Di Balik Api yang Membakar, Ada Sesuatu yang Lebih Senyap


Semalam, api menjilat kantor DPRD Makassar., lalu DPRD Sulsel Gedung yang mestinya jadi ruang wakil rakyat menjelma obor. Di udara, bensin dan asap bercampur dengan sesuatu yang lebih getir: amarah.

Kabar itu datang dari jauh. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas dilindas mobil taktis polisi di Jakarta. Berita yang menyambar cepat, seperti kilat di langit yang memang sudah mendung. 

BACA: Tubuh yang Dilindas, Luka yang Tak Boleh Lenyap

Orang-orang tahu, kehidupan sedang tidak baik-baik saja. Pengangguran bertambah, PHK menumpuk, harga beras melonjak. Lalu di layar televisi, seorang pejabat dengan suara datar mengumumkan cadangan beras nasional meningkat. Ironi itu bagai luka yang ditaburi garam.

Seorang kawan berbisik, perbedaan antara era Jokowi dan era Prabowo terletak pada arah belanja negara. Jokowi memanjakan kelas menengah dengan tol, bandara, dan pelabuhan. Lahan tambang dibagi rata. Pemerintah menggandeng pengusaha daerah. 

Infrastruktur menjadi mantra, dan proyek menjelma pesta para kontraktor. Hotel penuh kala pencairan anggaran, ruang karaoke ramai hingga dini hari, diiringi denting gelas berisi wine mahal dan dengus napas para ledis. Ekonomi bergerak.

Prabowo memilih jalur lain: anggaran ditarik ke pusat, lalu dikelola menjadi makan bergizi gratis, koperasi merah putih, sekolah rakyat. Lebih sosialistis, lebih populis. Namun janji itu membawa risiko: kelas menengah yang selama ini nyaman mulai gusar, mereka yang bergantung pada proyek kecil di pelosok desa merasa resah. Sementara rakyat kecil menunggu, dan makin sulit bersabar.

Di tengah perubahan itu, banyak yang tersakiti. Mulai media yang sulit bernapas karena anggaran iklan dipangkas di banyak tempat, pengusaha UMKM kuliner yang kantinnya di sekolah terpaksa tutup, pengusaha-pengusaha gurem yang hidup dari dana APBD, hingga pegawai daerah yang selama ini menanti cashback yang tak seberapa hanya demi membeli beras dan susu untuk keluarga.

Presiden Prabowo sendiri tampak miskin kosa kata dalam menghadapi ketidakpuasan. Setiap ada suara berbeda, selalu dituduh sebagai propaganda asing. Padahal hingga kini, tak pernah jelas: asing yang mana? 

Jangan-jangan asing yang ia maksud justru adalah asing yang memaksanya tunduk, bersimpuh demi keringanan tarif perdagangan. Jangan-jangan asing yang ditemui tim ekonominya, lalu diservis dengan proyek triliunan. Ironi itu samar, tapi terasa nyata dalam politik sehari-hari.

Di warung kopi, di obrolan ponsel, kata yang sama berulang: marah. Bukan marah karena krisis dunia, tapi marah karena kebijakan yang tiba-tiba berubah arah. Resentralisasi fiskal telah menguras triliunan dana daerah,  serta melemahkan desentralisasi, buah paling berharga dari Reformasi.

Di titik inilah kata Hannah Arendt seakan menemukan tubuhnya: “Kemarahan muncul di mana ada rasa bahwa penderitaan bisa diatasi, tapi dibiarkan berlangsung.” Penderitaan rakyat bukan takdir, melainkan keputusan yang ditunda. Dan tatkala keputusan itu berulang-ulang ditunda, amarah pun menemukan lidahnya sendiri.

Saluran politik kian menyempit. Undang-undang diputuskan dalam rapat-rapat tertutup. Demokrasi menyusut jadi seremoni lima tahunan. Maka rakyat berbicara dengan bahasa purba: amarah. Kata yang pernah kita sumbangkan ke dunia: amok.

Dan akhirnya, video itu. Para anggota DPR bergoyang riang usai mengesahkan kenaikan tunjangan. Ia beredar cepat, masuk ke gawai-gawai rakyat. Di situlah, amarah menemukan bentuknya: api dan amuk.

Di tengah kobaran itu, teringat sindiran Slavoj Žižek: kadang satu-satunya cara rakyat menunjukkan keberadaannya adalah dengan membuat sistem berhenti sejenak, meskipun melalui kekacauan. Maka api di halaman DPRD Makassar bukan sekadar vandalisme. Ia adalah tanda seru, jeritan yang tak bisa dibungkam: kami masih ada, kami ingin didengar.

Di titik ini, kita harus berkaca. Polisi harus berbenah, agar gas air mata tak lagi menutup mata rakyat, dan roda kendaraan tak lagi melindas nyawa. Anggaran negara mesti dikoreksi, agar tak lagi mengabaikan perut yang kosong. Tunjangan DPR harus dipangkas, sebab tak ada yang lebih melukai daripada melihat wakil rakyat menari di ruang megah sementara rakyatnya lapar.

Dari kemurkaan yang menjalar dan membuncah, dari balik kobaran api di kantor polisi dan dewan, ada sesuatu yang lebih senyap: rasa kehilangan. Kehilangan kepercayaan pada janji, kehilangan ruang untuk berbicara, kehilangan wajah dari demokrasi yang pernah diimpikan.

Api memang bisa padam, asap bisa hilang. Tapi jejak bau hangusnya tinggal. Dan di sanalah kita bertanya dalam diam: apa yang sesungguhnya terbakar? Gedung itu, atau harapan yang makin rapuh?

Di titik ini, bait WS Rendra kembali terdengar, seakan lahir dari bara yang belum padam:

"Apakah arti seonggok jagung di lumbung, bila aku lapar? Apakah arti seonggok padi di sawah, bila aku tak punya tanah? Apakah arti kebebasan, bila aku tak punya pekerjaan dan pendidikan?"

Bukan sekadar sajak, melainkan cermin getir tentang negeri yang berdiri di atas janji-janji kosong. Dan mungkin, juga sebuah doa lirih, agar kita tak hanya menyaksikan api, tapi berani menyalakan kembali harapan.