Dari Hatta Hingga Jusuf Kalla: Dinamika di Fakultas Ekonomi Unhas


Di ruang kuliah kecil itu, Mohammad Hatta berdiri. Tubuhnya ramping, memakai songkok hitam, berbicara perlahan-lahan. Ia bukan sedang berkhotbah, bukan pula berkampanye. Ia mengajar. Tentang koperasi. Tentang ekonomi rakyat. Tentang bagaimana keadilan tidak bisa diletakkan di atas grafik pertumbuhan belaka.

Tak ada jargon. Tak ada istilah ekonomi yang berliku-liku. Yang hadir di situ bukan menteri, bukan elite, hanya mahasiswa-mahasiswa muda. Salah satunya, seorang anak pengusaha dari Ujung Pandang: Jusuf Kalla.

Kita membayangkan ia duduk di barisan depan, mencatat dengan cermat, mungkin sesekali bertanya. Tapi yang lebih penting dari semua itu: ia menyimak.

Hatta mengajar bukan untuk mengisi waktu, bukan pula untuk mengulang-ulang teori yang mudah ditelan. Ia mengajar karena ia percaya: pikiran yang adil tidak bisa diwariskan begitu saja. Ia harus ditanam, dilihat tumbuh perlahan.

Dan Hatta datang ke kampus itu bukan sebagai orang asing. Pada 10 September 1956, Mohammad Hatta—dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden—meresmikan secara resmi pendirian Universitas Hasanuddin.

Ia meletakkan batu pertama tidak hanya secara simbolik, tetapi juga secara ideologis: bahwa pendidikan tinggi di Indonesia Timur harus menjadi ruang tumbuhnya gagasan tentang keadilan sosial, bukan sekadar tempat meniru pusat.

Dan rupanya, pada sosok yang satu itu—yang kelak akan menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia dua kali—benih itu tumbuh.

***

Fakultas Ekonomi Unhas, tempat pertemuan itu terjadi, tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari keterhubungan: pada tahun 1947 berdiri sebagai bagian dari Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat di Makassar, lalu pada 1956 resmi menjadi kelas jauh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Para dosen datang dari Jakarta. Mahasiswa belajar dari bahan-bahan ajar FE-UI. Tapi yang lebih penting dari itu: ada keyakinan bahwa pusat-pusat pemikiran tak harus selalu ada di ibukota.

Hatta menyebut koperasi sebagai alat perjuangan. Bukan semata badan usaha, tapi cara untuk berjalan bersama. Kata “koperasi” memang berasal dari co-operare: bekerja sama.

Dan Jusuf Kalla, si asisten muda itu, mengingat semuanya.

Ia tak menjadi ekonom. Ia menjadi pengusaha, lalu politisi. Tapi agaknya ia tak pernah benar-benar melepaskan pelajaran dari kelas kecil itu.

Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ia rancang, bukan sekadar program pinjaman. Itu adalah tafsir modern dari koperasi Hatta. Pembedanya hanya bungkus administratif. Semangatnya sama: memberi akses kepada yang kecil, memperkuat dari bawah.

Saat konflik Aceh berkecamuk dan peluru tak berhenti berdenting, ia datang bukan sebagai jenderal, bukan pula sebagai perunding profesional. Ia datang dengan pendekatan yang mungkin pernah ia dengar dari Hatta: bahwa musyawarah harus berpihak kepada yang lemah. Dan bahwa perdamaian, seperti ekonomi, bukan soal kesepakatan elite. Ia soal kehidupan sehari-hari rakyat biasa.

JK tidak terlampau sering menyebut dirinya murid Hatta. Karena kadang, hubungan guru dan murid tidak perlu diumumkan. Ia terasa dalam cara seseorang bertindak. Dalam kebijakan yang tak melupakan desa. Dalam proyek pembangunan yang tak hanya mengukur keberhasilan dari angka, tapi juga dari senyapnya luka sosial.

Ia membangun Rumah Hatta di Makassar. Ia mencetak ulang tulisan-tulisan sang guru. Tapi lebih dari itu, ia membuktikan bahwa gagasan bisa diwariskan dalam diam—dan dijalankan tanpa gembar-gembor.

