Mungkinkah Paman Sam Menggempur Naga?




LAPORAN itu akhirnya tiba di tangan Presiden Cina, Xi Jinping. Laporan dibuat oleh Kementerian Pertahanan Cina. Isinya adalah analisis mengenai sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang selalu menuduh Cina sebagai biang dari banyaknya korban akibat virus Covid-19 di negara itu.

Laporan itu juga menyebutkan kian naiknya sentimen anti-Cina yang mencapai titik puncak sejak tragedi di Lapangan Tiananmen di tahun 1989. Di banyak negara, terdapat kebencian pada Cina yang sengaja direkayasa. Laporan itu meminta Xi Jinping untuk bersiap menghadapi semua risiko yang bisa saja terjadi.

Wabah Covid-19 memang membawa banyak dampak. Kekuatan satu negara bukan hanya militer dan arsenal nuklir, tetapi juga pada efektivitas dan kontrol negara yang kuat pada warganya, juga pada seberapa kuat benteng sistem kesehatan menjadi payung bagi warganya.

Dunia pasca-covid akan ditandai beberapa hal penting. Di antaranya adalah makin kuatnya kerinduan untuk melihat big government, negara serupa gajah dengan belalai panjang hingga mengendalikan semua warganya. Negara-negara akan membentuk menara pengawas ala panopticon-nya filsuf Michel Foucault demi mengawasi rakyat secara ketat melalui big data dan kecerdasan buatan.


Di sisi lain, kita juga melihat menguatnya sentimen nasionalisme. Negara-negara akan berpacu untuk memenuhi kebutuhannya dulu, baru berpikir pasar global. Lihat saja betapa banyak negara saling sikut demi mendapatkan alat rapid test dan alat pelindung diri (APD) yang disediakan Cina dan Korea. 

Pasca-Covid, nasionalisme akan menjadi pagar yang membatasi pergaulan antar negara. Masing-masing negara akan lebih memikirkan kebutuhan dalam negerinya. Dalam waktu dekat, kita akan melihat hal yang sama untuk pangan dan berbagai komoditas lainnya. Bagi negara seperti Indonesia, mau tak mau harus impor. Sekian tahun kita merdeka, bahkan rapid test dan APD pun kita belum mampu memproduksinya sendiri.

Kita pun melihat tatanan internasional baru pasca-covid. Di depan mata, kita akan menyaksikan bangkitnya perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat dan Cina. Presiden Amerika Serikat Donald Trump belakangan banyak melontarkan tudingan kepada Cina sebagai biang dari virus yang telah menewaskan lebih 110 ribu warga Amerika. 

Dahulu, perang dingin terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun sebagaimana dicatat beberapa pemikir, hubungan itu tak setara. Uni Soviet adalah negara yang nyaris bangkrut. Ekonominya terus memburuk. Sementara Cina sekarang punya posisi yang lebih kuat dari Soviet. Cina menjadi kekuatan dunia dan membentuk barisannya sendiri.

Dunia akan kembali menjadi bipolar. Amerika dengan barisan dan cheer leader-nya. Sementara Cina juga telah membentuk aliansi sendiri, dalam proyek yang disebutnya One  Belt and One Road Initiative (OBOR). Dunia akan menjadi dua kubu besar, yakni pengikut Amerika, dan satunya adalah pengikut Cina.

Saat ini, kondisi Amerika Serikat laksana petinju yang dihantam dengan tiga pukulan telak: (1) serangan virus Covid yang telah menewaskan lebih 110 ribu warganya, (2) pukulan ekonomi yang porak-poranda serta naiknya angka pengangguran, (3) isu rasisme setelah tewasnya George Floyd yang memicu rusuh dan demonstrasi di mana-mana.

Namun, segala kemungkinan bisa terjadi. Amerika kini dipimpin oleh Donald Trump yang kalimat di media sosial bisa membelah warga Amerika. Di tambah lagi, November nanti adalah pemilihan presiden. Jika Trump ingin menaikkan kembali pamornya, maka dia harus menciptakan musuh bersama. Dia mulai mengeluarkan retorika untuk menghukum Cina. Mungkinkah perang dunia ketiga akan terjadi?

*** 

Saya membaca artikel catatan sejarawan terkemuka Yuval Noah Harari dalam buku 21 Lesson for 21st Century.  Sejarawan Israel yang bukunya dibahas di seluruh dunia ini juga menjelaskan tentang perang. 

