VALENTINE sudah kehilangan makna. Tak ada lagi mata air permenungan di situ. Tak peduli dari mana dan apa latar kisah ini, Valentine sudah lama menjadi ikon modernisasi.
Aku tak pernah mendengar seseorang yang menyebut-nyebut sejarah Valentine atau pesan bijak tentang hari Valentine dan kasih sayang. Bahkan dari para sahabat yang Kristiani sekalipun, tak pernah kudengar kisah Valentine, selain dari pesta pora dengan bau bir yang memenuhi ruangan, serta tubuh seksi yang bergoyang dengan keringat yang membasahi dalam balutan musik yang memekakkan telinga.
Terakhir kudengar kisah ini dari seorang ustad yang hendak mejustifikasi pandangannya bahwa Valentine itu adalah haram. Valentine adalah setan. Valentine adalah iblis. Dan mereka yang merayakan Valentine bertempat di neraka.
Aku tak peduli dengan apapun kata orang tentang hari ini. Tanya saja sembarang orang yang melintas, apakah mereka tahu sejarah Valentine? Jawabannya pasti tidak. Sebab Valentine sudah lama menjadi ikon dari sebuah pesta hura-hura, menjadi penanda akan kisah kasih yang semu dan nihil makna. Di abad konsumerisme seperti saat ini, Valentine adalah moment penting untuk memasarkan produk. Ada warna pink di mana-mana, ada gambar hati, serta sebuah testimoni kasih sayang. Namun, benarkah ada kasih sayang di situ?
Kita manusia modern selalu membutuhkan sebuah momentum. Kita selalu ingin menandai sesuatu dengan aneka sebutan. Kita selalu saja membutuhkan alasan untuk berpesta pora. Di kota seperti Jakarta, Valentine identik dengan pesta seks. Entah sejak kapan budaya ini menyebar, namun di sini, anak-anak muda merayakan Valentine dengan berbagai sebutan. Kemarin, dalam satu liputan di Pos Kota, Valentine identik dengan "pesta mengakhiri masa keperawanan." Anak-anak muda itu --yang ternyata berasal dari golongan kaya negeri ini-- merayakan Valentine sebagai tradisi untuk pesta seks.
Anak-anak muda itu menganggap seks sebagai manifestasi kasih sayang. Seks menjadi bahasa baru silaturahmi dan saling sapa. Keperawanan menjadi kado. Mereka mengaku sedang merayakan kasih sayang lewat seks, akan tetapi setelah itu kasih sayang menguap ke udara. Kasih sayang itu tidak mengendap dan bertahan lama sebagai telaga yang menggenang di hati.
Jakarta adalah sebuah kota yang penuh paradoks. Ribuan orang merayakan hari kasih sayang. Sementara ribuan orang pula harus kehilangan kasih sayang setiap harinya. Di sini cinta dan kasih sayang serupa barang yang mudah didapat dengan menyerahkan lembaran ratusan ribu. Tapi sekian detik berikutnya kasih sayang itu bisa menguap ke udara.
Pada akhirnya, kasih sayang bukanlah sesuatu yang didapatkan di pasar senen atau di bar-bar beraroma bir. Kasih sayang adalah sesuatu yang sublim dan tumbuh serupa pohon beringin yang kekar karena disirami mata air pengalaman serta kesediaan untuk berkorban.
Barangkali kasih sayang tidak membutuhkan banyak kata dan pesta pora atau pesta seks. Kasih sayang terletak pada bening mata bahagia yang melihat dirimu bahagia, atau pada sorot mata yang menggenang ketika melihat dirimu sedang bersedih. Kasih sayang terletak pada kalimat-kalimat yang memenuhi rongga dada kita ketika menyaksikan sosok yang kita sayangi, kalimat yang serupa oksigen dan setiap saat kita hirup hingga tubuh kita menyempurna.
Kasih sayang --betapa mahalnya menyebut kata ini di Jakarta-- tidaklah identik dengan pesta serta hingar-bingar. Kasih sayang berkarib dengan sunyi, menjelma sebagai embun yang membasahi kalbu, menyiraminya hingga menguatkan diri kita. Kasih sayang tak membutuhkan momen seperti Valentine. Ia hanya butuh sikap yang jernih, dan hati yang membuka. Dan di situ terukir nama-nama yang kita sayangi.
Terserah, apakah anda merayakannya atau tidak, izinkan saya mengucapkan selamat hari kasih sayang! Semoga damai tercipta di bumi.....
3 komentar:
bagus artilenya...
8 Rahasia Awet Muda
Mantap bang.,., bagus sekali artikelnya.,
pujanggabajingan.blogspot.co.id
Posting Komentar