Fiksi sebagai Nyawa Sejarah

PERNAHKAH kita berpikir untuk belajar sejarah melalui fiksi? Bagi yang ketat dengan metodologi, fiksi dan sejarah ibarat minyak dan air yang mustahil dipertemukan. Namun bagi yang menyenangi petualangan, maka sejarah dan fiksi menjadi rangkaian teka-teki yang amat menarik untuk ditelusuri. Fiksi membuat sejarah jadi lebih bernyawa. Fiksi ibarat ruh yang membuat sejarah memiliki daging, darah, serta tulang belakang. Berkat fiksi, sejarah jadi dekat dengan urat nadi kita, menjelma sebagai energi yang bisa kita rasakan kala melihat sesuatu atau mengingat satu kejadian.


Beberapa hari ini, saya sedang mengakrabi novel Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang, karya Seno Gumira Adjidarma (penulis favorit saya). Kisahnya tentang Pendekar Tanpa Nama (mengingatkan saya pada peran Jet Lee dalam film Hero yang disutradari Zhang Yi Mou) yang berkelana mulai dari Javadvipa (Jawa) lalu ke Tanah Kambuja, Campa, Vietnam, hingga ke Negeri Atap Langit (Cina) dan Tibet. Saya membaca buku ini serupa seseorang yang kehausan di tengah padang gurun. Saya baca dengan lahap sebab di dalamnya terdapat haru-biru kisah pengembaraan, cinta kasih, pertarungan yang secepat kilat dan susah diikuti mata, tentang pendekar yang menemukan kesempurnaannya dalam pertarungan, serta kisah tentang perjumpaan kebudayaan di negeri-negeri yang jauh.

Membaca Nagabumi II, serasa membaca sejarah tapi tidak dengan cara baca sejarah yang umum, sebagaimana sering kita temukan dalam buku-buku. Bagi saya, sejarah sering kali menjemukan karena berisikan kronologis, rangkaian kejadian, serta peristiwa-peristiwa yang sudah lewat. Sejarah bisa menjenuhkan karena sering hadir sebagai hafalan yang mesti diendapkan dalam kepala, tanpa menyimpan makna, atau selaksa kisah yang berjejalan untuk dibaca, tanpa kita tahu kalau kisah itu serupa berlian yang amat berharga untuk menjelaskan masa kini, dan membaca masa depan kita.

Melalui Nagabumi II, saya membaca sejarah melalui kisah petualangan dan pertarungan. Kisah ini memang tentang para pendekar. Namun para pendekar ini bukanlah mereka yang jatuh dari langit serupa kera sakti Sun Go Kong. Para pendekar dalam kisah ini tumbuh dari satu masyarakat, dibesarkan dalam rahim kebudayaan, dan melihat kepandaian berkelahi sebagai tradisi yang menakar dan terus disempurnakan dalam perjumpaan dengan para pendekar lainnya. Membaca buku ini, serasa belajar beberapa ilmu sekaligus. Mulai dari filsafat, sejarah, kebudayaan, hingga pengetahuan tentang pelukisan bangsa-bangsa (etnografi).

Maafkan karena saya hanya bisa membahas singkat tentang isi buku ini. Saya baru sampai 356 dari sebanyak 980 halaman. Pada halaman yang saya baca, Pendekar Tanpa Nama sudah tiba di Negeri Atap Langit dan tinggal bersama para biksu Shaolin. Mudah-mudahan saya bisa menuntaskannya dalam waktu cepat. Saya harus mencari waktu membaca di sela-sela belajar bahasa Inggris. Semoga bisa segera tuntas.(*)

2 komentar:

dwia mengatakan...

ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra harus bicara (SGA)

Arsal Amiruddin mengatakan...

k' yus, berapa harga kedua novel nagabumi (I dan II)?

Posting Komentar