Dulu, negara-negara atau kerajaan kuat bisa memiliki wilayah luas karena perang dan penaklukan. Setiap jengkal wilayahnya didapatkan dari peperangan. Mereka menguasai semua sumber ekonomi, juga menjadikan masyarakat lain sebagai budak. 

Tapi di abad ke-21, perang bukan lagi jalan yang dipilih oleh negara-negara besar. Merela akan menghindari perang. Mengapa?

Pertama, adanya perubahan sifat ekonomi. Dulu, aset ekonomi adalah material sehingga perang bertujuan untuk mempermudah penaklukan dan penguasaan. Pihak yang menang akan leluasa mencaplok semua kekayaan pihak yang kalah, mulai dari ladang gandum, ladang minyak, lumbung pangan, hingga cadangan emas.

Pada zaman dulu, pemenang perang akan merampas semua harta, aset material, serta menjual penduduk sipil sebagai budak. Perang membuat satu bangsa bisa kaya raya melalui pencaplokan.


Sekarang, hal seperti itu tidak mungkin dilakukan. Aset ekonomi hari ini bukan lagi material, melainkan pengetahuan. Kita bisa mencaplok wilayah, tapi tidak bisa menguasai sumber-sumber pengetahuan. 

Anda bisa mencaplok Google, tapi yang Anda dapatkan hanya kantor dan semua peralatan kerja. Kekuatan Google bukan di situ, melainkan pada pengetahuan, penguasaan teknologi, kerja sama kolektif dan berjejaring, kemampuan mencipta hal baru, kepandaian bisnis, hingga ekosistem kerja yang menjadikannya sebagai perusahaan hebat.

Kedua, perang bukanlah hal yang secara bisnis menguntungkan. Perubahan sifat ekonomi ini hanya membuat perang menjadi sia-sia belaka. Tak akan banyak kentungan yang didapat, sebab kerugian akan lebih besar. Mengingat hal ini, negara-negara besar akan saling menahan diri dan menghindari perang.

Iran sama sekali tidak mendapat keuntungan signifikan dengan perang Iran-Irak. Dulu, Jepang mengira bahwa invasi Korea, Manchuria, hingga Cina daratan akan membuat ekonominya melejit. Jepang mengira, tanpa invasi, ekonominya akan makin hancur. Ternyata, justru invasi itu yang membuat ekonominya makin terpuruk dan luluh-lantak.

Perang itu membuat mereka bangkrut dan kehilangan ratusan ribu jiwa, khususnya ketika bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Ajaibnya, ekonomi Jepang malah bangkit setelah kalah perang. Negeri itu bisa membangkitkan hasrat dan motivasi kuat dalam hal ekonomi. Mereka ingin membayar lunas semua rasa malu atas kekalahan itu dengan kegemilangan ekonomi. Mereka berhasil.

Hari ini kita melihat Cina dengan kekuatan ekonomi yang sangat hebat dan menjadi pesaing Amerika. Tapi Amerika akan berpikir seribu kali untuk menyerang Cina. Kalkulasi biaya perang akan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapatkan. 

Ekonom peraih nobel, Joseph Stiglitz bersama Linda J Bilmes menulis buku The Three Trillion Dollar War di tahun 2008. Mereka menghitung secara rinci-statistik, biaya yang harus dikeluarkan Amerika untuk Perang Irak. Biaya perang dan rentetan akibatnya yang harus dipikul Amerika, belum Inggris, Italia, dan lain-lain, tidak kurang dari tiga triliun dolar, sebuah angka yang teramat dahsyat dan tidak diperkirakan semula akan setinggi itu. 

Dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi dunia, menurut Stiglitz, akan menelan biaya dua kali lipat: enam triliun dolar. Bahkan, sampai tahun 2017, pengeluaran pemerintah federal Amerika akan bergerak antara 3,5 triliun dolar AS dan 4,5 triliun dolar AS. Angka-angka ini sering disebut Bernie Sandres, kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat yang berhaluan sosialis. Sayang, dia mundur dari arena.

Di abad ini, senjata-senjata punya kemampuan merusak yang sangat hebat. Ledakan nuklir bisa membuat satu negara lenyap. Tapi jika dihitung dari sisi keuntungan ekonomi, maka tak banyak yang bisa diraup. Kata Harari, sejak bom atom jatuh di Hirshima dan Nagasaki, kita nyaris tak pernah lagi mendengar ada negara yang dijatuhi bom atom. 

