Mereka yang Kesepian di Tengah Gemuruh Tambang


Pagi tiba perlahan di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Langit masih kelabu, embun belum sepenuhnya pergi dari dedaunan sengon dan ilalang yang tumbuh di pinggir jalan tanah. Udara basah oleh sisa hujan semalam, dan aroma logam samar-samar mengambang di angin. 

Dari kejauhan, samar terdengar dentuman truk-truk raksasa yang mulai hidup. Lampu sorot mereka menembus kabut pagi seperti tatapan mata yang terlalu dini dibuka. Beginilah pagi dimulai di tanah tambang: bukan oleh kicau burung, melainkan oleh raungan mesin.

Di sinilah mereka tinggal. Di tengah hutan industri, jauh dari pusat kota, jauh dari pelukan anak, suara pasangan, atau gelak tawa sahabat. Mereka hidup dalam ritme yang ketat dan berulang. Pagi bukan lagi waktu memulai hari dengan santai, melainkan aba-aba untuk segera mengenakan helm dan sepatu bot, mengisi logbook, lalu bekerja hingga malam menelan cahaya terakhir.

Mereka datang dari jauh. Dari Makassar, Palu, Kendari, bahkan dari Jawa dan Flores. Mereka menyeberangi pulau bukan demi petualangan, tapi demi penghidupan. Tidak semua dari mereka paham geologi. Tapi mereka paham arti lelah yang menumpuk, dan arti “lembur” yang bukan lagi pilihan, tapi kewajiban.

Disiplin di pertambangan bukan hanya soal jam kerja. Tapi tentang bagaimana tubuh manusia dilatih untuk patuh, diam, dan berulang. Seperti yang ditulis Michel Foucault dalam Discipline and Punish: “A body is docile that may be subjected, used, transformed and improved.” 

Tubuh-tubuh para pekerja tambang dijinakkan melalui rotasi shift, pembiasaan instruksi, dan pengawasan konstan. Mereka menjadi bagian dari koreografi besar yang teratur, efisien, dan senyap. Seakan-akan tubuh mereka bukan lagi milik pribadi, tapi milik sistem.

Di beberapa perusahaan, sinyal ponsel tak ada. Tak bisa menelepon anak. Tak bisa memutar lagu kenangan. Hidup dikurung oleh jam kerja dan ruang tidur bersekat tipis. Mereka tinggal di mess-mess tertata, kadang di kontainer besi. 

Di luar tampak rapi. Tapi di dalam, kesepian menggantung tanpa suara. Tak ada warkop. Tak ada pasar pagi. Tak ada suara kehidupan yang organik. Hanya derap langkah menuju tempat kerja, dan detik jam dinding yang terdengar terlalu jelas.

Seorang kawan yang telah bertahun-tahun di industri pertambangan pernah berkata lirih, “Yos, saya iri melihat kamu. Bisa ke mana-mana. Bisa menulis. Bisa ketemu orang baru.” Kalimat itu sederhana, tapi menusuk. Ia, yang dulu penuh semangat, kini menjelma mesin: bekerja, diam, bekerja lagi. Entah sampai kapan.

Di titik ini, uang bukan lagi magnet. Karena setelah waktu cukup lama, yang paling dirindukan bukanlah saldo di rekening. Tapi sarapan bersama anak. Percakapan biasa di teras rumah. Suara ibu yang bertanya, “Kapan pulang?” Dan yang paling dalam: rasa menjadi manusia utuh, bukan hanya komponen dari mesin produksi.

Psikiater Viktor Frankl pernah menulis: “When a person can't find a deep sense of meaning, they distract themselves with pleasure.” Maka tidak heran jika para pekerja tambang kini rajin bermain TikTok, merekam senja, menulis sajak, atau sekadar menyimpan foto langit sore. Mereka bukan melarikan diri. Mereka sedang mencoba menyelamatkan sepotong makna.

Albert Camus pun pernah berkata, “In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.” Dan mungkin, dalam tubuh-tubuh letih yang setiap hari naik ke kendaraan operasional, masih tersimpan musim yang hangat, meski terselip jauh di antara target produksi dan jam kerja yang tak kenal akhir pekan.

Kesepian di tambang bukan semata karena jarak. Tapi karena relasi yang terputus, percakapan yang dibungkam, dan kemanusiaan yang disisihkan. Maka jika suatu hari Anda bertemu seorang pekerja tambang yang tampak kuat dan diam, jangan buru-buru menilai. Bisa jadi, ia sedang mencari kembali siapa dirinya di antara suara alat berat, pengawasan tak henti, dan malam-malam panjang yang tak pernah benar-benar hening.

Sebab hidup, pada akhirnya, bukan sekadar tentang berapa banyak uang yang bisa dikumpulkan. Hidup adalah perjalanan. Hidup adalah langkah-langkah kecil yang kita tempuh menuju mimpi. 

Tapi dalam setiap langkah itu, kita tak boleh kehilangan sisi manusiawi kita: keinginan untuk dicintai, untuk merasa berarti, dan untuk bahagia dalam arti yang tak bisa dibeli. Di tengah deru mesin dan angka-angka produksi, para pekerja tambang sedang berusaha mempertahankan cahaya kecil itu: cahaya makna.