Saiful Jamil saat keluar penjara (foto: suara.com) |
Saipul Jamil
keluar penjara. Lelaki yang oleh orang dekatnya kini disapa Bang Haji itu seakan baru saja keluar dari
kawah candradimuka. Dia mempersiapkan album baru, mulai laris dipanggil stasiun televisi. Dia seakan baru
melalui cobaan hidup yang luar biasa selama dibui.
Jika menjadi dirinya, pasti Anda akan menikmati semua sambutan itu. Dia seorang penghibur yang berharap bisa selalu tampil di media. Dia dielu-elukan, dikerubungi bak pemenang Olimpiade, hingga diundang stasiun televisi. Malah peluncuran albumnya diperkirakan bakal heboh.
Bang Haji Saipul Jamil tak pantas disalahkan atas semua sambutan meriah itu. Dia hanya menikmati karpet merah yang disiapkan masyarakat dan industri hiburan tanah air kita. Dia adalah bagian dari industri yang telah lama memosisikan rating sebagai Yang Maha Kuasa. Selagi ada penonton, cuan mengalir, maka Bang Haji ini akan selalu tampil.
Menjelang dia bebas, banyak kru infotainmen menunggunya di luar lapas. Dia tetap pesohor, bukan pesakitan. Dia disambut dengan banyak senyum bahagia serta kalungan bunga. Dia tetap ganteng seperti biasa, saat dikerubungi dan ditanyai para kru infotainmen, yang beberapa tahun lalu merasa sebagai jurnalis.
Baru keluar dari masa penahanan selama delapan tahun, dia sudah mengesankan dirinya dikhianati orang orang yang dia anggap dekat. Dia seakan-akan teledor karena mempercayai orang lain. "Jadi buat teman-teman hati-hati, berbijaklah. Pokoknya selalu waspada, itu saja."
Kita yang mendengarnya ingin teriak “Bangsaatt!” Kita geram mendengar kalimatnya. Seseorang yang mencabuli orang lain kok merasa dikhianati. Apakah orang yang dicabuli itu harusya pasrah saja terhadap tindakannya, setelah itu merahasiakan perilaku bejat itu?
Namun, demikianlah logika dunia hiburan bekerja. Dunia hiburan kita sejak lama lihai membolak-balik kenyataan. Begitu keluar penjara, dia hadir dengan identitas baru. Orang dekatnya menyapanya Bang Haji. Dia seolah menjalani cobaan yang berat.
“Tapi kan dia pedofil? Kok tampil di media?”tanya seorang netizen. Netizen ini pura-pura tidak tahu kalau media kita akan menampilkan siapapun, sepanjang ada yang nonton. Tidak peduli, apa itu setan atau malaikat, sepanjang ditonton, maka akan memenuhi syarat untuk tampil.
Bisa saja tiap hari media menampilkan aktivis dan pejuang kemanusiaan, juga sosok inspiratif, tapi apakah ada yang nonton?
Saya kenal banyak pejuang lingkungan, pembela masyarakat adat, dan pejuang kemanusiaan. Di Pulau Adonara, saya kenal Maria Loretha, perempuan Dayak yang menanam sorgum dan menyelamatkan pangan warga pulau. Saya mengenal Oday Kadariyah di Bandung yang merawat dan melestarikan tanaman obat. Saya pun kenal Aleta Baun, perempuan perkasa asal Molo di NTT, yang menjaga hak masyarakat adat.
Tapi apakah mereka diundang ke televisi? Pernah, tapi sangat jarang. Sambutan publik juga biasa-biasa. Ratingnya gak tinggi. Mereka tak dilelu-elukan. Respon masyarakat datar saja. Tak ada histeria.
Beda halnya dengan Saipul Jamil. Lihat saja di kanal Yutub. Apapun yang dilakukannya, bisa jadi konten dengan banyak penonton. Bahkan, selama dia dipenjara, banyak tayangan mengenai aktivitasnya.
Biarpun lelaki ini divonis karena kasus pencabulan, sesuatu yang jauh dari ajaran agama, dia selalu tampil di depan kamera dengan atribut agama. Dia memakai peci, baju gamis, dan sering menenteng sajadah. Dia memberi kesan agamis.
Keluar dari penjara, bintangnya malah makin terang. Dia tampil di stasiun televisi dalam program bincang-bincang. Media yang menampilkan wawancaranya itu dulunya media yang idealis. Yang ditampilkan hanyalah tokoh yang benar-benar hebat. Tapi perlahan media itu ditinggalkan penonton.
Yang diinginkan orang-orang adalah penghibur seperti Bang Haji yang rela berjoged seliar apapun, rela melakukan aksi-aksi hiburan yang memukau, setiap saat menampilkan lesung pipi di wajah yang setampan boneka barbie. Media dan publik sama-sama butuh sosok penghibur. Semua lebih suka tontonan.
