Apakah Optimisme Bisa Dibeli?


BAGAIMANA sih cara membangun optimisme? Bagaimana sih cara mengalahkan pesimisme? Jujur saja, aku kerap kali larut dalam pesimisme dan butuh optimisme yang meluap-luap. Pesimisme ibarat parasit yang membelit sebagian tubuhku hingga kaku dan statis. Tak bisa bergerak ke manapun. Sedang optimisme adalah sebentuk semangat untuk selalu yakin bahwa masa depan akan selalu berpihak pada kita. Orang yang optimis selalu diliputi keyakinan menantang waktu. Ia yakin bahwa Dewi Fortuna tidak pernah beranjak dari sisinya hingga hidupnya selalu diselimuti kebahagiaan. Nah, masalahnya, gimana cara menggoda sang dewi agar selalu di sisi kita? Apakah Dewi Fortuna ibarat gadis cantik yang selalu dirangsang agar mencintai kita? Aku tak tahu. Bahkan dewi itu jadi semacam lelucon bagiku.

Andaikan optimisme itu adalah buah yang dijual, maka akan kucari dimanakah gerangan penjualnya, kemudian kubeli satu keranjang dan diletakkan di tempat paling spesial di kamarku. Di saat aku sedang pesimis atau terpuruk, akan kumakan optimisme satu demi satu agar percaya diriku terus mekar.

Kalau saja pesimisme itu ibarat parasit yang bisa kukenali, maka akan kucabut semua akarnya agar tak ada yang tersisa di badanku. Biar tubuh ini selalu riang dan tidak terjebak pada berbagai ketakutan yang merupakan buah dari pesimisme. Kata temanku, di Jakarta ada banyak tempat untuk konsultasi atau terapi agar selalu optimis dalam memandang hidup. Katanya, mungkin aku bisa ke sana, siapa tahu di situ ada jenis terapi yang cocok untuk mengatasi masalahku. Iya sih, dia benar juga. Masalahnya, aku tidak pernah percaya dengan terapi. Bagiku psikolog atau terapist adalah manusia yang paling sering berbohong di muka bumi ini. Masak, hanya dengan sekali wawancara atau tes, mereka dengan gampangnya menyimpulkan bagaimana watak seseorang. Hanya dengan pengalaman membaca sejumlah buku asing tentang watak, ia –dengan sangat kurang ajar—langsung memvonis watak seseorang. Busyet!!!

Nah, kembali pada titik awal. Apakah optimisme mutlak harus ada pada diri seseorang untuk selalu yakin dalam pertarungan dengan nasib dan waktu? Mungkin juga. Tetapi bisa jadi optimisme bukanlah segala-galanya. Optimisme bisa pula jadi parasit ketika kita tidak lagi mau berusaha dan bekerja keras. Kita hanya percaya saja pada wangsit yang memunculkan optimisme buta.

Aku pernah mengalami gejala optimisme buta seperti ini.Waktu SD, aku pernah ikut lomba Cerdas Tangkas P-4 dan lolos mewakili Sulawesi Tenggara ke Jakarta. Begitu lolos, mamaku mengantarku ketemu seorang dukun –yang katanya sakti—di kampungku Pulau Buton. Saat dukun itu menerawang namaku, ia langsung meniupkan optimisme yang dahsyat dalam diriku. Katanya, “Jangan khawatir. Hasilnya akan bagus!!“ Saat itu aku langsung berhenti belajar. Bagiku, kalimat sang dukun itu adalah kalimat sakti yang lahir dari hasil kontemplasi magisnya. Bisa jadi itu adalah suara langit yang dibisikkan pada dukun. Seorang dukun menganggap dirinya sosok yang bisa curi dengar apa yang terjadi di langit dan mewartakannya pada warga bumi. Malah, pada saat tertentu, ia bisa jadi kera sakti Sun Go Kong yang bisa mengobrak-abrik langit dan memaksakan nasib sesuai keinginannya.

Singkat kata, aku tak belajar sebab yakin pada kalimat sang dukun. Ternyata, begitu tiba di Jakarta, aku langsung kalah. Saat itu, aku seakan tak percaya dan langsung bilang sama mama, “Kita harus tuntut dukun itu. Dia sudah bohongi saya. Dia sudah bikin saya terlalu yakin.“ Mamaku hanya tersenyum melihat kekonyolanku. Mana mungkin menuntut dukun sebab dia tak salah. Yang salah adalah diriku sendiri, kenapa menjadikan setiap kalimatnya seolah mantra sakti. Bukankah dukun adalah manusia yang setiap berbicara tidak perlu bukti?

Nah, pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bahwa optimisme saja tidak cukup. Optimisme mestinya didukung dengan kerja keras serta perencanaan yang matang. Optimisme hanya titik kecil, hasil dari kerja keras, tanpa perlu mengintip apa rahasia langit tentang usaha kita. Dalam novel Edensor diceritakan bagaimana mahasiswa Jerman yang tidak percaya nasib. Mereka hanya percaya kerja keras dan upaya. Mereka tak mau masuk gelanggang pertempuran tanpa persiapan. Barangkali, perencanaan yang matang serta kerja keras adalah hal pertama yang harus ditempuh sebelum memasuki gelanggang. Selanjutnya, optimisme hanya menjadi kalimat akhir yang disebut tatakala semua usaha itu rampung. So, tak perlu menunggu Dewi Fortuna hadir di sisi kita. Kita harus bisa menciptakan Dewi Fortuna itu sendiri. Pasti!!!

Depok, 21 November 2007

Pukul 09.59 WIB, saat baru bangun tidur


0 komentar:

Posting Komentar