Tree House

 


IBU cantik itu menyambut kami dengan penuh senyum. Saya sudah reservasi layanan kamar yang cukup mahal di arena glamour camping. Saya menyewa tenda ala suku Indian Apache.

Ibu pemilik hotel itu menawarkan upgrade ke layanan yang paling mahal. Layanan itu bernama Tree House. Saya pikir rumah di atas pohon. Pasti keren. Saya lalu menerima ajakannya untuk melihat Tree House.

Rupanya Tree House yang dimaksudkannya adalah rumah panggung terbuat dari kayu. Hah? Lebih kaget lagi saat mendengar harga yang ditawarkannya.

Bagi orang Jakarta yang setiap hari melihat tembok gedung tinggi, nginap di rumah panggung adalah anugerah besar. Itu semacam priviledge. Mahal.

Tapi buat saya yang lahir dan besar di kampung pesisir Sulawesi yang semua warganya tinggal di rumah panggung, itu biasa saja. Saya tak paham mengapa harus bayar mahal untuk nginap di rumah panggung.

Melihat raut wajah saya yang biasa saja, ibu itu kembali menawarkan sesuatu. Dia menawarkan saya paket wisata untuk naik sampan di sungai. Saya pikir gratis. Rupanya, untuk 15 menit, setiap orang wajib bayar 50 ribu rupiah. Hah?

Saya sulit menjelaskan ke Ibu itu. Saya besar di pesisir lautan. Setiap hari, saya bebas memakai sampan mana pun yang parkir di pinggir pantai. Tak perlu bayar mahal. Malah, pemilik sampan yang dengan senang hati mendayung.

Tapi di kota sebesar Jakarta, semua hal tadi justru sangat mahal. Setiap pekan, jalur menuju Puncak pasti macet parah. Orang-orang melawan kemacetan dan bersedia membayar mahal hanya untuk menikmati hal-hal yang setiap hari dinikmati orang kampung.

Dunia memang berubah. Orang kampung melihat orang kota dengan takjub. Mereka ke kota lalu jalan-jalan ke mal, menikmati kemacetan, dan gedung tinggi. Orang kampung ingin lihat ribuan lampu-lampu di malam hari.

Saya melihatnya secara sosiologis. Orang-orang kaya di kota, dahulu adalah perantau kampung yang mengharapkan hidup lebih baik. Mereka tinggal di kota yang sesak dan terjebak rutinitas. Setelah kaya, mereka kecele. Rupanya kehidupan terbaik dan lebih sehat adalah kehidupan yang dekat dengan green ecology.

Namun mereka terlanjur jadi orang kota. Ada rasa rindu kampung yang berdenyut dalam diri. Mereka ingin kehidupan yang tenang, di tengah alam hijau, dan mendengar suara-suara alam. Maka, di akhir pekan mereka membayar mahal demi menikmati hidup seperti masa lalunya.

Mereka lalu melahirkan generasi baru yang kian berjarak dengan kehidupan sebelumnya. Saat mereka ke Puncak, mereka memperbarui ingatan tentang kehidupan kampung sembari bernostalgia. Pantas saja bermunculan banyak wisata yang menawarkan kehidupan ala kampung. Bahkan rumah panggung pun menjadi penginapan termahal.

“Gimana Pak? Apa saya daftarkan untuk paket naik sampan?” Ibu itu bertanya.

Saya melirik ke anak saya. Dia paling antusias. Dia tak sabar untuk naik sampan. Pekan lalu, dia bersama ibu dan adiknya ke Kuntum, tempat wisata di Bogor. Mereka bangga saat menunjukkan foto mereka yang membeli rumput lalu disodorkan ke sapi. Mereka berpose dengan kambing, setelah itu memberi makan bebek.

“Ayah gak pernah naik sampan kan?” kata anak saya.

Saya terdiam. Anak ini tidak tahu kalau seusia dia, saya lebih banyak di pantai, mengejar lumba-lumba, berenang bersama ikan pari, menghindari ular laut, dan mengayuh sampan ke tengah lautan. Dia tidak tahu kalau di usianya, saya sudah masuk ke dalam hutan lebat lalu mandi di telaga tengah rimba.

Dia tidak tahu kalau seusianya saya sudah belajar berbagai mantra, termasuk mantra menaklukkan lawan jenis. Ssstt, ini rahasia yang tidak boleh dia tahu.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sebenarnya normal saja si, manusia memang suka nuansa yg tidak biasa.
Sy pnya temen orang daerah pegunungan Wonosobo, saat di group WA tawaran liburan, pilihan andalanya ya pantai..tapi tpi temenku yg pesisir selatan, cilacap. Ya pengenya ke Dieng, sejuk2 dingin bs lihat awan pagi.

Nah kebetulan sy kelahiran Banjarnegara dket dieng, tapi sekarang tinggal di dket pantai selatan..memahami dan memaklumi kedua temenku itu.

Posting Komentar