Raja Belanda, Willem Alexander berama Presiden Jokowi di depan Istana Bogor, yang dahulu kedialan Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia |
Setiap kali peringatan hari kemerdekaan, kita sering menemukan beragam ekspresi dan makna. Kita sering menemukan umpatan pada para penjajah. Namun bagaimanakah kesan para penjajah, yang sering diumpat itu, terhadap kemerdekaan kita?
Pekan lalu, saya membaca artikel berbahasa Belanda yang dibuat oleh Michel Maas. Judul artikelnya adalah: “Hoe denken de IndonesiĆ«rs over de Nederlanders?”. Terjemahannya adalah “Apa pendapat orang Indonesia tentang Belanda?” (artikelnya bisa dibaca DI SINI)
Dalam artikel itu, koresponden de Volksradt di Asia Tenggara, Michel Maas menganjurkan adanya percakapan antar dua bangsa. Kemerdekaan seakan menjadi awal dari hilangnya dialog dan percakapan. Padahal kengerian dan trauma bukan hanya milik orang Indonesia. Orang Belanda pun banyak yang masih terkenang-kenang masa itu. Banyak di antara mereka yang masih trauma.
Berkat artikel itu, saya bisa melihat peristiwa itu dari sudut pandang yang lain. Bukan semata apa yang tertulis dalam sejarah kita, serta retorika para pejabat. Tapi perlu memahaminya dari sisi yang lain.
Di antara beberapa fakta yang dikemukakan Michel Mass, saya tertarik dengan penuturannya tentang apa yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Bagi orang Indonesia, di tanggal itu terjadi proklamasi kemerdekaan. Semua peperangan setelah proklamasi adalah upaya untuk mempertahankan kemerdekaan yang direbut dengan susah payah.
Belanda tidak mengakui Proklamasi itu. Dalam versi Belanda, untaian negeri yang dinamakan Indonesia itu masih dalam tanggung jawab mereka. Ketika proklamasi terjadi, banyak laskar sipil yang berdalih mempertahankan kemerdekaan, tapi menggelar teror di sana-sini. Belanda berkewajiban untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.
Sejak 17 Agustus 1945, orang Indonesia dan orang Belanda saling membelakangi. Orang Belanda sering menengok ke belakang, orang Indonesia melihat ke depan. Padahal, selama ratusan tahun Belanda di tanah ini, selalu terjadi kolaborasi dan interaksi.
Ada perang, tetapi banyak juga kerja sama. Bahkan generasi Sukarno yang membebaskan Indonesia adalah alumni sekolah-sekolah bikinan Belanda, di mana banyak guru-gurunya simpati pada perjuangan.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia jatuh pada 27 Desember 1949, saat Ratu Yuliana menyerahkan kedaulatan kepada Muhammad Hatta, utusan Indonesia. Belanda menyebut peristiwa ini sebagai “The Transfer.” Ratu Yuliana berdialog dengan Hatta dalam bahasa Belanda.
Kata Michel Mass, klaim Belanda itu sangat menggelikan. Itu sama halnya dengan Inggris yang tidak mengakui kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776, sebab sesudahnya, terjadi pertempuran antara Amerika dan Inggris dalam waktu yang cukup panjang.
Pernah, Menteri Both, seorang pejabat Belanda, datang ke Jakarta pada tahun 2005 dan menghadiri acara kemerdekaan. Dia ditanya: “Apakah Belanda mengakui 17 Agustus atau tidak?' Dia menjawab: "De facto ya, tapi tidak de jure."
Selama empat tahun, sejak proklamasi, orang Indonesia terus berjuang. Mereka yang gugur disebut tewas dalam upaya jihad melawan asing. Belanda menjadi pecundang. Banyak prajuritnya yang menyesal disuruh datang pada saat Agresi Militer.
Orang Indonesia menyebut operasi yang dilakukan Belanda sebagai Agresi Militer. Tapi orang Belanda menganggap tindakannya sebagai Aksi Polisionil untuk mengamankan ketertiban.
Namun, ada trauma pada tindakan segelintir orang Belanda di masa itu. Di antaranya adalah Kapten Raymond Westerling. Pria yang sering disebut Turki ini menegakkan keamanan dengan cara membunuh satu per satu setiap warga yang diduga hendak memobilisasi perlawanan.
Tapi, di kalangan orang Belanda, Westerling tidak selalu diterima. Malah Westerling disingkirkan oleh orang Belanda sendiri karena tindakannya dianggap mendatangkan kengerian. Meskipun ada juga orang Belanda yang mendukung Westerling karena tindakannya meredakan teror di mana-mana.
Masa setelah Proklamasi disebut Belanda sebagai “Masa Bersiap.” Ini tidak ada dalam kamus sejarah Indonesia. Belanda menggunakan istilah itu untuk menggambarkan gelombang kekerasan yang meletus tak lama setelah Proklamasi kemerdekaan.
Di masa bersiap, propaganda demi propaganda terus terjadi. Para pemoeda (pejuang muda) memburu siapa saja yang orang Belanda atau yang berhubungan dengan Belanda. Dalam hitungan bulan, mereka membunuh antara 20 dan 35 ribu pria, wanita, orang tua, dan anak-anak.
