 2013

1 komentar:

ristizona mengatakan...

sungguh pengalaman yang luar biasa...

Posting Komentar