Autocracy, Inc.: Saat Korporasi dan Diktator Berjejaring


Di akhir pekan, saya membuka buku yang sejak lama hanya saya lewati di rak Periplus. Autocracy, Inc. karya Anne Applebaum. Versi bahasa Inggrisnya beberapa kali menarik perhatian saya, tapi tak pernah cukup kuat untuk membuat saya membawanya ke kasir. 

Ketika edisi terjemahannya keluar, entah mengapa saya langsung tertarik. Mungkin karena harganya lebih ramah, atau mungkin karena saya sedang mencari bacaan yang tidak biasa.

Saya memang punya kebiasaan mengoleksi buku peraih Pulitzer. Bagi saya, penghargaan itu semacam penanda ada kualitas gagasan yang bisa dipercaya. Sebelumnya saya sudah membaca Guns, Germs, and Steel karya Jared Diamond, juga The Gene karya Siddhartha Mukherjee. 

Kedua buku itu membawa saya pada petualangan intelektual yang tak hanya informatif, tapi juga menggugah. Maka saya berharap Autocracy, Inc. akan memberikan hal serupa, barangkali bacaan ringan untuk sore hari yang tenang, penuh refleksi dan kisah sejarah.

Tapi saya keliru. Buku ini justru seperti menampar kesadaran saya.

Applebaum tidak sedang menulis tentang satu tiran atau satu negara. Ia membongkar sesuatu yang jauh lebih besar, sebuah sistem kekuasaan global yang terorganisir, rapi, dan saling menopang. Ia menyebutnya sebagai perusahaan otokrasi internasional, Autocracy Inc.

Ia memulai dengan menggugat asumsi lama bahwa para diktator adalah aktor tunggal yang saling bersaing dalam ruang geopolitik yang terpisah. Dalam tulisannya yang tajam dan penuh bukti, Applebaum justru memperlihatkan bahwa otoritarianisme masa kini tidak lagi berdiri sendiri. Ia menjelma menjadi jaringan lintas negara yang bekerja seperti korporasi, berbagi sumber daya, meniru strategi, dan saling melindungi dari ancaman perubahan.

Negara-negara seperti Rusia, Tiongkok, Iran, Venezuela, dan Belarus memiliki ideologi yang berbeda. Tapi mereka disatukan oleh tujuan yang sama: menolak demokrasi liberal, membungkam kebebasan sipil, dan membangun kekuasaan yang kebal terhadap kritik.

Membaca buku ini seperti menelusuri peta rahasia dari kekuasaan global yang kelam. Applebaum menjabarkan bagaimana alat-alat yang digunakan para penguasa otoriter ternyata serupa. Propaganda digital, undang-undang yang memberangus LSM, korupsi sebagai senjata diplomasi, hingga teknologi pengawasan massal. 

Mereka meniru satu sama lain. Mereka belajar dari pengalaman bersama. Mereka bahkan membentuk apa yang nyaris menyerupai departemen hubungan masyarakat dalam mempertahankan citra di mata dunia.

Yang paling mengusik, bagi saya, adalah saat Applebaum menunjukkan bagaimana dunia bisnis Barat turut serta memperkuat infrastruktur negara-negara otoriter. Perusahaan teknologi menjual sistem pengawasan, firma hukum membantu menyiasati sanksi, dan modal mengalir ke mana pun keuntungan bisa dipanen. 

Kapitalisme, yang sering dibanggakan sebagai anak kandung demokrasi, justru terlihat nyaman berselingkuh dengan tirani selama laba tetap bertambah.

Namun di tengah sorotan kritis terhadap para diktator, saya juga merasakan kegelisahan lain. Applebaum terlalu menempatkan dunia Barat sebagai benteng nilai-nilai mulia. Kritiknya terhadap Rusia, Tiongkok, Kuba, dan Venezuela terasa telanjang dan hitam putih. 

Sementara kekeliruan negara-negara liberal lebih sering diucapkan dengan nada lunak. Seolah-olah demokrasi Barat adalah satu-satunya cahaya dalam dunia yang kian gelap.

Meskipun begitu, Autocracy, Inc. tetaplah sebuah peringatan yang penting. Ia bukan hanya menyajikan analisis tentang diktator di luar sana, tapi juga menjadi cermin bagi kita semua. Ia mengingatkan bahwa demokrasi bisa mati pelan-pelan, bukan dengan kudeta, tapi lewat rutinitas. Lewat pemilu yang tetap berjalan tapi tak adil. 

Lewat hukum yang tampaknya sah, tapi hanya untuk membungkam. Lewat stabilitas yang dibanggakan, tapi dibangun di atas ketakutan.

Saya menutup buku itu dengan perasaan was-was. Sebab buku ini bukan sekadar bacaan akhir pekan. Ia adalah alarm yang nyaring. Ia menanyakan pada kita, apakah kita masih bisa percaya pada demokrasi yang kita punya. Dan apakah kita cukup berani untuk membela nilai-nilainya sebelum semuanya terlambat.

Applebaum menulis, jika para diktator bisa bersatu, mengapa kita tidak? Pertanyaan itu masih bergema di kepala saya, bahkan setelah kopi saya habis dan langit mulai gelap.