OMNI yang Ketinggalan BUS

memotret buruh dalam satu kegiatan di Bali


Mulai dari mahasiswa, buruh, pengusaha, anggota dewan, menteri, hingga presiden, semuanya punya kontribusi pada meledaknya aksi sosial di tengah pandemi. Semua memegang sekeping puzzle yang hilang dalam dunia sosial kita hari ini. 

Sekian tahun republik ini berdiri, kita semua lebih sibuk memikirkan uang masuk dan semua target ekonomi, ketimbang berbicara dari hati ke hati. Kita lebih memikirkan Indonesia emas, tanpa mendengarkan anak bangsa. Kita ingin garuda segera melesat ke angkasa, lalu meninggalkan anak bangsa yang menumbuhkan bulu-bulunya.

Kita semua punya peran dalam pecahnya kotak pandora kebangsaan kita hari ini. Kita bisa membuat listing satu per satu demi mencatat apa yang sedang terjadi.

Pemerintah. Pemimpin pemerintahan, dalam hal ini Presiden, punya obsesi tentang pertumbuhan. Indonesia kini menjadi negeri yang punya GDP tertinggi di Asia Tenggara. Bahkan di Asia, kita masuk lima besar. Presiden kita ingin melesat lebih tinggi. 

Dia membuka keran investasi seluas-luasnya. Hal-hal yang menghambat segera dilibas. Pemimpin yang tumbuh dari rakyat ini mengabaikan banyak anak bangsanya. Dia lupa dengan masyarakat adat, buruh kecil yang kerja sehari dengan upah habis sehari, nelayan kecil yang kalah melawan korporasi perikanan, hingga lingkungan yang harusnya disisakan untuk menyuplai oksigen. 

Parlemen. Kita memilih mereka untuk menjadi pengimbang opini pemerintah kita. Kita ingin mereka punya taring. Namun mereka telah mengubah taring menjadi stempel. Apa yang datang, langsung distempel sebagai tanda persetujuan. Mereka hanya berkata “Yes Man” pada semua kebijakan yang disodorkan.

Heran, banyak di antara mereka malah cuci tangan. Di media sosial, berkoar-koar menolak. Tapi di sidang paripurna, mereka menjadi pendiam. Mereka lebih takut pada ketua partai ketimbang sorot mata orang biasa di daerah pemilihannya.

Kita rindu parlemen yang turun ke bawah, menelusuri lorong-lorong kehidupan masyarakat, lalu mendengar dan berdialog. Kita ingin mereka yang bersuara, bukan mereka yang menunggu arahan pemimpin partai.

Pengusaha. Bahkan pengusaha kita pun setali tiga uang. Pengusaha kita hanya sibuk mengejar rente dan remah-remah APBN. Pengusaha kita merasa minder jualan roti atau abon. Mereka menunggu proyek melalui kongkalikong dengan pemerintah.

Hanya di negeri ini, suara pengusaha lebih didengar ketimbang orang miskin. Para pengusaha kita berbondong-bondong memasuki parlemen. Mereka datang untuk menjadi calo anggaran, lalu membuat kebijakan, yang segera diikuti proposal atau rencana bisnis. 

BACA: Di Rimba Digital, Kita Adu Taktik!


Buruh. Ribuan buruh kita bekerja dengan kinerja pas-pasan, dengan gaji yang juga pas-pasan. Buruh kita lebih suka berdemonstrasi dan ikut arahan serikat organisasi ketimbang mengasah skill dan meningkatkan kapasitas. 

Buruh kita hanya mengenang masa indah ketika dahulu ada partai politik yang membela hak mereka lalu diberangus oleh negara. Hari ini buruh serupa kerbau yang bisa dicucuk hidungnya dan ikut ke mana pun apa kata serikat buruh. 

Tiba musim pemilu, dengan entengnya para buruh akan memilih sosok itu-itu saja, yang selama ini tidak memihak mereka. Tawar-menawar harga pas tancap gas.

Mahasiswa. Generasi mahasiswa hari ini adalah generasi tik tok yang rajin mengikuti trending topic. Saat demonstrasi jadi trending, mereka akan turun ke jalan-jalan. Namun, gerak mereka ibarat “panas-panas tai ayam.” Mereka serupa timnas PSSI yang hanya kuat berlari selama satu babak. Babak berikutnya, stamina kendor.

