Menulis dengan Cinta


TAMPAKNYA, semua kemalasan dalam menulis harus segera diatasi. Menulis bukanlah sekadar proses menuangkan kaidah atau gagasan, bukan pula sebentuk laku praktis yang dibimbing sejumlah teori atau petunjuk dari berbagai pakar. Namun, menulis adalah perkara yang terkait kerajinan dan ketekunan. Yupp....menulis butuh konsistensi serta ikhtiar yang menggelegak untuk melepaskan seluruh kegelisahan dan keresahan ke dalam baris-baris kalimat yang berkisah tentang sesuatu. Menulis adalah upaya untuk menjerat seluruh pengalaman dan kejadian yang kita saksikan sehingga tidak berlalu begitu saja dan tersimpan rapi dalam lemari sejarah personal kita.

Aku menyadari benar hal tersebut. Betapa selama beberapa bulan ini ada begitu banyak patahan kejadian, peristiwa yang aku lalui, namun tak ada catatan yang bisa menjerat peristiwa itu. Aku disergap virus kemalasan yang begitu kuat mendera tubuhku hingga melumpuhkan gairah dan hasratku untuk menulis. Di luar itu, ada pula hal-hal yang memadamkan semangatku, misalnya kritikan Dr Suraya Afiff yang menganggap tulisanku tidak begitu baik. Kemudian, ada beberapa tulisanku yang ditolak media massa. Hal-hal ini membuatku seakan-akan vakum dan tak bisa berkata-kata. Adrenalinku untuk menulis seakan-akan langsung sirna. Aku jadi rajin mengamati bebagai tulisan dan coba membandingkan dengan tulisanku sendiri. Apakah ini yang disebut tulisan bagus? Apakah tulisanku jelek? Aku rajin bertanya pada orang-orang, sejauh mana capaian tulisan-tulisanku. Anehnya, semakin aku melihat dan membandingkan tulisan lain, semakin tak mampu kuangkat pena untuk menggoreskan tulisanku sendiri.

Sekian bulan berlalu, kemalasan itu tak juga sirna. Padahal, aku merasa tak pernah kekurangan gagasan. Setiap hari, selalu saja ada yang baru dalam pandanganku. Semua hal menarik itu menari-nari di depan mataku, seakan-akan mengejekku, yang terus saja bergulat dalam ketidakmampuan untuk menjeratnya dalam bentuk tulisan. Aku jadi geram dan ingin segera mengakhiri masa kevakumanku dalam menulis.

Meski demikian, aku tetap rajin membaca buku. Kebiasaan yang satu ini, tak boleh mengenal masa vakum. Lewat proses membaca itu, kutemukan kalau tidak semua penulis --khususnya penulis asing-- memiliki struktur yang baik dalam menulis. Malah, banyak yang menulis sedemikian amburadul dan menjemukan. Tak percaya? Baca saja buku-buku dari Pierre Bourdieu seperti Distinction, Social Life of Thing atau buku babonnya yang berjudul The Outline Theory of Practice. Cara menulisnya begitu membingungkan sebab ada banyak anak kalimat yang bertele-tele dan menjemukan pembacanya. Demikian pula karya-karya dari Clifford Geertz seperti The Interpretation of Culture, Agricultural Involution, After the Fact, hingga The Religion of Java. Semuanya begitu sulit dipahami sebab memiliki struktur kalimat yang tidak runtut.

Tampaknya, ilmuwan sosial menulis dengan gaya bahasa yang bersifat personal. Cara kepenulisan adalah sesuatu yang sifatnya demikian pribadi sehingga aturan atau konvensi menulis menjadi perkara yang mudah dinafikan. Memang membingungkan di satu sisi, namun ilmuwan itu sedang berusaha untuk menjembatani apa yang ada di benaknya dengan realitas di luar dirinya. Memang, ada sejumlah orang yang berhasil menjelaskan itu dengan gaya bahasa yang simpel dan mudah dipahami, namun tak sedikit yang gagal dalam proses penulisan tersebut. Pertanyaannya, kenapa banyak karya akademik yang sangat hebat secara intelektual, tapi justru lemah dalam kaidah berbahasa? Jawabannya barangkali inilah letak kekuatan sebuah gagasan. Ide atau gagasan yang baik, akan menemukan kakinya untuk bergerak, meskipun ditulis dengan gaya bahasa yang agak saintis dan hanya bisa dipahami sebagian orang. Di sinilah letak personalnya karya Bourdieu dan tokoh lain semacam Nietzsche. Begitu banyak orang seperti saya, harus berusaha untuk memahami dan menebak-nebak apa yang diingini oleh sang penulis.

