Leo XIV: Ketika Dunia Menunggu Damai


Asap putih perlahan membubung dari cerobong Kapel Sistina. Langit Roma tampak menahan napas. Di bawahnya, ribuan wajah menatap ke atas, dalam diam yang seperti doa.

Ada yang menggenggam rosario. Ada yang menangis pelan. Mereka menunggu bukan sekadar kabar, melainkan pengharapan—seperti lilin yang tak sabar menyala.

Lalu asap itu menari di udara sore, putih dan lembut, seperti kabar yang datang bukan dari bumi. Sorak-sorai meledak di Lapangan Santo Petrus, menyatu dengan dentang lonceng yang menggema dari Basilika.

Dari balik tirai balkon, terdengar suara yang membelah sejarah: “Habemus Papam.”

Seorang lelaki pun muncul. Jubah putih membalut tubuhnya, dan sinar lembut senja memantul pada wajahnya yang tenang. Bukan dari Italia. Bukan dari Spanyol, bukan Polandia.

Dia datang dari Chicago—kota dengan sejarah buruh yang keras dan kereta bawah tanah yang gemetar. Tapi dia juga datang dari Peru—dari tanah misi, dari ladang-ladang sunyi tempat kelaparan tidak hanya berarti perut kosong, tapi juga batin yang haus makna.

Kini, dia berdiri di jantung Katolik Roma. Bukan sebagai penguasa, tapi sebagai penunggu harapan. Robert Francis Prevost, yang kini bernama Paus Leo XIV.

Dia memilih nama yang berat—Leo. Nama yang pernah dikenakan oleh seorang paus yang bersuara lantang untuk keadilan sosial, yang menulis Rerum Novarum saat dunia terengah oleh mesin dan pabrik. Nama yang menandakan bahwa kekuasaan sejati adalah keberpihakan kepada yang lemah.

Dalam geraknya yang pelan, dalam suaranya yang tenang saat ia mengangkat tangan dan berkata, “Damai bagi kalian semua,” terasa bahwa dunia sedang diajak menarik napas panjang. Bukan untuk berhenti, tapi untuk memulai ulang.

Di balkon itu—tempat Petrus diyakini pernah disalib terbalik karena enggan mati seperti Tuhannya—sebuah kalimat lama menggema kembali: “Signore, da chi andremo? Tu hai parole di vita eterna.”

“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Engkau memiliki perkataan hidup yang kekal.” (Yohanes 6:68)

Paus ini mungkin tidak datang membawa jawaban atas semua tanya. Tapi ia memilih untuk tinggal. Untuk menyimak. Untuk percaya bahwa setia adalah jalan paling dalam dari semua pengabdian.

Dunia hari ini dipenuhi suara. Mulai iklan, ajakan, kemarahan, kabar palsu. Tapi Leo XIV datang sebagai jeda. Suara yang tidak membentak, tapi mengajak. Yang tidak menawarkan keselamatan instan, tapi menunjukkan jalan panjang yang pernah dilalui seorang nelayan Galilea.

Malam itu, langit di atas Vatikan seakan melunak. Asap putih telah naik. Nama telah disebut. Dan di antara sisa-sisa sejarah dan debu-doa yang beterbangan, dunia teringat bahwa harapan belum mati.

Di dataran tinggi Papua, seorang pastor tua menyalakan lilin dan berkata pelan, “Akhirnya, seorang paus dari ladang misi. Mungkin dunia bisa belajar kembali untuk lembut.”

Di ujung Timor Leste, siaran radio gereja membawa kabar itu. Seorang imam muda tersenyum dan berkata kepada jemaatnya, “Barangkali, damai tak lagi hanya wacana. Barangkali, ia sedang menuju kita.”

Dan seperti doa yang nyaris tak selesai, seseorang di antara umat membaca ulang kata-kata Karl May, penulis yang pernah memimpikan dunia tanpa perang:

“Friede auf Erden.”

Damai di Bumi.