Lihat saja, demonstrasi mahasiswa saat menolak revisi UU KPK. Saya pikir itu akan jadi air bah yang tak berhenti, apalagi ada dua mahasiswa menjadi korban. Ternyata, stamina mereka tak panjang. Mereka hanya beberapa hari demo, setelah itu kembali ke kampus, dan tak pernah turun ke jalan lagi.  “Sekali berarti, sudah itu mati.”


Social Justice Warrior (SJW). Kita membutuhkan suara-suara kritis. Pemerintahan ini harus dihardik untuk mendengar suara publik. Kita membutuhkan para warrior yang bisa bersuara nyaring dan mengingatkan semua pihak jika ada yang salah.

Namun sering kali, SJW hanya menjadi label dari ketidaksukaan pada rezim. Banyak yang menunggu momen-momen ini untuk merayakan kebencian. Banyak SJW adalah versi KW. Banyak yang setiap hari menikmati kenyamanan di rumah mewah dan menerima dana asing, lalu sibuk memprovokasi sana-sini.

Ketika ada korban meninggal, mereka hanya menyampaikan duka lalu kembali berteriak panjang umur perlawanan. Mereka melakukannya dari rumah nyaman, atau dari ruang ber-AC di satu kampus mewah, atau dari kafe dekat pantai. Pejuang garis depan adalah kayu bakar bagi mereka. Saat rezim tumbang, mereka yang panen. Mereka mengklaim telah lama menanam benih.

***

Kita sedang menyaksikan ledakan dari endapan sosial yang lama tertahan. Dari barisan mereka yang turun ke jalan itu, tentunya ada yang paham mengapa harus turun ke jalan. Suara-suara mereka harus didengarkan.

Hari-hari belakangan ini kita sedang menyaksikan tipisnya telinga pemerintah dalam mendengar suara publik. Memang, dalam proses penyusunan Undang-Undang, ada tahapan berdiskusi dan berdialog dengan banyak pihak. 

Jika publik tetap tak paham, maka pemerintah tidak boleh meninggalkannya. Jadilah seorang guru yang sabar dalam membimbing muridnya. Sesekali murid bandel tentu bisa dimaklumi. Tugas guru adalah memberikan arahan dan juga jalan terang, dengan bahasa yang paling dipahami oleh muridnya.

memotret buruh di Bali

Yang terasa hilang dari kita adalah kebiasaan berdialog dan duduk bersama. Padahal itu ada dalam budaya kita. Orang Makassar mengenal tudang sipulung. Orang Minang mengenal tradisi basilang kata. Pendiri negeri kita punya istilah musyawarah.

Dalam situasi krisis, kita seyogyanya duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati. Tentunya, syaratnya adalah semua pihak harus terbuka menerima semua kelebihan dan kekurangan setiap argumentasi. Pemerintah harus turun ke bawah, mendengar semua masukan, lalu mengajak semua orang untuk selalu dalam barisan yang sama menuju cita-cita kebangsaan.

Omnibus Law bermakna bus besar yang mengangkut semua. Omni bermakna semua. Tapi hari ini, tak semua orang merasa terangkut bus itu. Harusnya, prosesnya pun tetap memasukkan semua anak bangsa dalam bus besar itu. Bukan malah meninggalkan banyak pihak. 

Tugas kesejarahan kita adalah bagaimana menghapus lara di wajah Ibu Pertiwi dan menghadirkan senyum saat melihat anak-anaknya memakmurkan bumi, sebagaimana dicatat indah dalam syair ini:

“Kini ibu sedang lara

Merintih dan berdoa

Menjaga harta pusaka

Untuk nusa dan bangsa”



8 komentar:

Bang Asa mengatakan...

Menyimak dgn saksama, dinda

Profesor Ndeso mengatakan...

Merdeka!!!

Anonim mengatakan...

Tetap mencerahkan. Great.

Al butuny mengatakan...

Keren Ode

Al butuny mengatakan...

Keren Ode

Unknown mengatakan...

Saya selalu merasa terbaharaui jika membaca tulisan kakanda ini, terus merawat pengetahuan kanda HMI Maktim

Tsaqafah mengatakan...

haha, bus ketinggalan omni

Tsaqafah

Animblo mengatakan...

mantap sekali

animblo

Posting Komentar