Mengapa DI's Way?




Di akhir pekan, saya berjumpa dengan beberapa jurnalis senior di Jakarta. Saya sangat menikmati topik-topik yang dibahas. Mulai dari politisi hingga beberapa selebriti. Hingga akhirnya, kami tiba pada topik menarik itu. Mengenai Dahlan Iskan (DI).

Kisah tentang kehebatan DI hingga menjadi raja media amat sering saya dengar. Namun, saya terkejut saat senior itu bercerita tentang nasib media besar yang didirikan DI di Surabaya kini terancam kolaps.

Tak hanya itu, DI mempercepat kolapsnya media besar itu dengan membuat harian DI’s Way. Hah?

“Kawan-kawan menyebut sedang ada Perang Barathayudha di sana. Harian DI’s Way yang didirikan DI itu hanya akan mempercepat prosesnya,” kata kawan senior itu.

Kawan itu lalu mengurai argumentasi. Media yang didirikan DI itu memamg menjadi sebesar kerajaan, namun tidak mewariskan sistem permainan kolektif. Banyak pengiklan besar, khususnya kalangan pebisnis Tionghoa yang loyal hanya kepada DI, bukan pada media. Di industri media, iklan adalah darah yang menjaga sirkulasi semua proses.

“Kita kan tahu, kalau nama2 seperti Hermawan Kertajaya hingga Tung Desem Waringin dahulu dibesarkan oleh DI,” katanya. Dia benar. Saya menyimak.

Ketika DI’s Way berdiri, maka kue iklan dari pengusaha besar itu akan pindah. DI adalah jaminan mutu. Dia adalah ikon yang tahu cara paling cepat menarik pembaca sebanyak-banyaknya, termasuk pengiklan baru.

Tapi, bukankah bisnis koran itu sudah jadul saat gempuran online terjadi terus-menerus?

Rupanya DI terus memikirkan itu saat pandemi Covid. Dia akhirnya menemukan cara agar informasi di media itu tidak akan bisa disedot oleh Google dan Facebook. Bersama timnya, dia menemukan cara agar konten tidak beredar di Google.

Dengan cara itu, konten bisa orisinil. Pembaca, yang sudah jatuh cinta dengan gaya DI, tidak punya pilihan selain membeli medianya. Saya belum tahu bagaimana teknisnya. Tapi, saya anggap idenya bagus. Jika konten ingin eksklusif, maka jauhkan dari jangkauan Google.

Bisnis media memang harus lebih kreatif menghadapi pembaca yang beralih ke smartphone. Di luar negeri, media tidak lagi hidup dari sponsor. Ada media yang meminta pembacanya untuk memberikan donasi jika ingin membaca karya jurnalistik berkualitas yang lahir dari tradisi verifikasi serra liputan mendalam.

Saya rasa, jurnalisme harus diselamatkan. Biar kita tidak selalu tersesat dalam rimba raya pertarungan para buzzer politik dan influencer. Insiatif DI pantas dicoba. Apalagi, DI bilang, dia ingin berterimakasih pada tradisi jurnalistik dan mempertahankannya, meskipun dia tahu itu tidak mudah.

Cuma, saya agak ragu mengingat usianya yang sudah 70 tahun. Saya bayangkan, dia tidak segesit dahulu dalam membaca trend. Namun, dia punya pengalaman membesarkan sesuatu hingga menjadi kerajaan bisnis. Pengalamannya mahal.

Saya menyukai pertemuan kemarin. Saya malah baru tahu kalau DI sudah meninggalkan media itu beberapa tahun terakhir. Pantasan, dia menjadi blogger yang rutin menulis setiap hari, jam 4 subuh. Dia punya stamina khas jurnalis yang sanggup menata kata setiap hari.

Saya pembaca setia DI’s Way. Temanya beragam. Saya sering terganggu dengan gaya menulis DI yang agak “berantakan.” Kalimatnya sering tidak terstruktur. Tapi, gaya seperti itu justru bisa menentang arus.

Kemampuan berkomunikasinya selevel dewa. DI mengubah hal yang serius menjadi ringan, sehingga bisa dipahami siapa pun, termasuk mereka yang tidak pernah sekolah. DI adalah maestro yang bisa menggaet pembaca baru untuk menjadi fansnya. Tulisannya potensial jadi viral dan dibagikan di mana-mana.

DI adalah ikon. Dia sekaligus monumen. Dia seorang penulis hebat, juga pebisnis hebat. “Goenawan Mohammad (GM) memang piawai dalam menulis, tapi tidak punya talenta sehebat DI dalam bisnis,” kata kawan senior ini.

Saya melihat senja di ufuk sana. Di balik awan jingga itu, ada matahari yang akan terus bersinar.


0 komentar:

Posting Komentar