HARI Minggu (15/11) lalu, untuk pertama kalinya saya menjalani test di satu perguruan tinggi agama Islam. Baru membuka lembaran soal, saya sudah terkejut melihat soalnya yang berbahasa Arab. Jumlahnya sampai 50 nomor, atau sekitar sepertiga dari jumlah soal. Saya lalu jawab asal-asalan. Untungnya, soal ke-51 hingga 175 adalah soal bahasa Inggris, pengetahuan umum, dan psikotest. Kalau tidak, saya sudah mengibarkan bendera putih alias mengaku kalah atas tes tersebut.
Lulus atau tidak lulus, itu urusan belakangan. Yang jelas, saya telah melewati tes pertama sejak saya resmi menyandang status magister. Makanya, saya cukup menikmati petualangan menjalani tes sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di perguruan tinggi Islam tersebut. Berbeda dengan saat tes masuk di Universitas Indonesia (UI), kali ini saya santai saja. Saya sudah terbiasa menjalani tes atau ujian yang mempertaruhkan nasib. Lagian, kalau dipikirkan, bisa-bisa mendatangkan stres dalam diri kita. Mendingan nyantai aja. Iya nggak?
Banyak kawan yang merasa aneh dengan pilihan yang saya ambil. Maklum saja, saya dikenal sebagai seorang penganut Islam abangan alias tidak terlalu taat. Malah, saat masih kuliah di jenjang S1, saya sempat dituding penggiat marxisme. Pernah pihak petinggi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas menggelar seminar khusus untuk membahas marxisme di mana saya sebagai pembahas utama. Mereka sengaja menggelar dialog itu dan menghadirkan seorang dosen senior untuk menunjukkan bahwa pengetahuan para mahasiswa tentang marxisme adalah keliru besar. Ternyata, justru sang dosen itu yang jungkir balik. Saya mendebat semua pemikirannya, hingga ia sendiri jadi ragu dengan apa yang sedang dipikirkannya.
Makanya, sah-sah saja kalau banyak kawan yang heran kenapa saya ikut seleksi di perguruan tinggi Islam. Alasan utama mengapa ikut tes, semata-mata hanya didorong oleh keisengan semata. Saya sama sekali belum pernah ikut seleksi apapun sejak lulus jadi magister. Bulan lalu, saya berharap bisa ikut seleksi di Unhas. Ternyata, formasi untuk jurusan saya belum terbuka. Saat mendengar ada seleksi pengajar di lembaga Islam itu, tiba-tiba saja rasa iseng saya terusik. Saya penasaran untuk menjalani tes sekaligus mengetahui apakah saya bisa lolos tes itu ataukah tidak.
Kemarin, saya sudah jalani tes tersebut. Saat ini, tinggal menunggu hasil tes. Apapun hasilnya, saya senang karena punya pengalaman bagaimana menjalani tes di satu perguruan tinggi Islam. Sebuah pengalaman yang berharga.(*)
0 komentar:
Posting Komentar