UGM yang Gigih Melawan Streisand Effect


Ruang pertemuan di Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, sore itu terasa tegang. Sejumlah staf humas memeriksa posisi kamera dan mikrofon. Di tengah ruangan, Rektor UGM Ova Emilia berdiri tegak, mengenakan baju batik coklat. 

Suaranya terukur, nadanya hati-hati. “Bapak Joko Widodo adalah alumni UGM. Ijazah yang bersangkutan adalah asli,” katanya.

Pernyataan itu singkat, tapi bobotnya berat. Selama berminggu-minggu, media sosial dan forum publik dipenuhi tudingan soal keaslian ijazah Presiden Jokowi. Gugatan hukum yang diajukan ke pengadilan menyalakan kembali perdebatan yang lama beredar di dunia maya. 

Nama UGM, kampus yang selama ini dikenal sebagai salah satu benteng intelektual negeri, ikut terseret. Dengan satu kalimat, UGM berusaha meredam api polemik. Namun, api itu sudah terlanjur membesar.

Krisis Reputasi dan Strategi Respons

Bagi UGM, isu ini bukan sekadar soal administrasi akademik seorang alumnus. Ini soal reputasi. Dalam teori Situational Crisis Communication (Coombs, 2007), organisasi yang menghadapi krisis reputasi harus memilih strategi komunikasi yang tepat: apakah menyangkal, mengurangi, atau menerima. UGM memilih strategi rebuild, membangun kembali kepercayaan publik melalui klarifikasi langsung dari pucuk pimpinan.

Langkahnya sistematis. Pertama, menunjuk juru bicara resmi agar pesan seragam dan tidak simpang siur. Kedua, menampilkan klarifikasi terbuka dari rektor. Ketiga, menyiapkan podcast, format yang lebih cair, untuk menjangkau publik muda yang terbiasa mendengar diskusi panjang.

Bagi sebagian pihak, ini adalah contoh komunikasi krisis yang modern. Di era ketika rumor menyebar lebih cepat dari fakta, universitas tidak bisa hanya mengandalkan pernyataan tertulis. Ia harus hadir di kanal-kanal digital tempat publik membentuk opini.

Sisi Positif: Transparansi dan Adaptasi Digital

Langkah UGM memperlihatkan komitmen pada transparansi. Alih-alih berdiam diri, kampus memilih menjawab langsung tudingan. Klarifikasi dari rektor memberi bobot moral dan institusional: suara itu bukan sekadar pegawai humas, melainkan suara universitas.

Penggunaan podcast juga menunjukkan kesadaran akan perubahan lanskap komunikasi. Teori Uses and Gratifications (Katz, Blumler & Gurevitch, 1974) menyebutkan bahwa audiens aktif memilih media sesuai kebutuhan mereka. 

Generasi muda, yang akrab dengan format digital, lebih mungkin menerima penjelasan panjang lewat podcast ketimbang membaca siaran pers. Dengan masuk ke kanal ini, UGM mencoba berbicara dalam bahasa audiensnya.

Lebih jauh, langkah ini bisa dilihat sebagai upaya menjaga arsip sejarah. Dengan mengeluarkan pernyataan resmi, UGM mendokumentasikan sikapnya sehingga di masa depan publik memiliki rujukan yang jelas.

Sisi Negatif: Efek Streisand dan Risiko Politisasi

Namun, strategi ini juga menyimpan sisi gelap. Dalam komunikasi, ada yang disebut Streisand Effect: sebuah paradoks ketika upaya menutupi, membantah, atau meluruskan justru memperbesar perhatian publik. Istilah ini lahir dari kasus penyanyi Amerika, Barbra Streisand, yang berusaha menghapus foto rumahnya dari internet, namun justru membuat foto itu semakin viral.

Fenomena serupa kerap terjadi dalam komunikasi politik. Alih-alih memadamkan isu, klarifikasi yang berulang justru menyalakan api baru. Semakin sering UGM menyampaikan pernyataan, baik lewat juru bicara, video rektor, maupun podcast, semakin besar pula rasa ingin tahu publik yang sebelumnya tak peduli. 

Orang yang semula tidak mengikuti polemik bisa terdorong mencari tahu: apa sebenarnya yang dipermasalahkan, mengapa kampus besar seperti UGM sampai merasa perlu membuat konten berlapis-lapis?

Dari sudut pandang teori agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972), ketika sebuah institusi terus menyoroti satu isu, maka isu itu akan naik peringkat dalam persepsi publik. Artinya, klarifikasi yang dimaksudkan untuk mengakhiri kontroversi justru berkontribusi menjadikan kontroversi itu semakin penting di mata publik. Dengan kata lain, UGM tanpa sadar ikut mengagendakan perdebatan yang sebenarnya ingin ditutup.

Selain itu, dalam kerangka framing theory (Entman, 1993), setiap klarifikasi bukan hanya menyajikan fakta, tetapi juga membingkai cara publik memahami masalah. Ketika UGM terus-menerus menekankan bahwa “ijazah Jokowi asli,” pesan itu memang meneguhkan narasi keaslian. 

