Revolusi Memangsa Anaknya Sendiri


KEMARIN aku ke pepustakaan pusat UI dan meminjam buku berjudul Manusia dalam Kemelut Sejarah, terbitan LP3ES tahun 1978. Buku ini sudah cukup lama. Sampulnya sudah usang, agak kekuningan dan lapuk dimakan usia. Namun, isinya tidak ketinggalan zaman dan masih menyimpan bara gagasan yang tak pernah padam. Senarai gagasan yang tersaji dalam buku ini masih sanggup menyengat dan membakar belenggu keingintahuanku atas sisi lain dari sejarah bangsa.

Isinya semacam biografi dan tinjauan atas pemikiran dan gerak beberapa orang foundhing father Indonesia seperti Sukarno, Jenderal Sudirman, Sjahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim, Qahhar Mudzakkar, hingga Amir Sjarifuddin. Pada saat aku menulis catatan ini, aku sudah menuntaskan lebih separuh buku tersebut. Di antaranya adalah pengantar Taufik Abdullah, serta tulisan sejarawan Onghokham berjudul “Sukarno: Mitos dan Realitas,” tulisan M Roem “Memimpin adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim”, serta tulisan Dr Alfian tentang “Tan Malaka: Pejuang Kesepian”. Meski baru membaca beberapa tulisan, idenya seakan berputar-putar terus dalam benakku, membawaku ke dalam nuansa dan kelebat pemikiran beberapa tokoh tersebut, merasakan pergulatan emosi, ide serta interpretasi dalam membaca realitas ke-Indonesiaan.

Aku tak bermaksud menjelaskan semuanya. Palingan hanya membahas seorang tokoh yaitu Sukarno. Dalam pandanganku, tidak banyak manusia besar yang pernah dilahirkan oleh rahim bangsa ini. Sukarno adalah segelintir orang besar dengan visi yang terentang jauh untuk melihat bangsa ini lebih baik di masa mendatang. Ia punya energi –yang seakan tak pernah habis—untuk membumikan strategi yang diyakininya bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Membaca kisah Sukarno serasa membaca kisah dalam mitologi Yunani kuno: penuh dengan kisah penaklukan dan berujung pada tragedi. Ciri khas mitologi Yunani adalah selalu menempatkan tragedi sebagai elemen paling penting untuk menjelaskan kehidupan. Tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan, dan lewat itulah nilai-nilai moral ditemukan. Ketika Oediphus –kisah masyhur dalam drama Sophocles-- berhasil mengalahkan sphinx dan meraih tahta tertinggi di Thebe, maka itu adalah sebuah penaklukan dan kejayaan (glory). Namun tatkala ia harus menusuk matanya sebagai bukti atas keterlibatannnya –yang dilakukan secara tidak disengaja—atas pembunuhan Raja Thebe sebelumnya serta tindakan mengawini ibunya Penelope, maka itu adalah akhir dari kisah tragik yang baginya. Ia menjadi prasasti dari dilema manusia untuk menemukan dirinya dalam sebentang peta konstalasi kosmos.

Kisah Sukarno bisa pula dibaca sebagai kisah penaklukan yang kemudian berakhir tragis. Ia adalah seorang cerdik cendekia yang berhasil menggiring bangsa pada gerbang kemerdekaan. Ia berhasil memerdekakan sebuah bangsa yang tengah beringsut untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme. Lewat jargon revolusi, ia menggelorakan semangat massa dan rasa cinta yang dalam pada negeri hingga siap menjadi martir demi revolusi. Sayang, seperti halnya kisah Yunani kuno, Sukarno kemudian ditikam oleh negeri yang begitu dicintainya. Ternyata, revolusi –sebagaimana sering didengungkannya—harus memangsa anak-anaknya sendiri. Dan itu adalah tragis Sukarno.

Tak ada hal mengejutkan dalam tulisan Onghokham ini. Kalaupun ada yang baru bagiku, maka itu adalah cerita Sukarno yang sejak awal selalu sendirian dalam meniti bahtera kehidupan. Ia hanyalah alumni perguruan tinggi dalam negeri yang melesat sendirian. Ia tidak punya partner diskusi yang setara kualitas dengannya. Ia bukanlah Hatta atau Sjahrir yang dibesarkan dalam iklim akademis negeri Belanda, di mana mereka menemukan banyak lawan debat intelektual. Atas dasar itu, Sukarno kerap merasa egois dengan semua pandangan politiknya. Ia tak punya pengalaman memiliki seorang partner atau mitra yang benar-benar bisa dipercayainya seratus persen. Memang, di akhir kekuasaannya telah muncul tokoh seperti Soebandrio ataupun dr Leimina, namun mereka tak pernah menjelma menjadi tangan kanan Sukarno. Dalam hidup Sukarno, hanya ada sekutu dan seteru. Jika belakangan ia mati dalam konspirasi dan kesendirian, maka itu hanyalah tragedi yang menjadi ending dalam kisah glory hidupnya. Bermula dari keterasingan, meraih kegemilangan (glory), kemudian berujung pada tragedi yang telah menjadikannya sebagai mangsa dari kereta besar bernama revolusi. Soekarno adalah Oediphus yang ditusuk matanya dan mengerang hingga jauh.......


0 komentar:

Posting Komentar