Menulis, Kejernihan, dan Butiran Apresiasi

MENULIS adalah sebentuk upaya untuk mengalirkan segala yang mengendap dalam jiwa. Menulis adalah sebuah tindakan lepas untuk mengalirkan kegelisahan, mengabadikan sebuah kesan atas peristiwa agar tidak punah dalam sejarah. Menulis adalah kesunyian yang memekakan telinga, upaya mendengar dawai lirih sebuah patahan realitas, mengikatnya dalam sehimpun makna, lalu menjeratnya dalam hutan aksara.

banner lomba menulis

Selama sekian lama saya bertahan dengan prinsip-prinsip bahwa menulis adalah arena untuk membekukan segala yang dilihat, didengar, dan dipikirkan. Selama empat tahun, saya menulis segala yang saya pikirkan dan alami dalam blog ini secara konstan hingga mencapai 1500 tulisan lebih. Saya tak peduli dengan komentar sinis yang menganggapnya sebagai kesia-siaan. Saya merasa tidak melakukan sesuatu yang sia-sia. Saya merasa sedang menemukan ketenangan jiwa usai menulis sesuatu. Ketika menulis, saya seolah sedang bermeditasi ketika pikiran bisa lebih fokus saat melihat deretan aksara. Logika saya lebih runtut ketika mengalirkan tetes demi tetes pemikiran. 

Lewat tulisan, saya sering menjadi hakim, jaksa, serta pengacara atas sesuatu. Saya seringkali memvonis sesuatu secara lepas dari sudut pandang yang amat subyektif dan manusiawi. Bukan sekali atau dua kali saya bermasalah dengan tulisan. Namun semua permasalahan itu saya lihat sebagai batu ujian yang terus menempa diri untuk memahami mana rambu-rambu dalam kepenulisan. Saya melihat masalah itu sebagai jalan berkelok untuk menemukan diri saya; menemukan mata air jernih dalam diri yang menjadi tempat saya untuk membasuh hati dan mengembunkan pikiran.

Dengan segala permasalahan itu, menulis tetap menjadi jalan pulang ke dalam diri. Sungguh, saya tak menyangka jika apa yang dulu ditanam itu perlahan membuahkan hasil. Berkat menulis –yang awalnya dicemooh sebagai kesia-siaan-- itu, saya berhasil menggapai banyak hal yang mulanya hanya bisa saya impikan. Setahun silam, saya lulus sebuah beasiswa bergengsi ke luar negeri berkat menulis. Bahkan saya juga menyelesaikan beberapa proyek yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Saya pun dipertemukan dengan wanita yang kini menjadi istri berkat aktivitas menulis. Separuh biaya pernikahan pun diperoleh lewat menulis.

Kini, saya tiba-tiba dikejutkan lagi dengan sebuah pencapaian mengejutkan dalam hidup. Tuhan seolah-olah tak henti-hentinya menjatuhkan hujan rezeki belakangan ini. Saya dinyatakan sebagai juara pertama lomba ngeblog seharian yang diadakan Kompasiana dan Telkomsel pada 24 Mei lalu (beritanya DI SINI). Seumur-umur saya nge-blog, inilah pertama kalinya sebuah tulisan saya (sebagaimana bisa dibaca DI SINI) bisa memenangkan lomba. Bukankah ini mengejutkan? 

pengumuman lomba menulis

Sungguh saya tak menyangka. Sebuah tulisan yang dibuat hanya dalam rentang waktu 30 menit tiba-tiba dinyatakan sebagai juara pertama untuk sebuah lomba kepenulisan yang prestisius bagi orang daerah seperti saya. Sungguh saya tak menyangka. Sebuah tulisan yang diniatkan untuk memberikan gambaran tentang keadaan kampung sendiri, sebuah titik yang mungkin sama sekali asing bagi mayoritas public negeri ini, tiba-tiba mendapatkan apresiasi yang lebih dari apa yang saya bayangkan sebelumnya.

Saya amat-amat sangat bahagia dengan segala pencapaian ini. Bukan karena menjadi juara pertama yang diadakan social blog terbesar di Indonesia yang dimiliki grup media paling bergengsi di negeri ini. Bukan karena tulisan saya telah menyisihkan 667 tulisan lain yang juga hebat-hebat dari seluruh penjuru nusantara. Bukan pula karena hadiah teknologi yang dulunya hanya bisa saya khayalkan karena tak sanggup dijangkau isi dompet. 

tulisan juara itu bisa dibaca DI SINI

Saya bahagia karena satu keping kenyataan yang hendak saya kabarkan bisa bergema hingga menjangkau banyak sudut negeri ini. Saya bahagia karena pengalaman bertemu anak-anak kecil perenang koin di kampung saya berhasil dituliskan, menginspirasi banyak orang, dan dinyatakan sebagai juara. Saya bahagia karena tulisan itu bisa menyentuh hasrat ingin tahu, mendobrak cara berpikir yang keliru atas para perenang cilik itu, sekaligus menggedor kesadaran banyak orang bahwa negeri ini terlampau sering dilihat hanya dengan cara pandang Jakarta. Saya ingin agar ada pandangan yang berimbang sehingga setiap kenyataan bisa dipahami dan dimaknai sebagaimana warga lokal memandang kejadian tersebut.

Semoga penghargaan ini menjadi pecut atas kreativitas saya yang pasang surut. Pada akhirnya saya mengamini pandangan Master Oogway dalam film Kungfu Panda bahwa tak ada sesuatu yang sia-sia dalam hidup. Segala sesuatu bukan terjadi secara kebetulan dan spontan begitu saja, namun selalu ada butiran-butiran hikmah dan endapan makna yang ditemukan tatkala kita menyibak kabut-kabut pesimisme dalam diri. Dan butiran hikmah itu ditemukan dalam diri melalui satu aktivitas sederhana yang mungkin diabaikan banyak orang. Aktivitas itu adalah menulis.(*)



Makassar, 15 Juli 2011

Master Oogway dan Master Shifu dalam Kungfu Panda



2 komentar:

Wijaya kusumah mengatakan...

Selamat menjadi juara bang yusran.
Anda layak emnjadi bintang!

salam
Omjay

ningsyafitri mengatakan...

Pak, selamat ya...
Artikel itu ya yang diikutkan???
Mantap deh, Pak... :)
Sukses slalu ya... :)

Posting Komentar