Obsesi Belanda dan Hasrat Politik Erick Thohir

Frank De Boer, Erick Thohir, dan Patrick Kluivert

Mulai dari Inter Milan hingga Timnas Indonesia, Erick Thohir selalu membawa pelatih Belanda, selalu berharap hasil instan, dan selalu ingin kemenangan tanpa proses panjang.

***

Di ruang konferensi pers Appiano Gentile, markas latihan Inter Milan, sore itu lampu-lampu sorot menembus kaca jendela besar. Deretan kamera televisi berderet rapi; kilatan flash menyambar wajah dua pria yang duduk berdampingan di depan logo besar bertuliskan INTER.

Di kursi sebelah kanan, Erick Thohir tersenyum lebar, mengenakan setelan hitam dengan dasi biru tua khas klub. Di sebelahnya, pria berambut pirang dengan tatapan tegas, Frank de Boer, menatap barisan wartawan dengan ekspresi campuran antara gugup dan percaya diri.

“Inter butuh arah baru,” kata Erick, suaranya berat tapi penuh keyakinan. “Kami ingin membawa semangat sepak bola modern. Frank adalah sosok yang tepat untuk itu.”

De Boer baru tiba di Milan dua hari sebelumnya. Belum sempat mengenal para pemain, belum memahami bahasa Italia, bahkan belum mengatur strategi pra-musim. Tapi di hadapan publik, semuanya tampak rapi: pelatih baru, harapan baru, era baru.

Namun di balik senyum dan lampu kamera itu, sesuatu mulai retak. Di ruang ganti, para pemain masih terkejut dengan pemecatan Roberto Mancini dua pekan sebelum liga dimulai. Dan di balik layar, kesalahan besar sedang dimulai, kesalahan yang kelak akan menjadi pola dalam perjalanan kepemimpinan Erick Thohir.

Langkah itu disebut sebagai terobosan, tapi sesungguhnya, keputusan tergesa-gesa. Keputusan yang bukan berasal dari pembacaan mendalam terhadap situasi tim. 

Tiga bulan kemudian, eksperimen itu runtuh. Inter gagal memahami filosofi De Boer, dan De Boer gagal memahami karakter pemainnya. Bagi para pengamat, kegagalan itu bukan semata teknis, tetapi cermin dari cara pandang Erick bahwa modernitas bisa diimpor dan perubahan bisa dibeli.

Langkah tersebut bukan sekadar kebijakan olahraga, melainkan strategi simbolik, sebuah cara untuk menegaskan citra kepemimpinan modern yang ingin dijual ke dunia bisnis dan politik internasional.

Lakon Berulang di PSSI

Beberapa tahun kemudian, di Jakarta, panggungnya berubah, tetapi logikanya tetap sama. Erick kini memimpin PSSI, lembaga yang menjadi tempat pertemuan paling sensitif antara olahraga, bisnis, dan nasionalisme. 

Dan seperti di Milan dulu, sang ketua federasi kembali mengambil langkah dramatis: mengganti Shin Tae-yong, pelatih yang sedang membangun sistem dan karakter tim nasional, dengan pelatih asal Belanda.

Keputusan itu diselimuti alasan profesional: penyegaran visi, peningkatan standar, dan pencarian pelatih yang bisa berkomunikasi dengan baik dengan pemainnya. 

BACA: Jangan Menangis Coach Shin Tae-yong

Namun di balik alasan administratif itu, publik melihat sesuatu yang lebih dalam. Publik melihat manuver kekuasaan. Shin adalah simbol keberhasilan sebelum Erick datang. Maka agar narasi federasi bisa dikaitkan dengan kepemimpinannya, simbol itu harus diganti.

Langkah ini tidak lahir dalam ruang hampa. Keputusan tersebut muncul dari kalkulasi sosial-politik, bukan semata pertimbangan teknis sepak bola. Dalam masyarakat yang haus prestasi, mengganti pelatih bisa diartikan sebagai keberanian, meski sejatinya itu bentuk kegelisahan.

Setiap tindakan dalam dunia publik, kata Pierre Bourdieu, adalah bentuk dari strategi simbolik, upaya mengubah kekuasaan menjadi legitimasi sosial. Dalam konteks ini, Erick bukan sekadar pengurus federasi, melainkan aktor politik yang memainkan simbol-simbol modernitas. 

Mengganti pelatih menjadi cara memperlihatkan kekuasaan. Menaturalisasi pemain menjadi cara menunjukkan efektivitas. Dan membawa pelatih Belanda menjadi representasi dari modernitas global yang ingin dilekatkan pada citra dirinya.

