"Kupinang Kau dengan Karya Pramoedya"


buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer yang jadi mahar pernikahan

KEMARIN, Sabtu (6/10), sahabatku Nanang Erma Gunawan mengucapkan ijab Kabul. Ia menatap layar komputer, dan di situ terpampang wajah seorang lelaki berusia senja di Kalimantan, Indonesia. Dari Athens, Ohio, Nanang mengucapkan lafal dengan segala ketenangan yang ada pada dirinya. “Saya terima nikahnya… dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta buku sastra..”

Aku yang menyaksikan kejadian itu sempat terkesiap. Jarak geografis sedang diretas. Dari tepi rimba raya Kalimantan, orangtua Yuyun mengucapkan kalimat “Kunikahkan kau…” Dan di tepi perkampungan Athens, pada satu apartemen yang asri, Nanang membalas ucapan itu dengan lafal menerima. Mereka terhubung melalui skype, satu perangkat teknologi yang menungkinkan semuanya bisa terjadi. Bukankah ini ajaib?

Namun, bukan itu yang membuatku terkesiap. Aku lebih tergetar saat mendengar mahar kawin yang dipersembahkan sebagai karpet merah untuk mengarungi kehidupan. Biasanya, aku hanya mendengar kata “emas dan seperangkat alat shalat” sebagai mahar. Hari ini aku mendengar kata buku sastra sebagai mahar nikah. Bukankah ini amat indah? Sastra memang indah. Amat indah. Sastra juga punya kekuatan menjebol serta daya-daya yang meledakkan gunung ketinggian hati, lalu melapangkan jalan bagi dua hati yang hendak bertaut.

Di hadapan Nanang, terpampang mahar pernikahan serta beberapa persembahan. Di tengah persembahan itu, kulihat buku This Earth of Mankind yang merupakan terjemahan karya berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar tanah air yang kata-katanya bisa setajam pedang, namun seringkali amat lembut sebagaimana tetes embun di dedaunan, serta lirih sebagaimana suara di penghujung malam ‘kala beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam’ (meminjam istilah Chairil Anwar).

Pramoedya memang abadi. Karya-karyanya telah berkelana ke negeri-negeri yang jauh, meninggalkan tubuhnya yang kini terbaring di pekuburan Karet, Jakarta. Mungkin ia tak meniatkan karyanya abadi, setidaknya di ingatan kolektif warga Indonesia dan dunia yang mencintai kemanusiaan, akan tetapi, karya-karya itu memiki takdirnya sendiri-sendiri yang kemudian menjadi endapan abadi dalam benak mereka yang mencintai kemanusiaan dan pembebasan.

"kunikahkan engkau melalui skype"

Aku hanya bisa menduga. Mungkin Yuyun dan Nanang menganalogikan kisah mereka sebagaimana kisah dalam Bumi Manusia. Setahuku, kisah cinta dalam novel ini agak tragik. Kedua tokohnya tak bertaut sebab sama-sama terpenjara oleh kelas sosial, serta batas-batas yang diciptakan manusia. Mungkin Yuyun dan Nanang mengagumi semangat serta daya juang yang memenuhi kalimat dalam buku itu. Bahwa manusia bisa berada dalam sistem sosial manapun, namun kebebasan serta kemanusiaan adalah kalimat suci yang akan menjadi obor intelektual, yang menandu ziarah dan gerak manusia.


***


Cinta adalah perkara keajaiban. Anda tak pernah bisa menebak siapa yang kelak akan menjadi jodohmu, siapa yang kelak akan menggapai pelabuhan hatimu, menemanimu untuk mengarungi samudera hidup, serta menemanimu kala kulitmu mulai keriput, lalu membisikkan kata rindu di saat dirimu mulai menua, sebaaimana senja di ufuk sana. Jodoh adalah sebuah setetes keajaiban yang juga dilapisi misteri-misteri

Bagiku, kisah Nanang dan Yuyun serupa kisah-kisah dalam negeri dongeng. Keduanya berasal dari dua pulau terpisah, lalu belajar sama-sama di Athens. Mungkin di titik ini, ending-nya adalah bahagia, namun tidaklah sesederhana itu. Cinta mereka bertaut setelah menempuh gelora dan samudera yang membuat mereka terombang-ambing dalam pencarian akan diri masing-masing. Mulanya biasa saja. Tak ada chemistry yang mengaduk-aduk hati. Selanjutnya, keduanya lalu menjadi roommate. Tetap saja ada benci yang menjadi batas.

Cinta memang termanifestasi dalam hal-hal yang sederhana. Keduanya sama-sama suka membekukan gerak melalui kamera. Keduanya juga suka beraktivitas di dapur demi cita rasa dan kreasi masakan. Melalui dialog-dialog kecil dalam berbagai aktivitas, ada sesuatu yang mekar di hati mereka, sesuatu yang mungkin awalnya tak diniatkan. Kupu-kupu bahagia kerap singgah di kembang-kembang yang mekar itu. Maka, hidup menjadi sesuatu yang slow motion, menjadi demikian singkat kala bersama dan beraktivitas.

tumpeng pernikahan

Cinta memang penuh misteri. Tapi cinta juga punya kekuatan yang seringkali tak bisa ditebak. Melalui kekuatan itu, cinta akan menemukan jalannya sendiri-sendiri, sebagamana setetes air mengalir yang akan selalu menemukan celah-celah untuk bergerak. Jika air dibendung, maka lambat laun ia akan menyimpan daya-daya yang amat perkasa dan siap menjebol apapun.

Semesta akhirnya mempertemukn mereka. Mulanya mereka saling benci, lalu tak saling bertegur sapa, malah tak saling pandang. Selanjutnya keajaiban terjadi. Dua hati itu lalu bertaut. Ketika komitmen untuk membangun prasasti pernikahan telah mekar, mereka lalu menjebol segala tantangan. Keduanya lalu bersepakat untuk segera meresmikan hubungan itu dalam satu mahligai suci pernikahan.


***

Maka sejarah baru tercipta. Para saksi sejarah di kota Athens, mengakui bahwa ini adalah pernikahan pertama antar mahasiswa Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Bersama kawan-kawan mahasiswa lainnya, aku telah turut dalam penciptaan sejarah tersebut. Kami bekerja sebagai tim yang  menyiapkan segala hal. Pernikahan ini digelar di tengah segala keterbatasan sebagai mahasiswa rantau, serta keinginan untuk mempersembahkan kebahagiaan buat sahabat. Semuanya berlangsung indah, seindah dedaunan yang kemerahan di penghujung musim gugur ini.

Ketika menulis catatan ini, aku masih mengagumi keberanian mereka untuk mengambil keputusan ini, serta kecintaan mereka pada karya sastra. Mungkin, kecintaan itu tak lahir begitu saja. Kekuatan dahsyat pada diri mereka lahir melalui proses belajar bersama serta keinginan untuk menjalani hari dengan penuh keberanian, dengan menghadapi semua risiko. Mungkin, mereka membaca catatan Pramoedya dalam Bumi Manusia:

“Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya..”


Athens, 7 Oktober 2012

0 komentar:

Posting Komentar