Kupinang Kau dengan Karya Pramoedya Ananta Toer

hantaran pengantin berisi karya lengkap Pramoedya Ananta Toer

NAMANYA Shakira. Ia adalah sahabat dekat saya yang belum lama ini menikah. Saya amat iri dengan pernikahannya yang belum lama berselang. Bukan iri karena kemegahan pestanya. Bukan karena ia menikah dengan adat Bugis dan adat Buton. Juga bukan karena banyaknya hantaran (dalam bahasa Bugis disebut erang-erang) yang diberikan mempelai pria kepada dirinya. Saya iri karena di satu hantaran itu, terdapat karya lengkap sastrawan Pramoedya Ananta Toer saat di Pulau Buru. What? 

Mereka yang menikah dengan adat Bugis, sama-sama tahu kalau isi erang-erang adalah segala hal yang dibutuhkan seorang perempuan. Lelaki akan mempersembahkan semua yang dibutuhkan itu, mulai dari perhiasan di kepala, baju, hingga sepatu. Dahulu, ketika saya menikah, saya pun mempersembahkan semua benda-benda itu kepada calon istri. Biasanya, hantaran itu akan dibawa oleh sejumlah gadis dengan memakai baju bodo. Melihat dokumentasi pernikahan Shakira, kepala saya seakan terantuk. Mengapa dulu saya tidak mempersembahkan karya lengkap Pramoedya sebagai mas kawin? 

Mungkin saat itu semuanya sibuk. Baik calon istri maupun saya sama-sama sibuk. Saya malah stres memikirkan berapa orang yang datang, serta berapa jumlah mobil yang akan mengantar rombongan kami. Semuanya tidak sederhana. Sebab dalam pernikahan, terdapat kontestasi, dinamika, serta upaya mempertemukan dua keluarga besar, serta bagaimana mendialogkan keinginan banyak orang. Kini, saya hanya bisa iri dengan sahabat Shakira. 

Saya sering berpikir, mengapa saat itu saya tidak berpikir untuk mengantarkan karya-karya sastra? Bukankah itu akan jadi momen paling unik dan dikenang selamanya? Yah. Semuanya sudah berlalu. Jika hidup ibarat pertunjukan, maka tak ada siaran ulang untuk itu. 

Pramoedya Ananta Toer
Entah kenapa, saya tiba-tiba terkenang-kenang dengan Pramoedya, lelaki yang punya sihir untuk menaklukan semua kata-kata hingga menjadi gelombang samudera yang menampar-nampar, serta dalam sekejap bisa menjelmakan kata itu sebagai telaga bening di tepi pepohonan hijau. Saya merindukan pria yang hingga kini belum ada bandingannya dalam sejarah sastra Indonesia. Saya merindukan pria yang ketika dipenjara, mampu menghasilkan kalimat-kalimat yang bertenaga dan setajam pedang hingga menggemakan suaranya menjadi lebih nyaring terdengar di ruang beku sejarah.

Beberapa tahun silam, saya membaca banyak karyanya dengan penuh antusias. Saya teringat obsesi masa silam. Dahulu, mimpi terbesar saya adalah suatu saat bisa makan malam bersama Pramoedya. Saya tahu bahwa saat itu Pramoedya sudah berusia lanjut. Tapi saat itu saya tidak menyangka kalau ia akhirnya berpulang ke rahmatullah dalam waktu yang tidak terlalu lama sejak saya mencanangkan mimpi. Akhirnya saya sadar bahwa impian itu tak akan tercapai. 

Kini, Pramoedya telah berpulang. Saya belum pernah membekukan ingatan tentangnya. Saya juga menyesal tidak mempersembahkan karyanya sebagai kado pernikahan. Tapi saya bahagia karena sahabat Shakira memiliki obsesi yang sama. Ia memang melakukan itu bukan untuk saya. Ia melakukan itu untuk dirinya. Tapi saya amat yakin jika saya dan dirinya sama-sama terbius oleh pesona kata Pramoedya. Kami sama-sama dibakar oleh panasnya api sastra, dan digarami oleh lautan kata Pramoedya. Selamat berbahagia buat Shakira!


Athens, Ohio, 23 Februari 2012

Shakira bersama suaminya dalam pakaian adat Buton