Akhirnya aku berkesimpulan, menulis juga terkait dengan style kepenulisan. Kriteria baik dan buruk terkait dengan style atau selera yang sifatnya khas dari seseorang. Ketika ada seseorang yang memvonis satu tulisan jelek, maka saat itu juga ia sedang mereproduksi sebuah style kepenulisan tertentu dan menghakimi sebuah style tulisan yang lain. Persoalan ini terkait konstruksi dan sifatnya sangat subyektif. Benar juga kata Marx, setiap orang selalu ingin melihat sesuatu dengan caranya sendiri. Artinya, ada pertautan antara pengetahuan dan kepentingan yang kemudian mempengaruhi cara meneropong sebuah realitas. Di sinilah kita bisa mendudukkan perkara baik dan buruk dalam menulis.

Nah, tuntas sudah membahas kriteria kepenulisan. Sekarang masalah kemalasan. Dua hal ini harus segera kuberantas demi membangkitkan kembali adrenalinku dalam menulis sesuatu. Kembali pada apa yang kukatakan sebelumnya, ide dan gagasan seakan mata air yang tak pernah kekuarangan. Berbagai kejadian dan pengalamanku selama berbulan-bulan ini laksana timbunan yang begitu padat dan kaya dengan kisah, mulai dari petualangan hingga tragedi kemanusiaan yang pernah aku saksikan dan kerap menggiris hatiku. Selama beberapa bulan ini, aku banyak berpindah-pindah atau bepergian.Mulai Jakarta hingga Makassar, terus ke beberapa pulau yaitu Pulau Buton, Muna hingga ke dataran Kendari dan Kolaka.

Ada begitu banyak kejadian dan peristiwa yang kusaksikan. Semuanya masih tersimpan rapi dalam laci memoriku. Mungkin, butuh saat yang tepat untuk menuliskan bertimbun-timbun pengalaman itu. Ah, sikap menanti-nanti seperti inilah yang selalu menjadi sandunganku ketika menulis. Sebagaimana yang kukatakan di awal tulisan ini, mungkin butuh sebuah kegelisahan yang menggelegak kemudian saat yang tepat untuk mulai menuliskan semua pengalaman ke dalam tulisan. Di luar itu, menulis butuh ketegasan. Yah, ketegasan untuk mulai menuliskan setiap baris dan inchi gagasan. Bagi seorang penulis, layar komputer atau kertas ibarat sebuah kanvas yang harus digoreskan dengan kuas gagasan. Ikhtiar menulis itu haruslah diciptakan. Tak perlu menunggu mood atau wangsit yang jatuh dari langit.

Barangkali, menulis harus dilakukan atas dasar cinta. Artinya, seseorang harus melepaskan seluruh imajinasi atau bayangannya kelak jika tulisan itu dipublikasikan atau disaksikan orang lain. Seorang penulis haruslah bersikap personal dan tak terlalu peduli dengan apa penilaian orang lain. Intinya adalah ia menulis sesuatu dengan tanpa alasan. Menulis karena dilandasi oleh cinta semata, tanpa berharap sesuatu. Ia tak boleh berharap ada pujian, ada komentar, atau takut pada umpatan sekalipun. Menulislah dengan penuh kebebasan, tanpa harus mengkhawatirkan sesuatu. Menulislah dengan setetes cinta.....

26 September 2007, Pukul 16.31

Kompleks Universitas Indonesia (UI)

Kukusan, Depok, Jawa Barat


2 komentar:

Pasca Antropologi UI mengatakan...

fikri said:
iye yusran, para ilmuwan itu kekurangan cinta, makanya tulisan mereka ampe jungkir balik kita baca..tapi kagak ngerti-ngerti juga. Pak bourdieu misalnya, tulisannya beranak-pinak ampe pusssiiing ngebacanya...
yusran di mana? fikri dah mulai nulis tesisnya...pussssing dech..

pencari cara sukses adsense mengatakan...

Mas yusron, saya ijin menggunkan gambar Anda, terima kasih :)

Posting Komentar