Syair tentang Ikarus yang Meleleh


BARANGKALI ini adalah saat di mana kata-kata menjadi basi. Segala sedu-sedan, puisi dan syair sudah tidak mempan untuk pikiran kita yang beku. Bahkan filsafat sudah nampak usang, ketimbang gemerlap cita-citamu bergondola di suatu negeri. Barangkali inilah saat ketika kesabaran kalah oleh ketidaksabaran, ketika langkah-langkah kecil harus tersaput ambisi membuat lompatan kuantum. Barangkali inilah saat ketika rasio kita jadi mainan usang yang tidak lagi menghiburmu ketika sedang gundah.

Kau selalu menuntut. Kau selalu meminta sesuatu. Kau ingin segera melihat matahari. Sementara aku harus menjadi Ikarus yang perlahan terbakar dalam perjalanan menuju matahari. Aku rela menjadi martir seperti Ikarus, sekadar demi sebuah dongeng yang kelak kau tuturkan kepada anakmu. Namun, sebelum benar-benar terbakar, bisakah aku memberikan sebuah permintaan terakhir? Bisakah aku meminta keikhlasanmu untuk memberikan sedikit saat bagiku demi menatah ulang hiasan di karpet merah perjalanan kita? Atau bisakah kamu memberi sekeping saat bagiku untuk merajut baju sutra yang kelak kamu kenakan di gerbang impianmu?

Aku selalu menghargai segala pesimisme atas langkah kecilku. Puluhan tahun silam kita adalah anak kecil yang sama-sama menyenangi istana pasir. Kini, aku bermain pasir sendirian. Sementara kamu, perlahan berperahu menuju pelangi harapan. Kamu memintaku untuk menyusulmu. Namun kakiku masi goyah dan lelah membangun kapal besar yang menantang samudera. Dan biarlah aku yang bahagia melihat jejak perahumu di pelangi harapan. Terkadang kamu lelah dan ingin kembali ke istana pasir ini, tetapi tarikan-tarikan kebutuhanmu yang kian membukit menjadi benteng yang menghalangi gerakmu ke sini. Aku ikhlas melepasmu ke negeri impian. Aku bahagia melihatmu berlayar. Bisakah aku mengharap keikhlasan yang sama?

Rasanya, aku kian renta untuk mengejar segala hajat dan nafsu binalmu untuk bergondola di negeri antah berantah itu. Rasanya, duniaku seolah terpental dari duniamu. Kau perlahan membangun istana kue di negeri pelangi yang bisa kau makan remahnya sedikit demi sedikit, sementara aku masih bermain dengan istana pasir yang sesekali kuleburkan dengan air laut. Kau mulai mengenal rupa-rupa bangsa yang hilir mudik di situ. Sementara aku masih terpenjara di sini, negeri yang semata kupilih agar tidak jauh-jauh ketika hendak berlabuh di hatimu. Aku masih menganyam mimpi untuk sama-sama berlabuh denganmu. Biarlah aku menjadi Ikarus yang meleleh atas segala mimpimu...(*)

0 komentar:

Posting Komentar