Debus ala Banten di Baker Center

pemain sirkus

PRIA berkumis itu tiba-tiba saja membuka karung di tangannya. Ia menumpahkan banyak pecahan botol di atas sebuah karpet. Ia lebih dahulu meminta orang-orang untuk menguji apakah itu pecahan botol asli. Setelah itu, ia mulai membuka sepatunya. Di tengah tatapan ngeri orang-orang, ia lalu melompat di atas pecahan botol itu. Semua berteriak. Ada yang histeris. Dan pria itu baik-baik saja.

Minggu lalu, saya menyaksikan pria itu di ajang sirkus yang diadakan di Baker Center, kampus Ohio University. Di ajang itu, pria berkumis melintang itu mendemonstrasikan beberapa kemampuan, seperti menginjak pecahan botol, tidur di atas papan yang dilapisi paku-paku, hingga memasukkan selang ke dalam hidung, lalu ujungnya keluar lewat mulut.

aksi melipat tubuh
memasang jerat kelinci di lidah

Bagi saya, sirkus ini tidak seberapa berbahaya. Saya pernah menyaksikan pertunjukan debus ala Banten, di mana tubuh para pemainnya serupa baja yang amat liat. Mereka tak hanya kebal terhadap benda tajam, namun tahan terhadap siraman air keras. Malah, para pemain debus itu sanggup melakukan hal-hal berbahaya, misalnya bermain-main dengan golok, hingga memakan pecahan kaca.

aksi menginjak kaca
Yang membedakan sirkus ini dengan debus adalah kemasan. Jika debus hanya menampilkan skill serta kemampuan olah fisik, maka sirkus yang saya saksikan ini adalah sebuah tontonan yang menghibur. Para pemain sirkus bisa berkomunikasi dengan penonton, melemparkan banyolan-banyolan khas, serta melakukan atraksi yang unik-unik, misalnya memakai sepeda mini, memakai kaki yang sangat panjang, atau permainan bola kaca yang bisa diputar-putar.

Saya membayangkan permainan debus yang bisa menghibur, yang tak cuma mengandalkan aksi-aksi maskulin seperti bermain silat di atas pecahan kaca, atau kesurupan roh kuda liar lalu memakan benda apapun. Jika saja debus bisa dikemas menjadi tontonan menghibur, maka pastilah kesenian ini bisa mendunia dan dikenal mancanegara.

Mungkin, para pelaku kesenian tradisi seperti debus mesti meng-update kemampuan. Mereka tak boleh hanya mengandalkan skill atraksi maut, tapi juga mesti belajar public speaking, seni memahami audience, lalu mengemas tontonan yang menarik untuk disaksikan segala lapisan usia. Para pemain debus harus menguasai kemampuan sosiologi, antropologi, sekaligus komunikasi massa. Dengan cara mempelajari kemampuan-kemampuan ini, debus bisa memiliki daya jangkau ke publik yang lebih luas. Bisakah?


Athens, 19 Maret 2013

0 komentar:

Posting Komentar