Dan hari ini, ketika dunia ekonomi dipenuhi dengan istilah disrupsi, startup, dan algoritma; ketika pembangunan lebih sering dihitung dari menara kaca dan jumlah investor asing—gagasan Hatta tampak seperti suara pelan dari masa lalu.

Tapi justru di sanalah pentingnya.

Ekonom pemenang Nobel Amartya Sen pernah menulis: “Development is ultimately about expanding the real freedoms that people enjoy.” Pembangunan, pada akhirnya, adalah tentang memperluas kebebasan nyata yang dinikmati manusia.

Sementara Joseph Stiglitz menambahkan: “Markets are not self-correcting, and left to themselves, they can lead to enormous disparities and inefficiencies. Fairness requires intervention.”

Pasar tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri, dan jika dibiarkan, ia bisa menimbulkan ketimpangan besar dan ketidakefisienan. Keadilan butuh intervensi.

Dalam kedua kutipan itu, kita menemukan gema yang akrab: pemikiran Hatta, yang sejak awal menolak anggapan bahwa mekanisme pasar semata bisa membawa keadilan. Dan JK, dengan KUR dan perdamaiannya, bukan hanya memahami prinsip itu—ia menjadikannya panduan bertindak.

Kini, ketika dunia memasuki era ekonomi digital, ketika transaksi tanpa bank dimungkinkan lewat blockchain, ketika kekayaan disimpan dalam crypto yang tak mengenal batas negara, dan ketika kecerdasan buatan mulai menggantikan tenaga kerja manusia, pertanyaan lama itu muncul kembali: masih relevankah koperasi?

Jawabannya: lebih dari sebelumnya.

Koperasi, pada dasarnya, adalah tentang kontrol bersama atas sumber daya. Dan justru di era ketika kontrol atas data, algoritma, dan teknologi hanya dimiliki segelintir korporasi raksasa, semangat koperasi menjadi semakin genting.

Hari ini, ada koperasi digital. Ada model bisnis berbasis platform kolektif. Ada blockchain yang diimpikan bisa menciptakan ekonomi tanpa perantara—sesuatu yang, dengan semangat tepat, bisa ditafsirkan ulang sebagai koperasi abad ke-21.

Namun semua itu butuh tafsir, butuh arah. 

Di titik inilah Fakultas Ekonomi Unhas harus kembali memosisikan dirinya. Bukan hanya sebagai tempat belajar neraca dan makroekonomi, tapi sebagai ruang pembacaan zaman.  

Dinamika baru seperti crypto, kecerdasan buatan, atau pasar digital, bukan sekadar tren teknologi. Ia adalah realitas ekonomi yang membentuk cara baru orang hidup, bekerja, dan—atau—terpinggirkan.

Fakultas ini punya sejarah: pernah menyambut Hatta, pernah menjadi rumah bagi benih gagasan ekonomi kerakyatan yang kini tumbuh di panggung nasional. Maka ia juga punya tanggung jawab: memotret dan mengarahkan ulang ekonomi digital dalam kerangka keadilan sosial, sebagaimana cita-cita Hatta.

Mungkin benar, sejarah tak selalu bekerja secara linier. Tapi dalam diri JK, kita melihat sesuatu yang jarang: seorang pemimpin yang tidak melupakan siapa yang pernah mengajarinya berpikir.

Dan kita belajar bahwa kadang, warisan paling penting bukan terletak dalam patung atau nama jalan. Tapi dalam seseorang yang dulu duduk sebagai asisten—dan kemudian melanjutkan pelajaran itu, dalam tindakan.

Seperti pernah dikatakan Mohammad Hatta: "Amal usaha tanpa dasar keadilan adalah kekejaman yang berlapis."

Dan keadilan itu, hari ini, ditantang oleh wajah baru ekonomi: blockchain yang tak tersentuh negara, AI yang tak kenal nurani, dan pasar digital yang tak selalu memberi ruang bagi yang kecil.

Dalam dunia yang bergerak cepat dan tidak selalu adil, kita membutuhkan kembali satu hal yang sederhana namun mendasar: gagasan yang berpihak.