Saat Tesla mengumumkan akan berinvestasi di Malaysia, banyak anak bangsa mencibir Jokowi dan Luhut yang telah jauh-jauh ke Amrik untuk melobi Elon Musk. Banyak orang memuji PM Malaysia Anwar Ibrahim yang sukses melobi, meski hanya via zoom selama 25 menit.
Padahal, di media sosial, netizen Malaysia malah menilai Indonesia maju selangkah di banding negaranya yang hanya dijadikan dealer. Belum lama ini, media Jepang, Asia Nikkei, membuka tabir apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana tarung lobi antara Jokowi versus Anwar Ibrahim, serta kegigihan Indonesia untuk membuat Tesla tunduk pada kepentingan bangsa.
Ada apakah?
***
DI Kuala Lumpur, Presiden Jokowi jumpa PM Anwar Ibrahim dalam suasana penuh kekeluargaan. Anwar menyebut Indonesia sebagai “Abang besar” yang kemudian banyak diprotes parlemen Malaysia. Anwar mengajak Jokowi untuk blusukan di Pasar Chow Kit.
Kedua kepala negara menandatangani perjanjian tapal batas, yang telah lama menjadi ganjalan diplomasi selama bertahun-tahun. Semuanya baik-baik saja hingga Jokowi meninggalkan negara itu. Saat itulah, Anwar mengumumkan kesepakatan dengan Tesla yang hendak menanamkan investasi ke Malaysia.
Publik Indonesia terkejut. Sejak tahun 2020, Indonesia melobi Tesla, namun perusahaan itu memilih Malaysia. Tentu, Anwar tak salah apa-apa jika Tesla melirik negaranya. Sebagai kepala negara, dia mengutamakan kepentingan Malaysia. Dia tahu, Indonesia telah lebih dulu melobi, namun dalam bisnis, tak ada kawan abadi.
Jokowi dan Anwar sama-sama punya ambisi besar untuk bangsanya. Jokowi berambisi untuk menjadikan Indonesia sebagai powerhouse produksi kendaraan listrik global. Bagi Jokowi, untuk mencapai visi Indonesia emas 2045, Indonesia harus memaksimalkan sumber daya alam dengan cara mengolahnya dulu sebelum dijual ke bangsa lain. Dia menyebutnya hilirisasi.
Anwar pun setali tiga uang. Bisa mendatangkan Tesla masuk Malaysia adalah prestasi besar yang akan mendapat publikasi luas berbagai media. Ini memberinya keuntungan pada pemilihan penting di enam negara bagian Malaysia pada 12 Agustus 2023. Dia ingin membungkam kalangan oposisi dengan memberi banyak bukti pelaburan (investasi) masuk negara itu, sesuatu yang dulu dikritik keras Najib Razak di era Muhyiddin Yasin dan Ismail Sabri.
Saat Jokowi dikritik banyak pihak di dalam negeri karena dianggap gagal melobi, Anwar pun juga mendapat kritik dari netizen Malaysia. Banyak netizen negeri itu yang mempertanyakan kesepakatan dengan Tesla. Pengumumannya demikian heboh, padahal yang dibangun hanya dealer dan pusat penjualan mobil.
Ada yang mengatakan, Indonesia tidak dilirik karena memiliki nilai buruk dalam aspek tata kelola sosial lingkungan (ESG), yakni seperangkat standar yang digunakan oleh perusahaan untuk menyaring potensi investasi. Masih banyak isu yang belum cukup dipatuhi Indonesia, terutama aspek ESG di sektor pertambangan nikel.
Laporan Nikkei
Dalam banyak kesempatan, pemerintah Indonesia tidak pernah terang-terangan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Baik Jokowi maupun Luhut, atas nama pemerintah Indonesia, mematuhi kesepakatan Non Disclosure Agreement (NDA) untuk tidak membuka apa saja syarat dan kondisi dalam bisnis kedua belah pihak.
Namun keduanya telah memberikan isyarat kalau pihak perusahaan asing terlalu banyak menuntut. Perusahaan asing hanya datang berbisnis, cari untuk bagi diri sendiri, tanpa memberi nilai tambah bagi negeri pemilik sumber daya alam. Mereka ingin untung sepihak. Jokowi dan Luhut tidak merinci siapa yang dimaksud.
Hingga akhirnya media Jepang, Asian Nikkei, mengeluarkan artikel mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dalam publikasi berjudul Tesla's move into Malaysia should be a wake-up call for Indonesia, kolumnis A. Lin Neumann, membuka berbagai hal yang selama ini menjadi misteri.
Media itu mencatat, sangat sedikit yang diketahui publik tentang apa yang dicari Tesla dari Jakarta atau apa yang ditawarkan Indonesia, tetapi dari garis besar kesepakatan Malaysia, apa yang diinginkan pembuat mobil tampaknya cukup mudah.
Di Malaysia, Elon Musk mendapat jaminan bahwa Tesla tidak perlu berbagi keuntungan dengan mitra lokal. Dengan impor bebas tarif, Tesla mulai menjual mobilnya bulan lalu di Malaysia dengan harga di bawah $50.000 -- atau sekitar seperempat harga eceran di Singapura atau Indonesia.
