Universitas yang paling sulit ditembus di Amerika Serikat, bukanlah Harvard. Bukan pula MIT. Melainkan Akademi Militer West Point. Kampus itu hanya menerima siswa yang paling tinggi skor kecerdasan dan juga paling bugar jasmaninya. Kampus itu adalah cikal bakal para jenderal dan petinggi militer.
Setiap tahun, terdapat puluhan ribu para juara dan atlet di SMA yang melamar di kampus ini. Hanya 4.000 orang yang akan lolos ke fase selanjutnya. Melalui seleksi yang ketat, hanya ada 1.200 orang yang akan diterima menjadi taruna. Mereka adalah pelamar paling cerdas, paling berbakat, dan paling kuat.
Namun setelah kuliah berjalan, banyak taruna akan putus sekolah. Yang mengejutkan, kebanyakan dari mereka akan mundur setelah menjalani pelatihan intensif selama tujuh minggu bernama Beast Barracks. Apakah gerangan?
Beast Barracks digambarkan sebagai latihan paling keras secara fisik dan emosional. Pelatihan ini dirancang agar seorang taruna mengeluarkan semua kemampuannya, baik secara fisik dan mental. Pelatihan ini digambarkan sama mengerikannya dengan pelatihan Green Berets bagi anggota pasukan khusus Angkatan Darat Amerika Serikat.
Yang menarik, mereka yang lolos melalui Beast Barrcks bukanlah mereka yang terbaik, bukan mereka yang punya skor kecerdasan dan fisik tinggi. Mereka yang lolos adalah kalangan biasa-biasa, tetapi sanggup menghadapi tantangan yang besar. Mengapa?
Psikolog Prof Angela Duckworth melakukan riset di West Point. Dia juga mengamati peserta lomba National Spelling Bee, kartunis New Yorker, dan tim American Football. Dia menemukan kesimpulan menarik.
Kejeniusan dan bakat bukanlah tolok ukur sukses. Menurut hipotesa Duckworth, orang yang bersemangat dan tekun cenderung lebih sukses dibanding orang lain yang mempunyai potensi alami (jenius) namun tidak mengiringinya dengan ketekunan.
Duckworth menyebutnya GRIT. Grit adalah istilah untuk semangat dan ketekunan yang dimiliki oleh seseorang ketika tengah melakukan sesuatu. Bahkan Duckworth membuat Grit Scale, yang menunjukkan seberapa tekun dan tabah seseorang.
Saya tak terkejut dengan penjelasan Duckworth. Ketika pertama meniti karier sebagai jurnalis, seorang jurnalis senior berkata, di dunia jurnalisik, sekadar bakat dan kecerdasan tidak cukup. Mereka yang menjadi top dan terbaik adalah mereka yang punya daya tahan dan ketekunan menjalani profesi itu.
Kata Duckworth: “Apa pun bidangnya, orang-orang yang sangat sukses memiliki semacam tekad kuat yang terwujud dengan dua cara. Pertama, para panutan ini luar biasa tegar dan kerja keras. Kedua, mereka tahu secara sangat mendalam apa yang mereka inginkan. Mereka tidak saja memiliki tekad kuat, mereka juga memiliki arah.”
Penjelasan ini ibarat kepingan puzzle dari apa yang saya baca di buku Barking Up the Wrong Tree. Seusai membaca buku itu, saya ingat seorang kawan kecil yang di masa sekolah bisa disebut siswa gagal, bahkan hanya lulus sekolah menengah, tapi kini menjadi sosok miliader. Dia jauh melampaui kami semua yang sekolah tinggi.
Selama ini kita hanya fokus pada kecerdasan. Kita hanya fokus pada pencapaian angka-angka. Padahal untuk menjadi sukses dan hebat, seseorang butuh lebih dari itu. Seseorang membutuhkan ketekunan, daya tahan, serta ketabahan untuk menempa diri dan menjalani profesi.
Beberapa hari lalu, saya dipanel dalam satu diskusi dengan seorang sahabat yang kini jadi penulis puisi. Dia kini kesohor di bidang itu. Orang-orang mengira menulis puisi hanya membutuhkan bakat. Namun dari kisahnya, saya menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Dia menjalani hari-hari ketika rekan dan dunia sosialnya menganggap puisi tidak bisa memberi kehidupan.
Dia tekun. Dia tabah. Bahkan ketika mengerjakan puisi untuk satu film yang akan jadi blockbuster, dia menulis ratusan, kemudian dipilihnya beberapa untuk masuk buku dan tayang di film. Saya mengagumi kerja keras dan ketabahan yang begitu hebat.
Saya merenungi sistem pendidikan kita. Kata Duckworth, grit adalah sesuatu yang sukar diajarkan. Sekolah-sekolah kita hanya fokus pada capaian akademik. Namun, Duckworth luput melihat betapa pentingnya peran keluarga dalam menembuhkan Grit.
Saya ingat seorang akademisi di Makassar yang pernah memosting tangan keriput ayahnya yang berprofesi sebagai petani. Dia katakan, tangan keriput itu ditempa oleh panas, terbenam dalam lumpur, demi anak-anaknya bisa bersekolah. Tangan itu ikhlas menjalani hidup yang penuh keterbatasan demi membentang jalan sukses anak-anaknya.
Mata saya basah melihat postingannya. Justru pada kisah-kisah perjuangan itu, seorang anak bisa mengasah mentalnya sehingga tidak mudah jatuh. Dengan melihat ketulusan, kasih sayang, dan pengorbanan orang tua, seorang anak akan selalu bangkit dari setiap masalah.
Hidup memang tidak harus sempurna, untuk itu kita harus bangkit dan mengubah semua ketidaksempurnaan itu menjadi sekeping bahagia.
Namun, masih relevankah itu di zaman sekarang? Para orang tua sudah tidak sesulit dahulu. Pendidikan terbaik mudah didapatkan. Orang tua menyiapkan semua fasilitas dan memanjakan anak-anaknya. Banyak orang mengira, dengan menyekolahkan anak di tempat terbaik, maka selesailah persoalan. Padahal hidup tidak sesederhana itu Ferguso!
Ada banyak jawaban bisa diurai. Saya menyukai kutipan: "Menjadi tabah berarti bila kita jatuh tujuh kali, kita harus bangkit delapan kali." Saya ingat seseorang yang berkata, orang hebat bukanlah mereka yang berjalan lurus dan menggapai semua kesuksesan. Orang hebat adalah mereka yang setiap kali jatuh, selalu bisa bangkit kembali.
Itulah makna Grit.
3 komentar:
Tapi kenapa hal tersebut sampai saat ini belum tersentuh oleh para praktisi dan pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini, ya...
Sepertinya ini lebih efektif diajarkan orangtua kepada anaknya...
Sudah membaca
Posting Komentar