SELALU saja ada pelangi seusai hujan badai. Selalu saja ada bahagia di tengah situasi yang runyam. Minggu ini ada begitu banyak bahagia yang menyapa, setelah minggu lalu saya terpaksa mengundurkan diri dari proyek riset tentang kemiskinan di Sulawesi Selatan. Minggu ini, di saat uang di kantong juga mulai menipis, saya sudah harus siap-siap dengan proyek riset dari Toyota Foundation yang akan segera jalan, di mana saya menjadi koordinator, serta riset tentang bisnis kain sutra yang juga sudah harus turun lapangan.
Namun hal yang paling membuat saya bahagia adalah buku Naskah Buton, Naskah Dunia yang sudah terbit. Bagi saya, buku ini adalah bagian dari idealisme yang saya bangun sejak lama bersama teman-teman Respect. Sebuah buku adalah kulminasi perjalanan intelektual yang akan abadi dan menjadi catatan emas atas perjalanan seseorang. Saya selalu mengapresiasi mereka yang melahirkan karya-karya, tak peduli seberapa bagus atau jelek karya tersebut.
Dengan melahirkan karya, maka seseorang sudah jauh melangkah maju, ketimbang mereka yang hanya bisa mencibir melihat karya. Di banding para akademisi kampus yang sepanjang hidupnya tidak menghasilkan satupun karya, saya sudah bisa menepuk dada karena melebihi mereka. Setidaknya, saya punya tiga buku yang lahir melalui proses yang amat panjang, mulai dari penentuan tema, diskusi tentang bagaimana perencanaan isi serta tampilan fisik buku, hingga proses cetak yang rumit. Buku Naskah Buton, Naskah Dunia adalah saksi tentang proses belajar dan proses mencipta karya. Ibaratnya, saya belajar dengan cara mencebur langsung ke dalam kolam renang, kemudian mengambil intisari dari proses tersebut.
Saya tidak menghiraukan mereka yang hanya bisa mencibir. Dalam dunia kepenulisan, sering berlaku kalimat “Kalau hendak mengkritik suatu buku, maka buatlah buku yang sekelas, atau tidak, kritikan itu harus dibuat dalam bentuk buku.“ Setiap kritikan atau hujatan atas sebuah buku, mesti dijawab dengan cara melahirkan buku pula. Jauh lebih terhormat mereka yang mengkritik dengan cara menyusun buku, ketimbang mereka yang hanya bisa mencibir, tanpa melahirkan karya satupun. Apapun alasannya, seorang pengarang harus mendapatkan apresiasi, sebab ia telah menghasilkan sesuatu, ketimbang para kritikus yang sinis.
Insyaalllah, hari ini saya balik ke Bau-Bau untuk mempersiapkan acara launching-nya tanggal 17 Oktober nanti. Melalui blog ini, saya ingin mengucapkan selamat dan apresiasi kepada teman-teman Respect, serta harapan besar agar kelak buku ini bukanlah akhir dari perjalanan teman-teman. Semoga buku ini adalah awal dari karya-karya besar yang akan menginspirasi di masa mendatang. Selamat!
Namun hal yang paling membuat saya bahagia adalah buku Naskah Buton, Naskah Dunia yang sudah terbit. Bagi saya, buku ini adalah bagian dari idealisme yang saya bangun sejak lama bersama teman-teman Respect. Sebuah buku adalah kulminasi perjalanan intelektual yang akan abadi dan menjadi catatan emas atas perjalanan seseorang. Saya selalu mengapresiasi mereka yang melahirkan karya-karya, tak peduli seberapa bagus atau jelek karya tersebut.
Dengan melahirkan karya, maka seseorang sudah jauh melangkah maju, ketimbang mereka yang hanya bisa mencibir melihat karya. Di banding para akademisi kampus yang sepanjang hidupnya tidak menghasilkan satupun karya, saya sudah bisa menepuk dada karena melebihi mereka. Setidaknya, saya punya tiga buku yang lahir melalui proses yang amat panjang, mulai dari penentuan tema, diskusi tentang bagaimana perencanaan isi serta tampilan fisik buku, hingga proses cetak yang rumit. Buku Naskah Buton, Naskah Dunia adalah saksi tentang proses belajar dan proses mencipta karya. Ibaratnya, saya belajar dengan cara mencebur langsung ke dalam kolam renang, kemudian mengambil intisari dari proses tersebut.
Saya tidak menghiraukan mereka yang hanya bisa mencibir. Dalam dunia kepenulisan, sering berlaku kalimat “Kalau hendak mengkritik suatu buku, maka buatlah buku yang sekelas, atau tidak, kritikan itu harus dibuat dalam bentuk buku.“ Setiap kritikan atau hujatan atas sebuah buku, mesti dijawab dengan cara melahirkan buku pula. Jauh lebih terhormat mereka yang mengkritik dengan cara menyusun buku, ketimbang mereka yang hanya bisa mencibir, tanpa melahirkan karya satupun. Apapun alasannya, seorang pengarang harus mendapatkan apresiasi, sebab ia telah menghasilkan sesuatu, ketimbang para kritikus yang sinis.
Insyaalllah, hari ini saya balik ke Bau-Bau untuk mempersiapkan acara launching-nya tanggal 17 Oktober nanti. Melalui blog ini, saya ingin mengucapkan selamat dan apresiasi kepada teman-teman Respect, serta harapan besar agar kelak buku ini bukanlah akhir dari perjalanan teman-teman. Semoga buku ini adalah awal dari karya-karya besar yang akan menginspirasi di masa mendatang. Selamat!
0 komentar:
Posting Komentar