Dalam buku Gangsters and Revolutionaries, sejarawan Robert Cribb berkata, pada masa revolusi, bukan hanya para nasionalis dan pemimpin pergerakan yang eksis, tapi juga para jagoan, para bandit, dan mereka yang menguasai dunia hitam. Mereka mengatasnamakan dirinya sebagai laskar yang berbaju seperti pejuang, kemudian menebar teror di mana-mana.
Beberapa kelompok memakai atribut agama, lalu mengatasnamakan jihad, untuk menebar teror sana-sini. Ada yang mengatasnamakan dirinya Lasykar Ubel Ubel. Lasykar artinya tentara dan ubel-ubel adalah sorban yang dipakai jamaah haji di Mekkah.
Mereka menyatroni kantor-kantor dan gedung-gedung milik perusahaan Eropa dan Belanda. Atas nama kemerdekaan, mereka membunuh banyak orang dan mencaplok berbagai gedung, menjarah banyak barang, kemudian menuliskan grafiti “milik repoeblik.”
Mereka membunuh banyak pegawai kantor pemerintah kolonial, yang saat itu mayoritas adalah orang Indonesia sendiri. Robert Cribb mencatat kesaksian seorang saksi sejarah tentang betapa sulitnya mendapatkan air minum di Klender karena banyak sumur tersumbat mayat orang Cina yang jadi korban pembantaian.
Bagi orang Eropa, bulan-bulan terakhir tahun 1945 adalah masa perampokan, perampasan, penculikan, dan pembunuhan acak di jalanan. Banyak orang Eropa yang menghilang, tiba-tiba ditemukan mengambang di kanal di tengah kota.
Di banyak daerah, situasinya lebih kelam lagi. Di Kranji, orang Eropa yang bekerja sebagai mandor perkebunan swasta dibunuh. Istrinya lalu diperkosa. Di Karawang, seorang jagoan menduduki kantor bupati dan menyatakan dirinya sebagai bupati. Gangster lain mengambil alih semua perkebunan swasta dan menyatakan miliknya. Di Tangerang, pembantaian pada tuan tanah dan petani Cina terjadi.
Cribb mengatakan, para pembunuh ini tidak punya agenda politik. Mereka adalah kaum oportunis yang memanfaatkan situasi politik saat Jepang sedang lemah, dan munculnya klaim kemerdekaan dari para pemimpin republik.
Sayangnya, di masa kini, kita membaca sejarah versi Indonesia dan menyebut mereka sebagai pejuang yang hendak membebaskan bangsa. Padahal, dalam catatan Cribb tidak semua berniat untuk berjuang. Banyak yang memanfaatkan situasi.
Mungkin Anda beranggapan bahwa tindakan kekerasan adalah hal yang lumrah dalam satu revolusi. Jika demikian, maka Anda sama saja dengan para kolonialis itu. Anda juga menghalalkan segala cara untuk membunuh yang lain, sebagaimana para kompeni yang datang menjarah di sini.
Yang membedakan antara Anda dan mereka hanyalah kekuasaan.
Kini, 76 tahun setelah Proklamasi dibacakan, banyak orang Belanda masih mengenang Indonesia sebagai tanah yang dahulu pernah mereka diami. Hati mereka masih hangat saat mendengar ada banyak kosa kata bahasa Belanda yang menjadi bahasa Indonesia.
Banyak di antara mereka yang coba menelusuri ingatan lama tentang Indonesia. Mereka datang mendatangi tempat-tempat, lokasi, hingga kota-kota. Mereka mengenang Indonesia hingga menitikkan air mata.
Saat pemutaran film The East, banyak generasi baru di Belanda, yang terkejut menyaksikan tindakan nenek moyangnya. Mereka tidak menyangka kalau kekerasan bisa dilakukan dengan begitu kejam pada warga pribumi.
Saya menduga, mereka juga tidak membaca banyak catatan, kalau pribumi pun melakukan itu pada mereka. Pada masa itu, dua kubu saling bertempur.
Satu merasa memiliki tanah ini dan ingin mempertahankannya. Satu lagi tak sabar untuk segera merdeka, lalu mengusir, membunuh, mencaplok, dan menyingkirkan yang lain. Dua kubu itu tak mau berdialog. Saling bertolak punggung.
Michel Mass menggambarkan dengan getir tentang orang Belanda yang datang di hari kemerdekaan. Dia mendatangi pemakaman Belanda yang terletak di Menteng Pulo. Dia melihat ada nisan tiga anak dari Van Slooten, yang berusia 7, 8, dan 10 tahun. Mereka dimakamkan dalam satu lubang.
Mereka tewas akibat kekerasan yang dilakukan bangsa Indonesia, sebagaimana banyak orang Indonesia lain yang juga tewas pada masa itu. Dan kita yang hidup di masa kini seakan terpenjara oleh masa lalu. Kita masih memelihara kebencian atas sesuatu yang kita ketahui sepenggal.
Kita pun merasa paling benar.
3 komentar:
Wah, pandangan yg menarik.
Sudut pandang yang sejajar
Saat ada waktu luang atau sambil menunggu sesuatu, aku akan buka blogm7 ini bang Yus..kunikmati ilmu yg mengalit di tiap alinea, sangat mencerahkan otaku Dan keingintahuan jiwaku akan sesuatu yang lain dari sudut pandangnya teruslah nulis ya bang bagus kali lho.
Posting Komentar