Namun, pada saat yang sama, publik diingatkan kembali bahwa ada tudingan sebaliknya. Di titik inilah, klarifikasi bisa menjadi pedang bermata dua: ia menguatkan fakta, tetapi sekaligus memberi oksigen pada rumor.

Alih-alih meredam, polemik ijazah Jokowi justru mendapat panggung baru. Isu yang sebelumnya hanya beredar di kalangan terbatas, kini menjadi bahan diskusi luas di warung kopi, grup WhatsApp keluarga, hingga debat politik nasional. Ironisnya, panggung itu sebagian disediakan oleh klarifikasi kampus sendiri.

Belajar dari Kasus Lain

Indonesia pernah berkali-kali mengalami hal serupa, ketika klarifikasi justru memperbesar kontroversi. Kasus pelemahan KPK, misalnya, menunjukkan pola yang sama. Setiap kali pimpinan KPK atau pejabat negara mengeluarkan klarifikasi bahwa lembaga itu “tetap kuat,” publik justru makin curiga ada yang tidak beres. Alih-alih meredam, pernyataan itu memicu gelombang kritik lebih besar, terutama di media sosial.

Contoh lain adalah polemik kasus e-KTP. Saat pejabat kementerian berulang kali menyebut proyek itu “aman dan terkendali,” media dan publik justru semakin intens membongkar skandal korupsinya. Klarifikasi yang terlalu sering justru memberi sinyal bahwa ada masalah serius di balik layar.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam ruang publik Indonesia, klarifikasi bukan hanya soal menyampaikan kebenaran, tetapi juga soal persepsi. Publik kerap membaca klarifikasi bukan sebagai jawaban final, melainkan sebagai tanda ada sesuatu yang sedang ditutupi.

Situasi ini menyingkap dilema klasik: sampai sejauh mana universitas harus terlibat ketika nama besar mereka diseret ke panggung politik?

UGM tidak mungkin diam. Diam bisa ditafsirkan sebagai pengakuan bahwa ada masalah. Namun, terlalu aktif juga bisa dianggap membela seorang figur politik. Jalan yang dipilih UGM, berupa klarifikasi resmi, juru bicara, dan podcast, mencoba menyeimbangkan kewajiban akademik dan tuntutan publik.

Dalam perspektif Pierre Bourdieu, universitas adalah “arena” (field) dengan modal simbolik yang besar. Modal itu berupa legitimasi akademik, otoritas moral, dan kepercayaan publik. Namun, ketika arena akademik bersinggungan dengan arena politik, terjadi perebutan makna. Klarifikasi UGM bisa dibaca sebagai upaya mempertahankan modal simbolik agar tidak direbut oleh narasi politik.

Refleksi dan Jalan ke Depan

Polemik ijazah Jokowi barangkali hanya satu episode dari relasi rumit antara universitas, politik, dan opini publik. Namun, kasus ini mengajarkan bahwa reputasi akademik tidak lagi hanya dipertaruhkan di ruang sidang atau jurnal ilmiah, melainkan juga di ruang percakapan digital.

UGM sedang berjalan di garis tipis: membela integritas akademik tanpa terjebak dalam polarisasi politik. Satu langkah terlalu jauh bisa menimbulkan kesan keberpihakan, sementara satu langkah terlalu hati-hati bisa dianggap menghindar.

Untuk keluar dari jebakan itu, universitas perlu mengelola krisis dengan cara yang lebih proporsional. Klarifikasi memang penting, tetapi bukan berarti harus berulang-ulang. Satu pernyataan resmi yang jelas, disertai bukti administratif yang dapat diverifikasi, jauh lebih kuat daripada banjir konten digital yang justru memicu Streisand Effect. 

Pada saat yang sama, membuka arsip akademik secara terbatas, misalnya daftar lulusan, bisa menjadi langkah elegan yang menegaskan transparansi tanpa kehilangan wibawa.

Lebih jauh, universitas bisa mengubah momentum ini menjadi ajang pendidikan publik. Alih-alih hanya fokus menjawab tudingan, UGM bisa memperluas narasi ke ranah akademik yang lebih substantif: bagaimana hoaks berkembang di era digital, bagaimana politik identitas membentuk opini, dan bagaimana institusi pengetahuan seharusnya merespons disinformasi. 

Dengan begitu, UGM tidak hanya terlihat defensif, tetapi juga tampil sebagai produsen wacana yang mencerahkan.

Di atas semua itu, yang paling penting adalah menjaga jarak dari polarisasi politik. UGM harus menegaskan bahwa klarifikasi mereka bukanlah pembelaan terhadap seorang tokoh, melainkan tanggung jawab akademik. Hanya dengan cara itu universitas bisa mempertahankan posisinya sebagai moral force yang dipercaya semua pihak.

Pada akhirnya, dalam era politik yang sarat disinformasi, universitas dituntut bukan hanya sebagai pengelola pengetahuan, tetapi juga sebagai penjaga kebenaran publik. Itu tugas yang berat dan penuh risiko, namun justru di situlah letak martabatnya. Seperti pernah diingatkan Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” 

Sebuah pesan abadi bahwa institusi pendidikan, termasuk universitas, bukan hanya tempat mencetak ijazah, tetapi juga teladan moral yang menjaga kebenaran dan menuntun arah bangsa.