Michael Jackson, Kesunyian, dan Kesedihan


KASET dan MP3 Michael Jackson ludes di Makassar. Orang-orang kembali hanyut dengan alunan khas Michael yang menghentak hingga yang mengiris-iris. Kematian sosok yang merupakan anak kandung tradisi budaya pop ini adalah kematian yang menguntungkan bagi produser dan studio yang memproduksi semua lagu-lagunya.

Saya selalu tersentuh dengan lagu-lagu kemanusiaan Michael. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas), mahasiswa program studi Hubungan Internasional (HI), setiap penyambutan mahasiswa baru selalu menyanyikan lagu Heal the World. Hampir di semua acara, mahasiswa HI menyanyikan lagu ini. Saya sampai hafal mati semua liriknya. Mereka seolah merasakan empati Michael yang ingin memandang dunia dengan lebih baik.

Saya pun menyukai semangat kemanusiaan yang dikumandangkannya. Namun ketika melihat fisiknya yang putih, saya langsung berubah pikiran. Jika Michael punya kesadaraan kemanusiaan yang tinggi, mengapa pula ia harus memetamorfosis dirinya dari berkulit hitam legam, menjadi berkulit putih mentereng? Apakah ia malu dengan identitas hitam yang dalam darahnya mengalir tradisi perbudakan dan rasialisme dari bangsa Amerika?

Michael tak pernah menjelaskan pilihan-pilihannya secara gamblang. Media massa hanya menyebut dirinya yang terkena penyakit kulit yang langka sehingga harus dioperasi. Entah kenapa, saya tidak terlalu yakin dengan itu. Selama ini, publisitas tentang Michael sebagai seorang raja pop dunia menyebabkan kita kesulitan untuk melihat apakah berita tentangnya adalah realitas ataukah sebuah fiksi belaka. Kita tak bisa memilah informasi tentang Michael sebab semua informasi berkelindan hingga membingungkan kita sendiri.

Saya sepakat dengan Oprah Winfrey yang mengatakan Michael telah kehilangan identitasnya sebagai seorang Afro-American. “Ia malu mengaku sebagai kulit hitam,“ katanya. Derasnya kritik dari sejumlah kalangan membuat Michael ikut-ikutan marah. Ia menjawab semua pertanyaan dan tudingan dengan single 'Black or White' yang menggebrak dunia pada 1991. Dalam video klipnya, ia menari di tengah suku Indian, masuk di tengah kumopulan penari Thailand, duet menari India, terakhir dia berubah menjadi panther hitam. Lagu yang menduduki puncak tangga lagu di lebih dari 18 negara itu diyakini orang sebagai caranya mengumumkan jati dirinya yang penuh kontradiksi.

Ia memang tidak menjawab secara langsung. Lagu Black or White itu hanya menegaskan pandangannya bahwa hitam dan putih sama saja. Ini tidak menjawab pertanyaan apakah ia malu dengan hitam? Apakah ketika memilih menjadi putih, ia melihat putih seperti halnya kosmetik yang bisa diganti-ganti?

Saya menduga, pilihan-pilihan Michael adalah dikte dari pasar. Menurut aktivis, Earl Ofari Hutchinson, ada dua fase penting dalam hidup Michael. "Pertama, identitasnya sebagai Afro-Amerika, musik, disko, gaya hidup, dan aksi panggungnya yang benar-benar 'hitam'," kata Hutchinson. Sedangkan fase kedua, Michael sangat ambivalen. "Musiknya, penampilannya yang berubah drastis. Penggemarnya pun makin beragam. Anda tak lagi melihat identitas Afro-Amerika pada sosoknya," tambahnya.

Ketika memilih jadi putih, Michael mendapatkan banyak penggemar baru. Meski demikian, ia tidak benar-benar putih. Kakinya seolah mengangkang di dua sisi dan meraup penggemar kulit putih maupun kulit hitam. Jika analisis ini benar, berarti Michael kehilangan kedirian dalam berbagai pilihannya. Tatkala memilih menjadi putih, ia berada dalam kuasa modal dan bisnis yang mempengaruhinya. Dugaan saya, pasar bukanlah satu-satunya alasan untuk dituding. Michael melakukan tindakan itu sebab dikuasai oleh hasrat untuk memutus rantai rendah diri yang dialaminya sejak masih kecil dan mempertanyakan mengapa ia berkulit hitam. Sayang sekali, ia tak sanggup mengganti darahnya menjadi darah mereka yang berkulit putih. Tetap saja yang mengalir di situ adalah darah dan kromosom dari bangsa kulit hitam yang sejerahnya kelam di tanah Amerika.

Kembali pada apa yang sebelumnya saya katakan, kita sulit mengetahui secara persis bagaimana kehidupannya. Saya belum pernah membaca buku yang ditulis tentang hari-hari yang dilewatinya. Satu hal yang saya catat, Michael menamakan kompleks tempat tinggalnya yang luas dengan sebutan Neverland. Sebutan ini diambil dari nama pulau yang dihuni Peter Pan, --seorang anak kecil yang menolak menjadi dewasa. Mungkinkah Michael ingin menolak dewasa sebagaimana halnya Peter Pan? Mungkin ia memikirkan bahwa masa paling bahagia tatkala menjadi kanak-kanak yang belum diganggu dengan hasrat popularitas. Hidup kian bermakna seiring keceriaan dan tawa khas seorang anak kecil. Sayang sekali, di tempat inilah ia sering dikabarkan melakukan pelecehan seksual pada anak kecil.

Michael telah meninggal sambil membawa semua kontroversi tentang dirinya. Saya serasa baru kemarin melihatnya menyanyi lagu "As long as you're my baby, it don't matter if you're black or white" dalam lagu Black or White. Ia hendak menjelaskan posisinya yang banyak dituding. Saya mengakui dirinya sebagai penyanyi besar. Namun tidak sebagai manusia besar.(*)


0 komentar:

Posting Komentar