Singapura Tahu Arah, Bagaimana Indonesia?
Di depan kamera, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong berbicara dengan tenang. Tidak ada dramatisasi. Tidak ada ancaman. Ia berbicara panjang—tentang perang tarif, tentang kebijakan Donald Trump, dan tentang risiko yang bisa mengguncang perekonomian global.
Suaranya datar, tapi nadanya mantap. “Kami tidak bisa mengabaikan skenario apa pun, termasuk kebijakan tarif agresif dari pemerintahan AS yang baru. Tapi kami sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk memastikan ekonomi kita tetap tangguh,” katanya, tanpa ragu.
Kalimat itu bukan sekadar pemberitahuan, tetapi penegasan bahwa negara hadir. Di tengah wacana proteksionisme dan ketidakpastian, pernyataan Wong memberi sinyal: Singapura tahu apa yang sedang terjadi, dan—yang terpenting—tahu apa yang harus dilakukan.
Ini bukan pertama kalinya pemerintah Singapura tampil sigap merespons isu global. Dalam krisis pandemi, konflik geopolitik, hingga lonjakan harga energi, mereka selalu memulai langkah dengan satu hal: berbicara pada rakyat.
Komunikasi bukan sekadar pelengkap kebijakan. Ia adalah bagian dari kebijakan itu sendiri. Negara tidak menunggu rakyat menerka. Ia lebih dulu menjelaskan, memberi arah, menata kecemasan sebelum berubah menjadi kegaduhan.
Kontras dengan itu, Indonesia seperti memilih diam.
Hingga kini, kita belum pernah menyaksikan Presiden Prabowo tampil menjelaskan bagaimana pemerintah membaca arah dunia. Padahal, saat kampanye, ia tak pernah kekurangan suara. Ia lantang. Ia tegas. Tapi setelah terpilih, sikap itu lenyap. Yang tersisa hanya sunyi. Entah, apakah beliau terlalu berhati-hati dalam menyampaikan sikap.
Sejauh ini, kita belum menemukan pernyataan resmi terkait kemungkinan dampak dari kebijakan Trump. Belum ada keterangan dari Kementerian Perdagangan. Belum ada protokol atau rencana darurat dari Kementerian Luar Negeri. Belum ada kejelasan posisi. Negara seperti hilang suara, justru saat publik paling membutuhkannya.
Di ruang yang kosong itu, spekulasi tumbuh liar. Media sosial berubah menjadi ruang debat. Media sosial penuh kecemasan. Dan seperti biasa, yang paling kencang bersuara bukan mereka yang paling paham.
Keheningan ini membawa konsekuensi.
Eksportir bingung apakah harus mulai mencari pasar alternatif. Investor menahan diri. Dunia usaha melambat. Padahal dalam situasi global yang labil, kehadiran negara tidak hanya soal kebijakan, tetapi juga komunikasi. Negara harus menjadi jangkar, bukan ikut hanyut dalam ombak.
Katleen Hall Jamieson, Direktur Annenberg Public Policy Center dari University of Pennsylvania, mengatakan, “Leadership during a crisis is not just about making decisions, but about explaining those decisions to the public. Poor communication can make a good policy look weak — and the reverse is also true.”
Kepemimpinan saat krisis bukan soal membuat keputusan, tetapi bagaimana menjelaskan keputusan itu kepada publik. Komunikasi yang buruk membuat kebijakan publik yang baik terlihat lemah, begitu pula sebaliknya.
Kalimat ini adalah sebuah peringatan yang layak didengar oleh siapa pun yang memegang kekuasaan. Dalam krisis, diam bukanlah netralitas—ia bisa menjadi bentuk pengabaian.
Pemerintah Singapura tampaknya paham betul soal ini. Begitu muncul isu strategis—seperti perang tarif atau gangguan pasokan—mereka segera memberi tanda bahwa negara hadir. Tidak menunggu semuanya sempurna. Cukup memberi sinyal: kami tahu, dan kami bersiap.
Setelah itu, masyarakat tak lagi membutuhkan kepastian mutlak. Mereka hanya ingin tahu apakah pemerintah memahami risikonya, punya rencana cadangan, dan siap menjelaskan langkah-langkahnya secara terbuka.
Semuanya, tentu, harus disampaikan dengan bahasa yang bisa dijangkau semua lapisan. Bukan jargon teknis, tapi kalimat yang bisa dipahami oleh petani di Bone atau buruh di Bekasi. Kalimat yang jujur, tidak menakut-nakuti, tapi juga tidak menyembunyikan apa-apa.
Indonesia bukan negara kecil. Tapi besar tak selalu berarti siap. Dan besar tak menjamin negara bersuara. Sebab dalam dunia yang gaduh, kekuatan tidak selalu hadir dalam bentuk kuasa—kadang justru dalam bentuk kejelasan.
Dari negeri kecil bernama Singapura, kita belajar bahwa berbicara bukan kelemahan. Bahwa diam, dalam momen genting, bisa menjadi bentuk pengabaian. Dan bahwa kepemimpinan bisa dimulai dari satu mikrofon, satu kalimat, satu keputusan: untuk tidak diam.
Kita belajar bahwa dalam menghadapi krisis, hal pertama yang dibutuhkan rakyat adalah tanda. Bukan sekadar keputusan akhir, tapi arah. Negara seharusnya tidak menunggu masalah memuncak untuk berbicara. Ia perlu hadir sejak awal: memberi sinyal bahwa ia paham, memberi gambaran tentang apa yang sedang terjadi, dan menjelaskan langkah-langkah yang disiapkan.
Pemerintah seharusnya menjaga irama komunikasi. Tidak sekali lalu menghilang. Rakyat tidak butuh pidato panjang setiap hari. Tapi mereka butuh rasa ditemani—melalui kejelasan, melalui pembaruan informasi, melalui kalimat-kalimat yang jujur dan mudah dipahami.
Dan ketika negara bicara, biarlah suara itu datang dari tempat yang tahu arah. Bukan dari keraguan, bukan dari keterpaksaan. Tapi dari keyakinan bahwa kepercayaan publik tidak dibentuk dalam diam, melainkan dalam penjelasan yang terbuka dan bertanggung jawab.
Dalam sebuah esai tentang bahasa dan kekuasaan, filsuf Jürgen Habermas pernah menulis bahwa “legitimasi politik dibentuk melalui ruang publik yang rasional dan terbuka.”
Tanpa komunikasi yang jelas dan jujur, kata Habermas, negara kehilangan dasarnya untuk dipercaya. Kekuasaan yang tak bicara akan dilihat bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai bayang-bayang yang menakutkan.
Karena kata-kata, bila diucapkan tepat waktu, bisa menjadi jangkar di tengah badai. Dan jangkar itulah yang kini sedang kita cari.