Lewat TikTok, Anak Muda Morowali Mengalirkan Resah



Di satu kafe yang hits di Bahodopi, Morowali, saya jumpa anak-anak muda pekerja tambang. Mereka TikToker yang banyak berbagi kisah tentang Morowali, yang kemudian viral, tak hanya di Beijing, tapi juga kota-kota besar lainnya.

Mereka bercerita hal sederhana, masalah keseharian, melalui video yang kemudian mendunia. Mereka bertututr dengan logat Palu, logat Makassar, juga logat khas anak muda Bahodopi.

Konten-konten itu bukan sekadar hiburan: itu saluran keresahan dari para pekerja muda yang hidup jauh dari pusat kota.

Iwan dan Luki (sebut saja namanya demikian), dua pekerja tambang yang kini dikenal sebagai kreator TikTok, sedang memainkan peran baru dalam hidup mereka—menjadi juru bicara dari generasi yang tak punya banyak ruang untuk bersuara. 

“Awalnya saya bikin cuma buat lucu-lucuan,” kata Iwan. Ia memulai dari keresahan kecil: bau badan di bus, rekan kerja yang suka pura-pura ke toilet, atau obrolan logat Palu yang sering kali dipelesetkan. Semua itu diolah jadi komedi yang relatable dan... viral.

Luki punya pendekatan yang lebih reflektif. “Banyak orang rasain hal yang sama, tapi mereka nggak bisa utarain. Jadi kami bantu sampaikan lewat konten.”

Keduanya, bersama beberapa kreator lain dari Morowali, membuktikan bahwa TikTok bukan sekadar tempat pamer gaya hidup. Ini adalah ruang ekspresi, sekaligus kanal perlawanan kecil dari mereka yang tak bersuara.

BACA: Bahodopi, Di Antara Mesin dan Kenangan

Fenomena ini bukan hal yang asing dalam studi media sosial. Zeynep Tufekci, penulis Twitter and Tear Gas, menyebut media sosial sebagai “teknologi konektivitas dan representasi alternatif.” Ia menulis:

“Social media platforms don’t just connect people; they provide spaces for identity formation, resistance, and collective storytelling—especially for those excluded from mainstream narratives.”

Hal itu terlihat jelas di Morowali. Dalam keseharian yang monoton dan jauh dari sorotan media, anak-anak muda ini menciptakan representasi alternatif tentang siapa mereka, dan bagaimana mereka hidup. Mereka bukan pekerja tambang biasa. Mereka juga pelakon, penulis naskah, editor, bahkan manajer komunitas.

Dengan logat khas, latar kamar mess yang sempit, dan dialog spontan, konten mereka terasa otentik. Penonton merasa ini bukan akting. Ini kehidupan nyata.

“Waktu istirahat itu cuma dua jam. Nah, saya pakai buat produksi konten. Kadang ngeditnya tengah malam, pas suasana tenang,” ujar Iwan.

Dan memang, algoritma TikTok tampaknya lebih menyukai kejujuran. Ethan Zuckerman, pakar media dari University of Massachusetts Amherst, menulis: “TikTok’s algorithm doesn’t just reward polish—it rewards authenticity, relatability, and emotional resonance. That’s what sets it apart from platforms like Instagram.”

Tidak mengherankan jika dari tambang-tambang yang terletak jauh di pedalaman Sulawesi, muncul video-video yang menyaingi popularitas selebgram kota besar. Bahkan beberapa dari mereka, seperti Iwan, pernah mencapai jutaan penonton dalam sekali live.

Mereka selalu menemukan celah, lewat satire, parodi, dan drama buatan. TikTok juga memberi mereka status sosial baru. Dulu, kebanggaan diukur dari motor atau mobil. Sekarang, dari jumlah followers.

“Yang dulu nggak baca DM saya, sekarang malah yang kirim duluan,” ujar Iwan, sambil tertawa.

Dalam dunia yang semakin terkoneksi, pengakuan sosial bisa datang dari siapa saja, asal punya suara. Dan di Morowali, suara-suara itu sedang berkembang dari layar kecil, menantang narasi besar yang sering kali melupakan pinggiran.

TikTok bukan pelarian. Ia adalah panggung. Dan anak-anak muda Morowali adalah pemain utama yang mengubah keresahan menjadi cerita. Cerita yang tidak hanya ingin didengar, tapi perlu.

Sebab, dalam setiap video berdurasi 15 hingga 60 detik itu, mereka sedang menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hiburan. Mereka sedang berkata: “Lihat kami. Dengarkan kami. Kami ada.”

Di dunia yang terobsesi pada pusat, anak-anak muda dari pinggiran seperti Morowali sering kali hanya muncul sebagai statistik: angka tenaga kerja, laporan produktivitas, atau grafik pertumbuhan ekonomi. Mereka menjadi kaki dari mesin yang besar, tetapi jarang punya suara tentang bagaimana rasanya menjadi roda yang terus berputar.

Lewat TikTok, mereka membalik peran itu. Mereka bukan lagi sekadar objek yang dilihat; mereka adalah subjek yang menunjukkan. Setiap lelucon tentang pekerja yang izin ke toilet demi menghindari pekerjaan, setiap sindiran tentang hubungan palsu di konten “suami-istri”, atau setiap debat kecil dalam logat khas Sulawesi Tengah, adalah bagian dari narasi yang lebih besar. Bahwa di balik helm proyek dan baju kerja lusuh, ada manusia dengan cerita, rasa, dan mimpi.

Diam-diam saya menyimpan kagum pada anak muda ini. Mereka tidak mengeluh di balik layar. Mereka tampil, mereka bersuara, mereka membentuk makna baru tentang kerja, cinta, dan harga diri. Dan dalam proses itu, mereka sedang mendefinisikan ulang arti menjadi “dikenal” dan “diakui” dalam era digital.

TikTok adalah panggung yang demokratis, setidaknya lebih dari media konvensional. Ia tidak peduli dari kota mana kamu berasal, berapa ukuran rumahmu, atau siapa ayahmu. Yang penting: apakah kamu punya cerita yang jujur dan cara yang segar untuk menyampaikannya. Anak-anak muda Morowali punya keduanya.

Dan mungkin, tanpa mereka sadari, para kreator muda Morowali sedang mengubah lanskap narasi digital Indonesia. Dari wilayah yang dulunya hanya disebut sebagai “daerah tambang”, kini lahir suara-suara baru yang tidak hanya menghibur, tetapi juga merekam denyut sosial di tepian republik.

Mereka tidak bicara soal revolusi. Mereka tidak turun ke jalan. Tapi di balik candaan, logat daerah, dan duster pink, terselip kritik halus, solidaritas tak terucap, dan kerinduan akan pengakuan.

Di tengah deru mesin dan debu nikel, mereka memilih bicara lewat video. Dan kadang, itu lebih mengguncang dari pidato panjang.

Di akhir percakapan, saya terkenang kutipan dari Mahatma Gandhi: “In a gentle way, you can shake the world.”