Globalisasi yang Mematikan Petani Sutera

"Andaikan semua kokon ini bisa dimakan,
hari ini juga akan saya makan.
Saya tidak tahu mau dijual di mana,"


DEMIKIAN ucap lirih seorang petani sutera di Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Ia tak berdaya tatkala kokon (kepompong) sutera --hasil kerja kerasnya selama beberapa waktu-- tiba-tiba teronggok di rumahnya, tanpa bisa dipasarkan. Kokon itu adalah hasil dari kerja memelihara ulat sutera selama dua minggu. Mestinya kokon itu dipasarkan kepada sejumlah pengusaha tekstil untuk diolah menjadi benang sutera. Kini, harapan itu ibarat menggantang asap dan mengukir langit.

Masuknya aneka benang sutera impor dari Cina dan India telah memukul iklim persuteraan di Wajo. Para petani menjadi pihak yang paling dirugikan sebab merasakan langsung dampaknya. Para pengusaha banyak yang beralih ke benang impor karena lebih murah dan berkualitas. Para pengusaha justru tenang-tenang saja, sebab akan semakin banyak pilihan terhadap benang. Jika ingin menggenjot produksi, mereka cukup memilih benang impor yang lebih murah dan lebih berkualitas. Sementara para petani justru tidak punya pilihan. Mereka hanya bisa gigit jari. Kokon yang sedianya bisa memberikan tambahan penghasilan, tidak bisa dipasarkan. Akhirnya, kokon itu hanya memenuhi gudang di desa-desa.

Selama beberapa hari bertemu dan mewawancarai para petani sutera, saya bisa merasakan kesedihan itu. Mereka kehilangan mata pencaharian yang digeluti sejak lama. Apalagi, rata-rata para petani itu menjalankan profesi yang dulunya juga dijalankan orang tua mereka. Profesi yang telah terwariskan selama sekian generasi. Tatkala kokon tidak bisa dipasarkan, lantas apa daya mereka? Mereka hanya bisa menyaksikan kenyataan pedih itu dengan mengurut dada.

Susahnya adalah karena tidak banyak pihak yang bisa mengerti dan memeta-metakan apa yang sesungguhnya terjadi. Sementara pemerintah hanya berhenti pada tingkatan janji dan komitmen. Ada begitu banyak baliho dan sticker di rumah petani yang menampilkan para calon bupati dan calon anggota legislatif (caleg) yang berkoar-koar tentang komitmen memelihara kelangungan hidup para petani sutera. Sementara realitas di lapangan, para petani justru menjerit karena kokon tidak bisa dijual.

Tatkala para petani ramai-ramai menebang pohon murbei --sebagai makanan ulat sutera—maka itu harus ditafsir sebagai bentuk respon mereka atas globalisasi yang menghisap energi kehidupan mereka. Jika globalisasi bisa dibaca sebagai terbukanya belahan bumi atas aneka akses informasi, maka globalisasi itu menjadi ancaman yang makin memperparah kehidupan para petani. Dalam kondisi seperti ini, maka semestinya proteksionisme atau perlindungan negara kepada petani mesti dilakukan. Mestinya pemerintah bisa memperketat impor benang demi memacu produksi sutera dalam negeri sekaligus mempertahankan energi hidup dari para petani di tingkat grass root. Pemerintah tak perlu dengan segala retorika akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Cukup menghentikan impor benang, maka sontak akan menghidupkan industri persuteraan yang mati suri dan kembali memberikan penghidupan bagi ribuan petani sutera di Kabupaten Wajo.(*)

0 komentar:

Posting Komentar