Konser DEBU di Kampus Unhas


LELAH di sela-sela kesibukan di Makassar, saya singgah menyaksikan konser musik DEBU di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas). Kelompok musik DEBU mengusung musik dengan nuansa spiritual dan sufistik. Mereka menggunakan beragam instrumen dari timur tengah dengan syair yang sangat menyentuh, yang terinspirasi dari syair sufistik ulama besar Jalaluddin Rumi.

Saya selalu tersentuh setiap mendengar musik dengan lirik yang sufistik. Apalagi jika dinyanyikan DEBU, yang semua personelnya berasal dari satu keluarga. Mereka adalah warga Amerika Serikat (AS) yang justru mengalami kegandrungan terhadap Islam dan menjadikannya sebagai jalan hidup dan mata air kebahagiaan. Mereka berwajah barat, berambut pirang, mata biru, serta wajah yang gagah dan cantik. Melihat personelnya, saya serasa menyaksikan konser Westlife, namun dengan versi yang berbeda. Mereka tidak sedang menyanyikan lagu-lagu barat. Mereka justru menyanyikan lagu dengan irama Melayu dan dipengaruhi musik sufistik berlatar Timur Tengah.

Fenomena DEBU adalah fenomena yang menarik dibahas. Di saat begitu banyak orang Indonesia tergila-gila pada peradaban barat, mereka justru berpaling ke timur. Di saat banyak remaja Indonesia mengecat rambutnya dengan warna pirang dan mengidolakan mereka yang berwajah indo atau bule, para personel DEBU justru memilih melihat timur dan mendedikasikan hidupnya di jalan Islami. Mereka melawan arus atau mainstream pemikiran yang melihat barat selalu identik dengan kemajuan atau peradaban yang unggul.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mendengar kisah kelompok ini. Mereka datang ke Makassar demi memenuhi undangan dari Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof Dr Abdurrahman Basalamah. Kemudian, mereka lalu tinggal di satu pesantren kecil di salah satu desa di pangkep. Mereka memilih cara hidup yang sederhana dan menjauhkan diri dari hiruk-pikuk perkotaan. Mereka memilih jalan Islami sebagaimana diajarkan guru sekaligus orang tuanya yaitu Syekh……. (ah.. lupa namanya)

Persolannya, bagaimana membedah DEBU dengan menggunakan perangkat analisis sosial. Apakah ini fenomena kejenuhan pada kaidah modern sebagaimana pernah diterawang Emile Durkheim? Bisakah mereka dilihat sebagai fenomena krisis rasionalitas sebagaimana pernah diurai Daniel Bell? Mungkin Durkheim dan Bell benar. Meskipun saya merasa pemikiran itu kurang adil bagi DEBU. Bagaimanapun, mereka bukanlah sekedar obyek yang jenuh pada modernisasi. Mereka adalah subyek yang memilih sesuatu atau mengguratkan jejak sejarahnya sendiri pada kanvas kehidupan. Barangkali mereka menyadari bahwa kemajuan, peradaban, serta modernisasi hanyalah konsep-konsep belaka yang lahir dari cara pandang manusia atas kenyataan. Barangkali mereka menyadari bahwa apa yang disebut kemajuan itu adalah kamuflase dan ilusi yang diciptakan kaum kapitalis yang hendak mencengkram dunia. Sebuah ilusi dari keserakahan manusia yang hendak memangsa semesta demi memenuhi isi perutnya. DEBU sedang melawan semua itu dengan gigih. Mereka memilih hidup pada jalan kebersahajaan. Sebuah hidup yang selalu diselimuti bahagia.(*)

8 April 2008

0 komentar:

Posting Komentar