It's American Dream


SAYA sedang berjalan-jalan di Washington DC. Menyusuri jalan-jalan kota yang menjadi jantung Amerika Serikat (AS), negeri yang mencengkramkan kuku di tatanan politik internasional. Saya menghirup udara di depan Capitol Hill, simbol politik AS yang kubahnya berbentuk bulat dan ada patung perempuan sebagai lambang kebebasan. Pematung Thomas Crawford, seorang pencinta wanita yang rela dibakar oleh rasa kecintaannya, meletakkan patung itu sebagai wakil dari kebebasan yang meluap-luap. Apakah wanita identik dengan kebebasan?

Takjub melihat itu, saya lalu menyusuri padang rumput di depan Lincoln Memorial dan menyaksikan langung patung Abraham Lincoln. Di sorot mata pria ini terhampar kasih sayang pada bangsa kulit hitam hingga menjadikan dirinya sebagai martir pada tahun 1865. Ingin rasanya kutembus sorot mata itu dan mengurai sejarah perbudakan bangsa AS, sejak kedatangan imigran Inggris hingga datangnya kapal May Flower yang membawa kaum berkulit hitam dari Afrika. Betapa besar hasratku untuk menelusuri jejak perbudakan yang kemudian dihapus dengan berdarah-darah oleh Lincoln, Presiden AS terbesar sepanjang masa yang tumbuh dalam balutan kemiskinan di Kentucky dan Indiana di tahun 1818.

Ini adalah kompleks bersejarah yang dilestarikan sebagai tanda kehadiran masa silam di situ. Memandang keluar gedung itu, saya menyaksikan Washington Monuments yang berdiri tegak dan kokoh seperti sebuah batu runcing yang tertancap di dasar bumi. Batu itu menjadi prasasti atas kiprah George Washington, seorang komandan militer yang menyulut revolusi Amerika sebagai awal lahirnya Amerika Serikat. Dalam genggaman pria berkuncir ini, AS meletakkan visinya sebagai bangsa baru yang kelak menjadi superpower dan melihat dunia secara tunggal untuk ditekukkan dalam satu kriteria.

Selanjutnya, saya singgah menyaksikan langsung National World War II Memorial, yang menjadi saksi atas kejamnya Perang Dunia II. Saya menangis tertahan di saat membayangkan jenazah mereka yang terbaring demi membela negerinya. Apakah itu benar-benar dilatari tindakan heroik ataukah itu hanya reaksi atas proses pembodohan yang dilakukan secara sistematis atas nama negara? Ah, tangis tertahan itu kian deras tatkala saya berjalan sedikit ke dapan dan menyaksikan Vietnam Veterans Memorial yang berbentuk tembok hitam berbentuk huruf V. Di situ ada tergurat nama mereka yang tewas di Perang Vietnam. Seperti halnya warga AS yang tak pernah mengerti apa tujuan perang itu, hati ini hendak bertanya, apakah itu demi sebuah kehormatan ataukah buah kebodohan yang sukses ditanamkan negara.

BRUKK!!!!! Ada bunyi suara keras. Kepalaku sakit. Mataku berkunangan. Busyet!! Ternyata saya jatuh dari ranjang setelah lelap tidur seharian. Di tangan kananku ada buku karya Jack Canfield berjudul “American Dream.“


0 komentar:

Posting Komentar