Bahodopi, Di Antara Mesin dan Kenangan



Asap tipis menggantung di udara pagi, melayang pelan di antara deretan truk tambang yang baru saja melaju keluar dari kawasan industri. Di pinggir jalan, para pekerja berseragam bergegas dengan wajah lelah namun teratur, sebagian menggenggam ponsel, sebagian lainnya menyeruput kopi instan dari gelas plastik. 

Jalan Trans Sulawesi dua lajur terasa sempit oleh lalu lalang kendaraan berat, toko kelontong, dan deretan bangunan kos-kosan yang berdiri saling berimpitan—sebagian masih setengah jadi, sisanya sudah penuh penghuni.

Di salah satu sudut, sebuah kafe berdinding kaca memutar musik pelan. Dari balik jendelanya, tampak laki-laki berkemeja rapi berbincang dalam bahasa Mandarin. Di meja seberangnya, dua anak muda dari Jawa bercanda soal shift kerja. Di sudut yang lain, sekelompok perempuan pekerja berbagi nasi bungkus dan tawa. Tak ada yang mengira: tempat ini dulu hanya dikenal oleh petani damar dan nelayan lokal.

Dua puluh tahun lalu, Bahodopi hanyalah kampung sunyi. Tanahnya dilapisi hutan tropis, jalannya merah berlumpur, dan malam-malamnya ditemani cahaya lampu minyak. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal. 

Hanya suara jangkrik dan desir angin di sela pepohonan yang menandai kehidupan. Kini, ia telah menjadi kota kecil yang hidup 24 jam sehari, dikelilingi mesin, ekspansi ekonomi, dan lalu lintas manusia dari berbagai penjuru dunia.

Jumlah penduduk yang pada 2019 hanya sekitar 7.000 jiwa, melonjak jadi lebih dari 37.000 pada 2020, lalu melesat lagi menjadi 50.000 pada 2022. Hari ini, bersama para kontraktor dan pekerja tidak tetap, Bahodopi ditaksir dihuni lebih dari 120.000 jiwa. Dalam hitungan kurang dari satu dekade, kampung ini berubah menjadi kota industri.

Dan semua dimulai dari logam bernama nikel.

Di tahun 2005, dua bersaudara—Halim Mina dan Hamid Mina—datang ke Bahodopi. Saat itu, tak banyak yang percaya bahwa tanah rimba ini menyimpan potensi besar. Mereka mendirikan PT Bintang Delapan Mining (BDM), perusahaan lokal yang memulai eksplorasi nikel di tengah keterpencilan. Hutan masih lebat, jalan setapak pun belum tentu bisa dilalui dengan kendaraan. Tapi tahun demi tahun, perlahan, jalan dibuka, kabel ditarik, dan logistik mulai mengalir.

Kemitraan BDM dengan Tsingshan Group dari Tiongkok menjadi babak baru. Dari yang awalnya hanya tambang, muncullah kawasan industri pengolahan logam bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang kini membentang seluas 5.000 hektare. 

Dari hanya satu pabrik, kini ada 54 pabrik yang berdiri megah, beroperasi siang dan malam. Tsingshan, yang dikenal sebagai raksasa global stainless steel, membawa serta puluhan investor lain dari China, Jepang, hingga Australia.

Sejak saat itu, Bahodopi menjadi titik pusat ledakan. Ribuan orang datang dari berbagai penjuru negeri. Dari Toraja hingga Surabaya, dari Buton hingga Papua. Mereka mengejar pekerjaan, penghasilan, dan secercah harapan hidup yang lebih layak.

Saya bertemu salah satu dari mereka di sebuah warung kecil tak jauh dari gerbang IMIP. Namanya Sahril, 26 tahun, datang dari Polewali Mandar. Dulu keluarganya petani kakao. Sekarang, ia menjadi operator crane. “Gaji saya tetap, Pak. Bisa kirim ke kampung tiap bulan. Tapi saya rindu kebun,” ucapnya lirih, sambil menatap ujung sendok di tangannya.

Bahodopi kini dihuni lebih dari 90.000 pekerja tetap. Sekitar 10 persennya adalah tenaga kerja asing, mayoritas dari China. Tapi total penghuni kawasan ini, bila dihitung bersama kontraktor, pedagang, dan penyedia jasa logistik, bisa menembus 120.000 orang. Sebuah lonjakan demografis yang luar biasa—17 kali lipat dari populasi awal satu dekade lalu.

Di satu sisi, ekonomi tumbuh cepat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Morowali naik dari Rp 180 miliar di tahun 2018 menjadi Rp 340 miliar pada 2022. Jumlah penduduk miskin berkurang separuh. Indeks Pembangunan Manusia naik tajam dari 62 ke 72. UMKM bermunculan di mana-mana. Masyarakat lokal yang dulu petani, kini banyak menjadi juragan kos-kosan atau pemasok logistik kawasan industri.

Namun seperti kota yang dibangun dalam waktu sekejap, banyak yang tertinggal oleh waktu. Pemukiman tumbuh tanpa perencanaan. Bangunan berdempetan, sebagian tak layak huni. Sanitasi menjadi persoalan, ruang terbuka nyaris tidak ada. Jalan Trans Sulawesi yang sempit kerap macet saat sif berganti. Asap dan debu menjadi teman harian. Tak sedikit yang mulai bertanya: apakah ini bentuk kemajuan, atau justru pengabaian?

Dalam bukunya Land’s End, antropolog Tania Murray Li menulis dengan getir, “What is destroyed is not only a livelihood, but also a way of seeing, knowing, and being in the world.” Yang hilang bukan sekadar sawah atau hutan, tapi seluruh cara manusia memahami hidupnya—cara mengenali musim, menghitung bintang, atau menandai waktu lewat bunyi serangga dan bentuk awan.

Bahodopi, dengan segala gemerlap dan geliatnya hari ini, menyimpan paradoks: di saat industri membawa kesejahteraan, ia juga menggeser ingatan. Di saat ekonomi berkembang, ia juga menciptakan kesenjangan. Kota ini tumbuh, tapi belum semua warganya tumbuh bersama.

Saya kembali ke kafe tempat saya duduk di pagi tadi. Musik masih mengalun. Di seberang jalan, sekelompok pekerja muda tertawa keras sambil menanti jemputan sif malam. Di langit, bintang nyaris tak terlihat, tertutup cahaya buatan dari tungku pabrik dan lampu jalan.

Dulu, dari titik ini, saya bisa melihat siluet pohon damar berdiri tegak. Sekarang, yang tersisa hanya bayangan pabrik dan menara crane.

Mungkin inilah wajah pembangunan di banyak sudut Indonesia—tumbuh cepat, menggembirakan, tapi juga menyisakan ruang-ruang kosong dalam jiwa. Bahodopi adalah contoh ekstrem dari mimpi modernisasi: ia membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pemain global dalam industri strategis. Tapi ia juga mengingatkan, bahwa tanah yang diambil dari hutan tak sekadar soal logam dan batu, melainkan soal cara hidup yang tak bisa diulang.

Malam semakin larut. Jalan tetap ramai. Kota ini tak pernah benar-benar tidur. Tapi dalam hati saya yang telah menyaksikan Bahodopi dua puluh tahun lalu, diam-diam saya menyimpan satu harapan kecil: semoga ingatan tentang hutan, tentang sunyi, dan tentang harmoni lama yang hilang, meskipun tidak sepenuhnya lenyap. 

Karena dari kesunyian itulah Bahodopi pernah bermula. Dan mungkin, hanya dengan mengingat itulah, kota ini bisa tetap waras di tengah terangnya nyala api.