kuda lumping yang jadi tugas kuliah |
SELAMA
ini, aktivitas di perkuliahan, apalagi di tingkat pascasarjana, selalu identik
dengan membaca buku, lalu membuat paper atau makalah dengan standar tertentu.
Seringkali, mahasiswa disuruh menyusun artikel untuk diterbitkan di jurnal
ilmiah. Namun, di kampus Ohio University, Amerika Serikat (AS), saya mengalami
tugas kuliah yang unik yakni membuat karya seni. Kok bisa?
Semester
lalu, saya mengambil kelas Cultural Studies. Kelas ini diasuh oleh seorang
pengajar senior di bidang filsafat yakni Prof Jaylynne Hutchinson. Kami,
peserta mata kuliah, memanggilnya Jaylynne. Mulanya, saya canggung. Di
Indonesia, saya tak pernah memanggil nama pada seseorang yang lebih tua,
apalagi seorang professor. Biasanya selalu diawali panggilan “Pak” atau “Bu”
demi kesopanan.
Di
salah satu kampus sahabat saya, seorang professor akan tersinggung berat
ketika tidak dipanggil dengan sapaan “Prof.” Dengan angkuhnya ia akan berkata,“Apa
kamu pikir gelar professor itu mudah didapat?” Mungkin ini demi alasan
etika dan penghormatan. Tapi kadang membuat mahasiswa jadi berjarak dengan sang
professor. Makanya, saat bertemu beberapa professor di Amerika, sebagaimana
Jaylynne, saya agak canggung untuk memanggil namanya secara langsung. Tapi lama
kelamaan, saya mulai terbiasa.
Tak
seperti professor di tanah air, penampilan Jaylynne agak eksentrik. Rambutnya
yang panjang dan pirang dibiarkan tergerai. Ia ke kampus dengan memakai celana
jeans serta baju lengan panjang yang digulung. Ia memakai kalung-kalung etnik
yang unik. Malah, tangannya dipasangi aneka gelang, sebagaimana yang sering
dikenakan seorang pencinta alam. Ia juga memasang banyak anting di telinganya.
Yang menakjubkan buat saya adalah ia memposisikan mahasiswa sebagai sahabat
dekat yang berbagi pengalaman. Ia serupa teman curhat.
Sebagian
besar yang mengambil kelas ini adalah mahasiswa program doktor ilmu komunikasi.
Mereka masih muda-muda, namun energik serta memiliki hasrat yang kuat untuk
belajar banyak hal. Banyak pula yang mengambil kelas ini adalah mahasiswa
internasional. Makanya, diskusi dan dialog tentang berbagai budaya dan negara
menjadi menu keseharian. Di kelas ini, saya akhirnya belajar bahwa isu-isu
seperti kulit hitam, kaum minoritas, serta pendidikan, terus menjadi tantangan
bagi masyarakat Amerika yang mengklaim dirinya demokratis.
Kelas
Cultural Studies ini adalah salah satu kelas paling menyenangkan. Betapa tidak,
professor membebaskan mahasiswa untuk melakukan apapun di kelas. Tanpa
kebebasan, tak mungkin ada pembelajaran. Mahasiswa tak mesti duduk manis di
kursi lalu belajar. Mahasiswa diizinkan untuk duduk di manapun, malah bisa
sambil berbaring saat belajar. Juga diizinkan untuk mengikuti materi sambil
memakan donut atau ayam goreng.
belajar filsafat melalui drama |
Sistem
perkuliahan dikelola dengan sangat fleksibel. Mahasiswa dipersilakan untuk
membaca buku yang diwajibkan. Mahasiswa juga memiliki jadwal untuk presentasi
atau mengajar di kelas tersebut. Sebagai pengagum Paolo Freire dan John Dewey,
Jaylynne meyakini bahwa proses belajar adalah proses berbagi pengalaman. Maka
semua mahasiswa dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan, yang kemudian
bisa dibagikan kepada mahasiswa lain. Dengan cara ini, pengetahuan bisa
berkembang.
Kuda
Lumping
Sebagai
tugas mid-semester, Jaylynne meminta mahasiswa untuk membuat sebuah karya seni,
lalu menjelaskan makna karya tersebut. Seumur-umur, saya belum pernah
mengerjakan karya seni di bangku perguruan tinggi. Terakhir, saya pernah
membuat sapu ijuk saat masih belajar di bangku sekolah dasar di Pulau Buton.
Makanya, saya meminta izin kepada Jaylynne untuk melihat dulu bagaimana
mahasiswa lain menyelesaikan tugasnya.
