Politik Jawa di Ajang Pilpres

POLITIK adalah dunia yang kadang ambigu, kadang hitam, putih, kadang abu-abu. Sebagai khalayak politik, kadang-kadang kita tak punya keberanian untuk menyatakan hendak memilih siapa. Kita simpati pada seorang kandidat, namun kita tak berani mengungkapkannya secara terbuka. Akhirnya, ketika sang ’jagoan’ itu kalah, kita merasa seolah kehilangan harapan pada pemerintahan baru.

Minggu depan pemilihan presiden (pilpres) akan segera digelar. Saya sudah punya pilihan yaitu Jusuf Kalla (JK). Namun, saya tidak pernah menyampaikan pilihan politik secara terbuka kepada orang lain. Saya tak mau latah berkampanye. Tetapi saya berharap orang-orang akan sama pilihannya dengan saya. Semoga pemilu kali ini bisa memenangkan JK. Tetapi melihat situasi belakangan ini, kayaknya saya mesti sedikit berkampanye. Saya mesti mengabarkan pada orang-orang bahwa JK adalah pilihan yang lebih baik untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis dan keterbelakangan.

Awalnya, saya bukan pendukung JK. Malah, saya antipati pada sesuatu yang bernuansa politik. Beberapa waktu lalu, sewaktu masih tinggal di Depok, saya agak kesal dengan sejumlah teman yang suka melecehkan JK dengan ucapan bahwa “JK harus realistis. Presiden itu mestinya orang Jawa.”

Bahkan sejumlah teman mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) –khususnya yang berasal dari Jawa-- juga mengatakan hal yang sama. Saya langsung meradang dan berteriak. “Saya bukan pendukung JK, namun saya tidak sepakat kalau kualitas kepemimpinan selalu ditakar dengan etnis Jawa atau bukan. Ini Indonesia Bung!!! Ini bangsa yang luas wilayahnya membentang luas. Ini bangsa yang di masa silam diperjuangkan oleh seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. ”

Saya agak kesal karena soal kepemimpinan bangsa harus dilekatkan hanya kepada orang-orang Jawa saja. Apakah kita orang luar Jawa tak punya peluang untuk memimpin bangsa ini? Sejak kapan soal memimpin dikaitkan dengan kategori biologis bahwa harus kaum tertentu yang berhak mengendalikan negeri. Itukah demokrasi? Puihh....

Padahal, kepemimpinan adalah perkara universal yang bisa dimiliki oleh siapa saja. Kepemimpinan bukan cuma soal bagaimana berdandan gagah dan disukai rakyat sebagaimana artis sinetron. Kepemimpinan adalah kemampuan menggerakkan semuanya untuk bekerja sesuai kapasitas masing-masing. Kepemimpinan adalah kualitas yang hadir pada mereka yang memiliki visi kuat, serta menggerakkan semesta di sekelilingnya untuk mendukung semua visi tersebut. Saya melihat JK terzalimi oleh pandangan bahwa presiden seolah harus dari Jawa.

Mungkin teman saya hanya melihat dengan cara pandang yang kuantitatif. Hampir separuh warga bangsa terkonsentrasi di Pulau Jawa. Bahkan jika dihitung mereka yang ditransmigrasikan pada masa Soeharto, maka boleh jadi orang Jawa bisa sampai 70 persen, jumlah yang menggurita dan menguasai negeri ini di mana-mana. Masalahnya adalah wilayah Jawa itu hanya sekian persen saja dari luas Nusantara. Tatkala politik Indonesia seolah hanya milik orang Jawa, maka saya akan membenarkan ucapan yang pernah saya dengar dari teman asal Aceh bahwa “Indonesia itu adalah bentuk penjajahan Jawa atas wilayah yang lain. “

Ini negeri seolah milik orang Jawa saja. Ketika Habibie pernah memimpin negeri ini, ia langsung dijatuhkan hanya karena tidak didukung para etnis mayoritas. Mungkin, inilah ekses tak terduga dari demokrasi. Ketika founding father kita bersepakat memilih demokrasi sebagai jalan terang yang dituju, maka mereka tidak memperkirakan bahwa di masa mendatang, Indonesia akan menghadapi kompleksitas dalam menghadapi beragam identitas anak bangsa.

Meskipun jargon persatuan terus didengungkan negeri ini dan pemerintahnya, namun Indonesia masa kini dan masa depan akan selalu bergulat dengan isu-isu keragaman identitas. Nah, keragaman itu bisa menjadi antitesis terhadap pilihan politik kita untuk berdemokrasi. Sebab demokrasi itulah yang kemudian memutuskan dengan sadis bahwa hanya mereka yang mayoritas yang bisa memenangkan pemilu. Dalam konteks Indonesia, pilihan itu akan selalu dimenangkan mereka yang berasal dari Jawa. Kita, bangsa luar Jawa, akan menjadi penonton yang hanya bisa sinis dengan situasi.

Atas dasar berbagai argumen tersebut, saya akan konsisten untuk memilih JK. Bagi saya, JK adalah satu-satunya ikon Indonesia timur yang merepresentasikan keseimbangan kawasan. Meskipun saya menganggap JK lebih banyak memihak sama orang Bugis, namun tetap saja dia merepresentasikan kawasan timur.

Saya tidak terlalu jauh mengenal JK. Yang jelas, sudah cukup lama saya tinggal di Sulsel, saya belum pernah menemukan ada cerita jelek tentang dirinya. Sejauh ini, JK punya citra positif di Sulsel. Bahkan, media besar di Sulsel ikut-ikutan mengampanyekan JK. Mereka tidak peduli dengan nilai-nilai dasar jurnalistik yang senantiasa menginginkan keseimbangan.

Saya juga tidak menutup mata kalau beberapa kali komentar JK bikin panas kuping. Ia cenderung terbuka, tanpa menutup-nutupi sesuatu. Di balik komentarnya yang kadang bikin marah, JK hendak menunjukkan bahwa seorang pemimpin bukanlah malaikat. Seorang pemimpin adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Makanya, persoalan yang penting adalah sikap open mind atau terbuka pada gagasan-gagasan lain jika masuk akal dan lebih logis.

Secara lebih luas, saya berharap agar JK bisa mematahkan mitos tentang politik Indonesia yang hanya didominasi etnis tertentu. Itulah alasan mengapa saya mendukungnya. Saya berharap agar pada suatu masa kelak, ada seorang Papua yang juga bercita-cita menjadi presiden. Ia belajar dari JK yang sukses mematahkan dominasi Jawa.

Saya rasa cukup sekian. Maaf kalau ada yang marah.(*)

0 komentar:

Posting Komentar