Media kita sudah lama lebih peduli kulit ketimbang isi. Saipul Jamil lebih laris ketimbang pembela hak masyarakat adat. Sama halnya dengan penceramah penuh lelucon akan lebih populer ketimbang kiai senior yang penuh kharisma.
Marilah kita melihatnya dari sisi lain. Kehadiran Bang Haji Saipul Jamil itu telah membuka banyak hal di sekitar kita. Kehadirannya, juga protes atas dirinya, telah membuka banyak lapis-lapis realitas di sekitar kita.
Pertama, ingatan masyarakat kita sangat pendek. Kasus seorang figur yang sudah divonis bersalah bisa dengan cepat dilupakan. Malah figur yang sama bisa menjadi pahlawan, sepanjang terus dicitrakan tertindas.
Kita bisa lihat banyak orang seperti Saipul Jamil, yang divonis bersalah, setelah itu diangkat lagi derajatnya. Di dunia politik, seorang mantan koruptor, yang pernah divonis penjara oleh institusi negara, bisa saja kembali dipercaya oleh institusi negara lainnya untuk jadi komisaris.
Tengoklah apa yang terjadi dengan Emir Moeis, yang pernah divonis korupsi proyek pembangunan PLTU di Lampung, kini diangkat menjadi komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda. Dia pernah diovis bersalah oleh institusi negara karena menyalahgunakan kepercayaan, kini diangkat menjadi komisaris yang tugasnya mengawasi penyalahgunaan anggaran. Kita bertanya dengan sedih, bagaimana mungkin sapu kotor hendak membersihkan lantai kotor?
Jangankan Saipul Jamil, seorang petinggi militer yang selama beberapa tahun membunuh rakyatnya sendiri hanya karena beda ideologi bisa menjadi pahlawan. Dia bisa dibuatkan museum. Malah dia menjadi sosok terpopuler. Padahal beberapa tahun sebelumnya, namanya dicaci dalam semua demonstrasi, dia pernah dibenci setinggi langit.
Kedua, bangsa kita memang bangsa pemaaf. Di negara lain, selebritis yang terkena kasus seperti Saipul Jamil akan disisihkan dan dijauhi publik. Karier Bill Cosby, komedian yang pernah dijuluki American Dad itu, tamat setelah dirinya terena kasus perkosaan. Media-media dan penyedia konten menjauhinya. Dia pun dijauhi publik.
Di Korea malah lebih tegas lagi. Beberapa selebritis terkenal yang terbukti melakukan pelecehan seksual, kariernya akan tamat. Mereka dijauhi publik. Tak ada lagi yang mengidolakan mereka. Padahal, sebelumnya mereka menjadi idola dan panutan. Di antara mereka, ada nama Kang Ji Hwan, Lee Seo Won, dan Jung Joon Hyung.
Andaikan mereka semua berkarier di Indonesia, produsernya akan meniru langkah Saipul Jamil. Buat acara yang mengesankan dirinya adaah korban. Ambil gambar di mana dia menangis dan memaafkan pelapornya. Tutupi kejahatannya. Angkat sisi humanisnya. Publik akan kembali menerimanya dengan lapang dada.
Masyarakat kita mudah menghukumi sesuatu, tapi mudah pula memaafkan. Masyarakat kita mudah tersentuh dengan air mata seorang figur publik. Air mata itu akan menghilangkan semua ingatan tentang kejahatan seseorang.
Ketiga, kembalinya Saipul Jamil ke panggung iburan menunjukkan kegagalan literasi media yang selama ini digembar-gemborkan banyak aktivis. Gerakan pencerahan dan penyadaran publik tidak maksimal, tidak saling terkoordinasi, serta tidak menyentuh akar rumput.
Lagian, naluri publik akan selalu mencari konten yang menghibur. Di kanal media sosial, publik tetap mencari tayangan yang ngawur, tanpa melihat substansi. Figur seperti Saipul Jamil akan tetap populer, meskipun kampanye menentangnya juga bertubi-tubi.
Ini menjadi PR bersama. Kedepannya, perlu dipikirkan strategi yang lebih canggih agar semua masyarakat bisa memilah mana konten positif, mana konten yang benar. Bukan sekadar mengikuti semua yang dilakukan selebriti.
Di titik ini, Saipul Jamil tetap pede tampil di hadapan publik. Saat tahu petisi penolakan dirinya beredar di media sosial, dia menjawab santai. “Yang namanya gak suka akan selalu ada. Biarin saja mereka ngurusin hidup gue. Lu ngomongin gue, gue bodo amat,” katanya.
Ba…..tt!!!
2 komentar:
Sudut pandang yang berbeda ya pak.
Mantab.
Ulasan yang mencerahkan. Keren, Mas Yusran.
Posting Komentar