Seorang netizen di Malaysia mengkritik investasi Tesla dalam beberapa poin. Di antaranya adalah: (1) Membenarkan 100% pemilikan asing, (2) Tidak perlu ada rakan niaga tempatan termasuk dealer dengan orang tempatan, (3) Tiada apa-apa agenda bumiputera, (4) Tiada keperluan ada apa-apa kandungan tempatan, (5) pengecualian 100% cukai import, cukai eksais dan cukai jualan kereta yang kesemuanya diimport dari kilang Tesla di Shanghai.
Bagi otoritas Malaysia, menggratiskan Tesla untuk segala hal gak rugi-rugi amat. Sebab kehadiran brand besar ibarat membuka katup untuk masuknya brand-brand besar lainnya. Setelah Tesla, negeri jiran itu mengincar Amazon, Google, lalu Apple. Ibarat dagang, gratis satu, tapi dua berbayar.
Namun kritik tetap saja mencuat. Netizen lain menyebut Indonesia maju selangkah sebab tidak mengincar dealer, tetapi pabrik. Indonesia ingin Tesla membangun pabrik mobil, agar bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja, menggerakkan ekonomi, serta bisa jadi sentrum untuk memasarkan mobil ke wilayah lain di Asia, khususnya Asean.
Indonesia juga menuntut agar Tesla bermitra dengan pengusaha lokal sehingga keuntungan bisa diraup bersama. Kedua belah pihak bisa sama-sama untung, yang diharapkan bisa menggerakkan ekonomi lokal. Di Asean, Indonesia dan Vietnam adalah negeri yang selalu mendesak perlunya pengusaha asing bermitra dengan pengusaha lokal.
Selain itu, Indonesia juga mengenakan tarif impor 50% pada mobil listrik untuk mendorong investasi manufaktur lokal. Beberapa perusahaan mengharapkan Jakarta untuk menawarkan pembebasan pajak, seperti yang telah dilakukan Malaysia untuk Tesla. Tetapi Indonesia sangat terikat dengan banyak aturan yang menghargai kepentingan lokal dan mempersulit kesepakatan dengan investor.
Asian Nikkei menilai, kesepakatan Tesla dengan Malaysia menjadi semacam kritik bagi Indonesia yang selalu mendesak perlunya kerja sama dengan mitra lokal di banyak aspek, termasuk produk obat-obatan hingga ponsel. Indonesia diharapkan bisa mengubah beberapa aturan yang mengharuskan perusahaan asing bermitra dengan pengusaha lokal.
Namun jika di lihat dari kepentingan dalam negeri, Indonesia maju selangkah dari Malaysia. Adalah hal yang wajar jika pemerintah mengharuskan kebijakan ‘local content.’ Selama sekian lama, Indonesia tidak mendapat manfaat dari kekayaan sumber daya alamnya.
Saatnya Indonesia berdaulat dan menentukan aturan main dalam hal ekspor sumber daya alam. Dunia harus mengikuti aturan di Indonesia jika ingin akses ke pasarnya yang berkekuatan 270 juta, terbesar di Asia Tenggara.
Siasat Bisnis
Saya menduga kuat, ini adalah permainan bisnis. Tesla selama ini dikenal sebagai zero budget dalam hal marketing. Perusahaan ini bisa menjadi salah satu perusahan terkaya, tanpa biaya marketing. Perusahaan ini sering membuat peristiwa atau drama yang membuat publik membicarakannya.
Bisa jadi, Malaysia hanyalah sasaran antara bagi Tesla untuk menundukkan Indonesia dalam kesepakatan bisnis. Perusahaan asal Amerika itu ingin membuat Indonesia terpojok, setelah itu menemui Elon Musk untuk memperbaharui kesepakatan bisnis. Siasat itu hampir berhasil sebab Menteri Luhut lalu mengontak Elon Musk untuk membicarakan kembali niat investasi Tesla.
Namun, bangsa ini tak perlu panik. Di peringkat global, Tesla bersaing ketat dengan beberapa brand asal Cina. Tahun lalu, Tesla malah kalah dari mobil listrik BYD asal Cina. Perlahan, beberapa merk asal Cina mulai menguasai penjualan mobil listrik. Elon Musk sendiri mengakui kalau Cina punya ekosistem mobil listrik yang mengalahkan Tesla.
Elon Musk |
Saat ini, para pesaing Tesla itu sudah masuk Indonesia. Selain Hyundai dan Wuling yang sudah membuat pabrik, dalam waktu dekat raksasa mobil listrik BYD juga akan masuk pasar Indonesia. Kesemua brand ini bersedia mengikuti aturan pemerintah, dan memberi nilai tambah bagi bangsa.
Tak hanya itu, industri baterai kita mendapatkan investasi senilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 225 triliun (kurs Rp 15.000) hasil kerja sama PT Industri Battery Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) dengan perusahaan China, PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL) dan LG Energy Solution asal Korea Selatan (Korsel).
Malaysia menang selangkah. Namun ini belum final. Belum ada pemenang antara Jokowi dan Anwar Ibrahim.
Pertarungan selanjutnya adalah memperebutkan investasi pabrik mobil listrik. Indonesia masih punya peluang besar sebab memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan. Indonesia punya sumber daya dan posisi tawar yang tinggi.
Kalaupun negosiasi itu gagal, Indonesia harus berani tinggalkan Tesla. Jika kita mampu, mari kita kelola sendiri agar bisa memberi manfaat besar bagi semua anak bangsa, sebagaimana dicatat dalam konstitusi: “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah milik negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.”
2 komentar:
Tulisan yg Keren dari Seorang Pelatih Kucing...
Bagus.
Posting Komentar