Watak Pengemis Para Akademisi Kita

WATAK para akademisi kita sekarang ini adalah watak pengemis. Mereka jarang mengajar. Tiap hari hanya mengincar proyek-proyek riset pesanan demi memperkaya diri. Mereka sama saja dengan para peminta-minta yang saban hari selalu menadahkan tangan. Bedanya adalah: para peminta-minta itu mengincar beberapa ribu rupiah sehari, maka para akademisi itu mengincar dana hingga miliaran rupiah.

Para akademisi kita berlindung di balik kalimat riset atau penelitian. Padahal bukan riset itu yang menjadi tujuan. Riset itu dilakukan asal-asalan, sekadar memenuhi kewajiban menyetorkan hasil riset pada satu lembaga donor (yang juga tak mau mengecek apakah riset dikerjakan dengan baik ataukah tidak). Tujuannya bukan untuk menguak lapis-lapis realitas sosial dan memaknainya, namun semata-mata demi mengincar segepok dana yang bertimbun di banyak lembaga. Makanya, riset itu dilabeli kata proyek. Biasanya, untuk mendapatkan proyek, maka mesti ada imbalan yang juga masuk ke sejumlah orang dalam satu lembaga. Bung!!! Ini simbiosis mutualisme. Kita mesti sama-sama bekerja sama agar bisa kaya sama-sama. Hehehehe…

Saya tidak sedang menuding. Sudah terlalu banyak kenyataan yang tiap hari saya saksikan. Terlampau sering saya melihat akademisi yang tidak pernah masuk mengajar. Lebih jarang lagi melihat akademisi yang menulis buku-buku bermutu. Pembicaraan di ruang-ruang jurusan atau fakultas bukanlah membahas bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan serta implikasi metodologisnya. Tidak juga membahas substansi aneka publikasi di jurnal terbaru atau riset-riset yang lagi marak. Mereka sibuk membahas siapa yang paling kaya, mobil siapa yang paling baru, siapa mahasiswi yang paling cantik, hingga membahas bagaimana cara memeras uang di sana-sini.

Mereka semakin sibuk menjilat sana-sini, mudah silau dengan jabatan kuasa hingga mengorbankan tugas-tugas mulia akademiknya. Mereka berpetualang di jagad politik dan merapat di ketiak mereka yang memiliki kuasa. Mereka menjadi tim sukses dengan satu tugas yaitu selalu menjilat dan memuji-muji sang majikan. Tugasnya adalah memberikan nasihat-nasihat untuk mengelabui masyarakat, agar citra sang majikan tetap baik dan tampak seolah terpuji. Misinya adalah membohongi orang-orang dan mengkonstruksi realitas tentang majikannya yang hebat, welas asih, selalu berpihak pada rakyat, dan religius. Mereka melakukannya demi uang, dengan alasan gaji akademisi tidak cukup memadai untuk berfoya-foya.

Mungkin saya agak emosional. Tapi saya tidak asal menuding secara membabi-buta. Menurut saya, ketika memilih profesi akademisi atau dosen, maka di situ terletak sebuah komitmen dan amanah sosial yang besar untuk mendedikasikan hidupnya pada jalan kebaikan, sebagaimana dipilih para guru dan pengajar masa silam yang tak mengharap kekayaan. Seorang akademisi harus mengabdikan dirinya demi memberikan pencerahan bagi masyarakat. Ia harus menjadi mercusuar yang memberikan cahaya terang bagi siapapun yang tertatih-tatih di kegelapan pengetahuan. Meminjam istilah filsuf Heidegger seorang akademisi adalah intelektual memisahkan terang dari gelap dan menjaga terang agar tetap bersemayam di hati secara terus-menerus. Ia menghancurkan berhala pengetahuan, memberikan inspirasi dan memberikan makna kepada masyarakat luas.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa seorang akademisi harus miskin. Profesi akademisi mestinya menjadi pilihan bagi mereka yang cinta pada ilmu pengetahuan, cinta pengajaran, dan tidak menjadikan kegiatan mengajarnya sebagai pintu menuju kekayaan. Kalaupun kelak uang mengalir masuk ke rekeningnya, maka itu harus dipandang sebagai konsekuensi atas profesionalitas dan kerja kerasnya dalam menata kalimat-kalimat pengetahuan. Bukannya menghalalkan segala cara, jilat sana jilat sini demi uang. Bukannya menipu kiri kanan demi mengincar uang atau jabatan, atau apalah namanya.

Saya tahu bahwa tidak semua akademisi seperti itu. Tetap ada pelita harapan di tengah pekatnya kegelapan dunia akademis kita. Namun, bisakah akademisi idealis itu bertahan ketika melihat di kiri kanannya semua orang menghalalkan segala cara? Saya bertemu beberapa akademisi idealis yang meradang dengan situasi ini. Ia tidak menampik semua yang saya tudingkan. Malah ia menambahi. Katanya, profesi akademisi hanya dilihat sebagai strategi untuk menjaga kerja lambung. What...?

0 komentar:

Posting Komentar