Saat
tugas dikumpulkan, saya terkagum-kagum melihat hasil karya teman-teman lain.
Seorang teman asal Michigan membuat sebuah lukisan dua orang yang membaca di
tengah cahaya, lalu disekitar dua orang itu, terdapat wilayah gelap, dan ada
burung hantu yang mengintip. Teman tersebut lalu menjelaskan makna lukisan
berdasarkan karya Paolo Freire yakni Pedagogy for Oppresed.
Katanya,
dua orang yang sedang belajar adalah simbol dari mereka yang berjuang untuk
melepaskan diri dari ketertindasan. Sementara burung hantu adalah simbol dari
penindas (oppressor). Setelah itu, ia lalu menjelaskan beberapa makna serta
tulisan dalam lukisan tersebut.
Seorang
teman lain membuat karya seni berupa keramik, yang didesain dengan tema tertentu.
Ia sangat fasih ketika menjelaskan maknanya berdasarkan bacaan filsafat yang
dibacanya. Ada yang membuat lukisan kaca, lampion, atau sebuah mainan anak-anak
yang menggambarkan masyarakat luas dengan berbagai cerita serta karakter.
Malah, ada seorang sahabat asal Jepang yang membuat kaligrafi samurai, lalu
menjelaskan maknanya.
Saya
lalu berdiskusi dengan beberapa teman. Ternyata, sejak kecil, mahasiswa Amerika
sudah terbiasa dengan membuat karya seni. Bahkan di bangku kelas menengah,
karya seni menjadi salah satu kuliah wajib untuk melatih kreativitas serta daya
cipta seorang mahasiswa. Melalui karya tersebut, seorang anak akan dididik
untuk kreatif dan berani berinovasi.
Seorang
teman lalu berkata, “Sejak dini, anak-anak di Amerika telah dilatih untuk
sekreatif Thomas Alva Edison, penemu lampu listrik. Edison mencipta lebih
seribu alat yang kemudian berguna bagi manusia. Ia tak mungkin menciptakan
sesuatu, tanpa berimajinasi. Nah, imajinasi itu akan diasah lewat karya seni.”
Saya
lalu memikirkan sistem belajar di kelas-kelas tanah air. Entah kenapa, sistem
belajar di perguruan tinggi hanya mengarahkan mahasiswa untuk jadi generasi
penghafal. Kelas-kelas di kampus kita hanya diisi dengan membaca berbagai buku,
tanpa memformulasikannya dalam daya cipta dan kreasi. Kita tak diajarkan
menjadi generasi yang berani berpikir mandiri, namun diarahkan menjadi
penghafal yang hanya bisa memamah-biak satu teori, tanpa mengembangkannya dalam
kreasi dan daya nalar sesuai konteks di mana kita berada.
kampus Ohio University yang tertutup salju |
Setelah
melihat karya teman-teman lain, saya lalu memutar otak. Akhirnya, saya
memutuskan untuk membawa kuda lumping ke kelas. Namun, di pelana kuda lumping
itu, saya lalu menuliskan beberapa kutipan dari beberapa filosof yang saya
kagumi seperti Dewey, Marx, Freire, Bell Hook, hingga filosof timur seperti
Jalaluddin Rumi dan Al Ghazali. Saya juga memasukkan beberapa kutipan dalam Al
Quran serta kutipan filsafat Jawa, khususnya yang dikemukakan Ronggowarsito.
Saat
tiba di kelas, saya bersiap-siap untuk presentasi. Sebelumnya, Jaylynne
mengumumkan tugas akhir di perkuliahan itu. Saya membayangkan bahwa tugas
akhirnya adalah membuat makalah tebal untuk jurnal ilmiah. Atau minimal membuat
sintesis pemikiran beberapa tokoh dalam buku-buku Cultural Studies. Ternyata,
Jaylynne memberikan pengumuman yang mengejutkan buat saya. Katanya, tugas final
adalah membuat puisi yang isinya adalah refleksi atas beberapa bacaan di kelas
itu. What?
Nampaknya,
saya mesti membaca beberapa puisi Rendra atau Widji Tukul demi menemukan
embun-embun inspirasi.(*)
Athens, Ohio, 4
Januari 2013
BACA JUGA:
2 komentar:
Kuliah saat musim salju gini, bisa konsen ngak ??? #halahhh
kuliahnya tetap jalan. konsen atau tidak, tetep harus dijalanin. hehehe
Posting Komentar