Jauh dari Leiden, Belanda, dia datang ke selatan Celebes. Di tahun 1847, Benjamin Frederick Matthes diminta pengurus Nederlandsch Bijbelgenootschap atau organsiasi Alkitab Belanda untuk meneliti sastra Bugis, termasuk I La Galigo,.
Sebagai misionaris, dia juga diminta menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Bugis Makassar. Di masa itu, dia lulusan terbaik Sastra Semitik dan Teologi di Universitas Leiden. Dia menerima tugas itu dengan membawa kekhawatiran. Dia tidak banyak mengenal tanah Celebes, tanah di mana para lelakinya mudah menghunus badik dan memburai usus.
Matthes seorang ilmuwan yang tekun. Dalam petualang di bumi Celebes, dia mengumpulkan banyak naskah, serta belajar bahasa Bugis Makassar. Di tahun 1852, dia berjumpa Arung Pancana Toa atau Colliq Pujie, yang kemudian membantunya untuk menulis ulang tradisi lisan La Galigo ke dalam lembar-lembar aksara.
Kini La Galigo menjadi kanon sastra dunia. Kisahnya dipentaskan dalam teater di berbagai kota besar dunia. Dari Madrid hingga Lisbon. Semua orang menyebut nama Colliq Pujie, tapi jarang yang menyebut nama Matthes. Apakah karena dia seorang kristiani dan penginjil yang taat?
Novel Matthes ini memotret kisah Benjamin Frederic Matthes. Novel ini menyajikan kisah hidup seorang penginjil, yang dimulai dari Leiden hingga ke tanah Celebes.
Saya bayangkan betapa sulitnya melahirkan novel ini. Penulis mesti membaca data demi data, mengunjungi gereja-gereja dan seminari, setelah itu menyajikan kisah penjelajahan yang dipenuhi semangat gold, gospel, and glory.
Ini bukan novel tentang kejamnya kolonialisme, tetapi menyajikan potret perjalanan seorang misionaris di tanah yang baru, perjumpaan dengan cendekia dan sastrawan, serta kolaborasi untuk melahirkan sastra dunia.
Ini novel kedua dari penulis Alan TH yang saya baca. Beberapa tahun lalu, saya membaca Sungging, yang isinya serupa membaca kisah silat penuh filosofi di era Majapahit. Saya dengar sambungan novel itu akan terbit tahun ini dengan judul Bubat.
Recommended!
0 komentar:
Posting Komentar