Di balik semua itu, terdapat logika kepentingan. Ada keperntingan politik citra, kepentingan ekonomi simbolik, dan kepentingan narasi personal agar sejarah mencatat bahwa masa kepemimpinan Erick adalah “era reformasi.”

Dalam logika sosial semacam itu, perubahan bukan lagi soal kebutuhan, melainkan soal tampil reformis. Federasi diubah bukan karena sistemnya rusak, melainkan karena pemimpin baru perlu membuktikan diri.

Dan di situlah letak paradoks terbesar: semakin banyak perubahan yang dilakukan atas nama pembaruan, semakin dangkal akar yang tertinggal di bawahnya.

Selama bertahun-tahun, publik sepak bola Indonesia hidup dalam siklus harapan dan kekecewaan. Di bawah Shin Tae-yong, mereka mulai belajar percaya bahwa kemenangan lahir dari kerja keras, bukan keajaiban. Kepercayaan itu tumbuh pelan, tapi pasti, di stadion, di televisi, di ruang-ruang warung kopi tempat rakyat kecil bersorak bersama.

Ketika pelatih itu diganti di tengah proses, yang dirusak bukan sekadar tim, melainkan imajinasi kolektif tentang kemajuan. 

Federasi yang seharusnya menjadi rumah kepercayaan justru berubah menjadi panggung eksperimentasi citra. Sepak bola kehilangan rasa. Ia menjadi proyek manajemen, bukan ruang kebersamaan. 

Erick memandang sepak bola seperti perusahaan: bisa dirombak dengan mengganti struktur manajemen. Padahal, sepak bola adalah organisme hidup, tumbuh dari relasi antara pelatih, pemain, dan publik. 

Mengubah satu elemen berarti mengguncang keseimbangan ekosistem. Dan ketika kontinuitas dikorbankan untuk hasil instan, yang tumbuh bukan sistem baru, melainkan kebingungan.

Langkah menggandeng pelatih Belanda memperlihatkan obsesi lama yang belum usai. Bagi Erick, Belanda adalah simbol rasionalitas, sistem, dan disiplin. Namun di balik kekaguman itu tersisa mental kolonial yang belum sembuh: keyakinan bahwa kemajuan hanya bisa datang dari luar. 

Ini bukan sekadar pilihan pelatih, tetapi cermin dari cara berpikir elit Indonesia modern yang menilai profesionalisme dari aksen asing, bukan dari konsistensi lokal. Maka wajar jika hasilnya berulang: kegagalan di Inter, disusul kegagalan memahami denyut sepak bola nasional.

Erick Thohir bukan semata pengurus federasi; ia politisi yang sedang menulis narasi tentang dirinya sendiri. Sang pemimpin memahami bahwa di negeri ini, sepak bola adalah bahasa paling universal untuk membangun legitimasi. Setiap kemenangan bisa diubah menjadi bukti kepemimpinan. 

Setiap perubahan bisa dijadikan simbol kemajuan. Namun di balik semua itu, ada satu hal yang kerap diabaikan: kepercayaan publik tidak tumbuh dari keputusan besar, melainkan dari kesabaran kecil. Erick ingin dikenang sebagai pembaru, bukan pewaris. 

Tapi dalam upaya membangun warisan politik, sang ketua federasi justru menghancurkan warisan sosial yang paling berharga: kepercayaan pada proses.

Publik yang tadinya mulai percaya kini kembali ragu. Mereka tahu bahwa di balik jargon reformasi, ada ambisi pribadi. Di balik keputusan besar, tersimpan kalkulasi politik. Di balik idealisme modernitas, bersembunyi strategi pencitraan.

Sepak bola Indonesia sedang belajar berjalan. Ia baru saja menemukan arah dan ritme. Namun di tengah proses itu, datang ambisi yang tergesa, ambisi yang lebih sibuk membangun citra daripada menumbuhkan akar. 

Erick Thohir ingin dikenang sebagai pembaru. Tetapi sejarah mungkin akan mencatatnya sebagai politisi yang terlalu cepat ingin diingat.

Kita pernah begitu dekat dengan mimpi besar: Piala Dunia, panggung yang selama ini hanya bisa kita tonton dari jauh. Namun ego Erick telah menjauhkan kita dari nyala api itu.

Ia telah memadamkan obor yang baru saja menyala di tangan generasi muda, menggantinya dengan panggung citra dan kepentingan pribadi.

Dan jika sejarah kelak menuliskannya, maka nama Erick Thohir akan dikenang bukan sebagai pembaharu, melainkan sebagai orang yang memadamkan api di tengah lapangan, saat bangsa ini baru belajar bermimpi untuk berdiri sejajar dengan dunia.