Perang akan berhasil membangkitkan ekonomi apabila pemenangnya bisa memiliki kendali atas perdagangan global yang sedang berlangsung. Itu dialami Inggris ketika mengalahkan Napoleon. Juga dirasakan Amerika Serikat ketika berhasil menjatuhkan Hitler.  Tapi di abad ke-21, kita tidak akan melihat hal seperti itu lagi.


Ketiga, perang yang paling berbahaya bukan lagi perang berhadap-hadapan dengan senjata canggih yang punya daya rusak hebat. Bukan lagi seperti perang yang dilihat dalam film Rambo. Perang yang lebih menakutkan adalah perang siber. Makanya, negara-negara maju akan memilih untuk tidak terlibat perang mengingat dampak perang siber yang sangat besar.

Di era George W Bush, Amerika Serikat bisa dengan mudahnya menjatuhkan bom di Fallujah, Irak, sebab meyakini Irak tidak akan memberikan perlawanan yang sama pada kota-kota di Amerika seperti New York dan San Francisco. Demikian pula Rusia begitu pede saat menganeksasi Krimea, sebab militer Ukraina sengaja tidak memberikan perlawanan.

Namun dalam perang siber, Amerika akan sangat berhitung siapa yang dihadapi. Dia tidak akan berani menghadapi negara dengan kemampuan siber dan IT yang tangguh. Amerika berani berperang di Irak dan Afganistan, namun akan berhitung seribu kali jika menghadapi negara yang punya infrastruktur teknologi.

Mengapa? Sebab dalam perang siber, seorang remaja di Cina bisa saja merancang sistem informasi agar kereta saling tubruk di Boston dan New York. Bisa saja seorang anak muda di sudut Asia membuat pesawat-pesawat yang ada di Bandara John F Kennedy saling bertabrakan di udara. Semuanya bisa dimungkinkan sebab manusia amat tergantung pada kendali dunia digital. Sekali kenop ditekan, maka sistem bisa menghancurkan diri sendiri.

Mengacu pada pendapat Harari, kita tidak akan menyaksikan perang antar Amerika dan Cina. Itu bisa terjadi, jika Amerika melanggar batasan yang dibuat pemerintah Cina. Saat ini, Cina punya kepentingan di Hong Kong, Taiwan, dan Laut Cina Selatan. Jika Amerika mengusik salah satunya, perang besar bisa terjadi.

***

Meskipun semua analis menyatakan tidak mungkin, perang fisik bisa saja terjadi. Kita tak boleh mengabaikan kemungkinan itu. Sebab sejarah menunjukkan bahwa faktor terpenting yang menyebabkan perang adalah kebodohan manusia.

Beberapa pemimpin dan jenderal melihat dunia seperti permainan catur, di mana ada gengsi dan harga diri. Mereka sesukanya menggerakkan pion, meskipun disebut telah melakukan kalkulasi matang. Mereka bisa mengabaikan banyak hal, termasuk bagaimana ekonomi satu negara, serta orang-orang biasa yang akan menjadi korban dari gerakan pion itu.



Lantas di mana posisi Indonesia? 

Setiap ada konflik besar, perubahan besar selalu terjadi di negeri ini. Perang Dunia II terjadi, Indonesia merdeka. Saat konflik kembali terjadi, Sukarno menjadi pemain utama di panggung internasional ketika menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung yang sukses mempersatukan negara-negara dunia ketiga. Di tahun 1965, saat terjadi perang dingin, Suharto naik ke tampuk kekuasaan setelah menyingkirkan Sukarno yang tidak diinginkan Amerika. 

Jika konflik negara besar kembali terjadi pasca-covid, apa yang akan terjadi di Indonesia? Jika boleh menebak, pihak yang paling diuntungkan adalah pihak yang bisa bersekutu dengan pemenang di panggung internasional. Tapi, siapa yang jadi pemenang? 

Kita belum tahu. Tapi kita akan segera tahu. Kita akan segera menjadi saksi sejarah.


1 komentar:

Admin mengatakan...

Jika anda tertarik atau ingin menjadi web developer, anda dapat mengunjungi blog yang saya buat :)
Web Developer Tangerang

Posting Komentar