Jakarta, Here I Come....

AKHIRNYA saya kembali ke Jakarta. Bukan untuk berdiam atau menetap selama beberapa bulan, sebagaimana biasanya. Namun untuk suatu keperluan yang tak bakal lama. Saat turun dari pesawat Batavia Air kemarin, saya merasa akrab dengan hawa dan suasana Jakarta. Saat bus Damri mengantarku ke Pasar Minggu, saya masih hapal jalan-jalan yang dilalui.

Ketika melintas di Slipi, saya teringat dengan hari-hari ketika masih bekerja sebagai jurnalis. Jalanan di Slipi ini hampir tiap hari saya lalui sebab saya tinggal di Palmerah. Kemudian, saat mobil yang saya tumpangi melintas di DPR, saya kembali teringat hari-hari yang berlalu. Begitu banyak orang yng memimpikan untuk berkantor di gedung itu. Saya merasa beruntung sebab pernah menelusuri lorong-lorong di gedung itu. Saya masih ingat ‘jalan-jalan tikus’ untuk menembus ketatnya penjagaan di gedung itu. Saya ingat sahabat speerti Aco (jurnalis Kompas) atau Jannes Siburia (jurnalis Rakyat Merdeka), para sahabat setiaku selama berkantor di gedung itu. Entah di mana mereka sekarang.

Ketika Bus Damri memasuki Pasar Minggu, saya lalu turun kemudian langsung menumpang angkot yang menuju ke arah kampus UI. Turun di Jalan Kober, saya lalu melewati jalan kecil menuju UI. Baru melangkah beberapa meter, sebuah suaa memanggil. Saya menoleh. Ternyata, penjual DVD yang biasa mangkal di Kukusan, dekat tempat kos saya yang dulu. Ia masih ingat bahwa saya adalah pelanggan setianya di Kukusan. Saya lalu singgah berbasa-basi dan menyapa.

Selanjutnya, saya masuk kampus UI dan menunggu bis kuning. Setiap kali memasuki kampus UI, selalu ada beragam rasa yang campur aduk di dada ini. Dulunya, saya tersentak ketika melihat begitu banyak cewek-cewek manis di kampus ini. Bedanya bagai bumi dan langit dengan cewek-cewek kampus di Makassar. Namun, setiap teman-teman Makassar menanyakan itu, saya selalu menjawab, sebaiknya mereka melihat sendiri. Susah saya ceritakan bagaimana kontrasnya apa yang saya saksikan.

Saya lalu singgah ke kampus Fisip demi mengurus ijazah. Ternyata, tesis kemarin dapat nilai A. Padahal, saya khawatir akan dapat B sebab saat ujian, saya dibantai habis. Artinya, IPK saya di UI adalah 3,79. Sebuah angka yang tidak mudah didapat di kampus yang masih memegang teguh tradisi menjaga kualitas.

Usai urus ijazah, saya singgah ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan bertemu dengan teman Andi Zulkarnain. Dulunya dia adalah seniorku di Unhas. Sekarang ia kuliah di Program Pascasarjana bidang Seni Pertunjukan. Zul –demikian ia disapa—sedang mengikuti kata hatinya. Sejak dahulu ia memang suka dengan dunia seni.

Lama berbincang dengan Zul, hpku berdering. Teman Dyah menunggu di kantin Taman Korea. Saya lalu bergerak ke kantin itu dan melihat Diah sedang duduk dengan teman-teman mahasiswa Pasca. Saya lalu berjabat tangan dengan mereka sambil berbisik, “Rajin belajar yaa biar cepat lulus kayak saya.” Semua teman-teman tertawa mendengar kalimatku itu. Seharian saya ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal.

Sore hari, saya diajak Dyah ke Cak Tarno Institute, suatu komunitas diskusi humaniora paling terkemuka di UI. Saya ngobrol lama dengan banyak teman di situ. Obrolannya macam-macam baik tentang filsafat, sastra, serta budaya. Di sini, saya juga ketemu ES Ito, pengarang novel Rahasia Meede. Satu hal yang bikin betah di Jakarta adalah di sini begitu banyak ruang-ruang cultural di mana kita bias diskusi dan memperkaya batin kita. Itulah yang paling menyenangkan di kota ini. Sedang hal yang paling menjengkelkan adalah kemacetannya yang bikin stress. Andaikan Jakarta bias bebas macet, pastilah akan sangat menyenangkan.(*)


0 komentar:

Posting Komentar