Seni CARI MUKA


Di satu acara buka puasa, saya jumpa kawan itu. Dahulu, kami sering diskusi dan membaca bersama. Kami sempat nyasar jadi ‘anak kajian’ di kampus. Kini, dia sudah menjadi orang sukses dan tajir.

Dia punya netwoking yang kuat. Dia bisa tembus ke para pengambil kebijakan negeri ini. Dia dekat dengan banyak crazy rich. Padahal menurut saya, dia tidak pintar-pintar amat. 

Kelebihannya adalah dia tahu bagaimana memikat hati orang lain, sehingga menjadi kawan dekat, lalu menjalin relasi yang kuat. Dia membangun networking kuat sehingga punya akses ke banyak hal.

Networking adalah satu kata yang sering kita ucapkan, namun sulit dijalankan, apalagi bagi orang introvert seperti saya. Di dunia akademis, kita hanya fokus mengejar nilai dan status cumlaude, padahal dunia praktis tidak selalu membutuhkan itu. 

Seseorang yang punya networking bagus, akan jauh lebih sukses ketimbang orang yang hanya mengandalkan kepintaran. Malah, kata seorang kolumnis, seorang penjilat akan lebih sukses dari pekerja yang rajin. Mengapa? Sebab dia tahu cari muka ke atasan.

Kebetulan, saya baru saja menuntaskan buku berjudul NETWORKING: Seni Nyetor (dan cari) Muka untuk Profesional, yang ditulis William Ndut, akademisi UI. 

Saya tertarik dengan kalimat:  Bahwa networking bukan soal “setor muka" di pesta dan acara, tetapi juga seni “cari muka” yang membantu kita mencapai cita-cita dan menjadikan kehidupan profesional jauh lebih bermakna.

Dia melihat “cari muka” dalam pengertian positif. Yakni upaya untuk mengomunikasikan pencapaian, portofolio, atau kemampuan yang dimiliki dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup dan jejang karier profesional.

Baginya, networking adalah seni dan proses yang terus bertumbuh. Pada mulanya kita bertemu dengan seseorang dan berusaha saling mengenal. Seiring waktu, kita memupuk hubungan, hingga di satu titik bisa membawa manfaat bagi kita.

Namun, networking bukan sekadar bertemu seseorang lalu selfie, kemudian menyimpan namanya di HP.  Bukan barang dagangan, di mana kita berharap akan meminta sesuatu. Bukan pula sekadar berbincang-bincang di satu acara, Bukan pula bicara-bicara cerdas ala akademisi sehingga orang lain terkesima.

Sekadar kenal, sapa dan basa-basi adalah tahap pertama dari membangun networking yakni tahap struktural. Setelah itu adalah tahapan strategik di mana kita melihat networking bukan sebagai emas, melainkan “tambang emas” yang bisa diubah menjadi kekayaan tiada tara. 

Kita memupuk hubungan, menjalin relasi, saling membantu, serta saling menjaga silaturahmi. Kita membangun integritas, kepercayaan, reputasi, serta rekam jejak yang baik. Di titik ini kita berupaya untuk mengenali siapa kawan kita, apa kebiasaannya, serta apa saja hal yang membuatnya nyaman.

Tahap terakhir adalah tahap simbolik. Ini adalah tahap di mana kita telah memberi banyak kontribusi bagi orang sekitar kita. Di tahap ini kita menjadi figur yang menjadi enabler atau membuka jalan bagi orang lain, sehingga kelak kita mendapatkan banyak manfaat dari ketulusan dan niat baik itu.

Saya tertarik membaca tahapan strategik. Untuk merebut hati orang lain, tak sekadar cari muka, tapi perlu strategi. Kita perlu mengenali kebiasaan orang yang kita incar jadi networking, kemudian perlahan masuk melalui hal tersebut.

Saya ingat semasa jurnalis. Kami hendak menemui Zainal Tayep, pengusaha kaya asal Makassar di Bali. Saya dan beberapa kawan bertanya tentang regulasi bisnis. Terlihat dia kurang nyaman. Tiba-tiba seorang jurnalis bertanya: “Puang, ada saya punya ayam bitte. Jago sekali itu ayam.” 

Tiba-tiba wajah Zainal Tayep berseri-seri. Dia menatap kawan saya dengan bahagia. Mengalirlah pembicaraan tentang ayam aduan. Entah kawan ini tahu dari mana kebiasaan pengusaha kaya ini. Sejak saat itu, dia membangun networking kuat, hingga berkongsi bisnis dengan pengusaha itu.

Saya yang saat itu merasa terlalu pintar, gagal membangun suasana. Saya hanya bisa menyerap hikmah, sementara kawan itu menyerap dollar. 


0 komentar:

Posting Komentar