Risiko sebagai Barang Mainan

AKU ingin menuliskan kesaksian tentang seorang kawan yang unik di mataku. Selama ini, aku banyak menjalin pertemanan dengan para pengajar, aktivis, intelektual, atau para akademisi. Telah kuhafal bagaimana cara berpikir mereka dalam menilik satu soalan. Mereka cenderung berhati-hati dan mengedepankan rasio ketimbang pertimbangan emosional semata. Makanya, para akademisi adalah sosok yang paling tak siap dengan perubahan. Mereka sebenarnya berpikir mapan dan sekedar cukup saja dengan apa yang dialaminya setiap hari.

Namun, kawanku yang satu ini punya corak berpikir yang amat berbeda dari mereka yang pernah kukenal. Ia adalah tipe pengusaha atau bisnismen. Ia senang menantang risiko dan berjibaku dengan segala upaya untuk mengalahkan risiko tersebut. Di tangannya, risiko ibarat mainan yang dijalaninya setiap saat dan dihayatinya. Terlampau sering, risiko itu menelan dirinya, tetapi ia tak pernah kapok untuk mencoba kembali. Ia punya mimpi-mimpi besar dan tak pernah berhenti menganyam mimpi tersebut. Ia menyusun tahapan dalam meraih semua mimpinya, sesuatu yang kadang kuanggap mustahil, namun ia yakin dengan kukuh bahwa pastilah ia kelak akan menggapai semua mimpi tersebut.

Selama beberapa saat menemaninya, aku baru sadar bahwa selama ini mimpiku seakan berbatas. Inilah yang menjadi beda dengan dirinya. Ia bermimpi yang amat jauh dan kalau perlu, menembus langit, kemudian mengobrak-abrik atau merobek-robek dengan tangannya. Ia anti kemapanan dan selalu terbuka pada gagasan-gagasan baru, bahkan gagasan yang paling gila sekalipun. Ia membayangkan suatu masa depan yang gemilang dan kelak akan diraihnya dengan setumpuk usaha keras, tak kenal lelah, dengan energi yang seolah tak habis-habis.

Aku salut dengan energi yang tak pernah habis itu. Namun lebih salut lagi dengan optimismenya yang meluap-luap. Ia tak pernah pesimis, sesuatu yang banyak melanda para akademisi. Keyakinan untuk sukses adalah harga mati yang tak bisa ditawar seikitpun. Tak ada istilah gagal. Tak ada pula istilah takut, sebab takut hanya milik para pengecut yang gentar menatap perubahan. Optimisme dan keyakinan yang kuat menjadi senjata utamanya dalam memulai sesuatu, apapun rintangannya.

Ia memang tidak secerdas para akademisi, namun dengan visi serta optimisme yang kuat, ia berani bertarung dan mempertaruhkan semua yang dimilikinya. Mungkin karena pikirannya yang tidak secemerlang para akademisi, membuatnya berani melangkah taktis ke depan. Ia memang nekad, namun kenekadan itu memang dibutuhkan dalam situasi genting ketika anda harus membuat keputusan.

Aku belajar banyak darinya. Tanpa disadarinya, ia seolah mengajarkanku untuk menemukan kembali kenekadan dan keberanian untuk bemain dengan risiko. Mungkin selama ini, aku berpikir terlalu mapan sehingga selalu ingin cari jalan yang aman. Mungkin sesekali, akupun harus berani menabrak risiko sebagaimana yang dilakukannya. Toh, pada akhirnya, apa yang disebut keberhasilan tak lebih dari gabungan antara visi, optimisme yang kuat, kerja keras, serta energi yang tak habis-habis.(*)

0 komentar:

Posting Komentar