Mendayung di Antara Dua Karang Covid-19


ilustrasi

Di saat semua warga dunia terkejut karena serangan virus, di saat banyak negara dan bangsa tengah berjuang hingga titik darah penghabisan, negara kecil itu justru sukses melawan Covid-19. Negeri itu adalah Taiwan.

Taiwan tidaklah sebesar dan sekuat Amerika Serikat. Tapi negara yang wilayahnya hanya berupa kota di atas karang besar (great barrier) itu seakan menampar negara-negara besar tentang bagaimana sistem kesehatan bekerja. Gangguan sekecil virus bisa segera dikenali lalu dibatasi pergerakannya.

Covid-19 memang membuka banyak hal. Negara-negara yang terlihat maju dan kuat, ternyata punya sistem kesehatan yang sangat rapuh. Sementara negara-negara kecil justru lebih kuat dan sanggup menghadapi hantaman virus.

Kalau bukan karena Covid-19, kita tidak tahu kalau ternyata negara sekuat Amerika Serikat punya masalah dengan sistem pelayanan kesehatan untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Kita pun baru tahu kalau banyak negara Eropa tidak sehebat tayangan di televisi. Covid-19 telah membuka apa-apa yang selama ini tersembunyi.

BACA: Ideologi Kiri Kanan yang Menyambut Corona

Kita jadi tahu bahwa Taiwan sukses telah memberikan perlawanan dengan cara yang mengagumkan, dan hasil yang menawan. Hingga hari ini, di negara yang berbatasan dengan Cina itu, jumlah pasien yang positif Covid di Taiwan adalah 393, dengan angka kematian sebesar 6 orang. Hebat kan?

Dalam artikel berjudul Lessons from Taiwan’s Experience with Covid-19, Chang-Ching Tu menjelaskan empat pelajaran yang bisa dipetik dari Taiwan.

Pertama, pemerintahan yang efektif. Kita bisa melihat bagaimana pemerintah melakukan mitigasi dan penanggulangan virus melalui strategi “sedia payung sebelum hujan.” Kedua, data yang lengkap mengenai pasien rumah sakit, warga yang menderita pernapasan hingga tracking. Ketiga, kepatuhan publik yang sangat tinggi pada negara serta pengalaman menghadapi pandemi seperti SARS. Keempat, kolaborasi dengan banyak pihak untuk menyajikan informasi yang benar.

Taiwan terlihat kecil di mata Amerika Serikat. Tapi satu hal yang membuat warga Amerika Serikat iri adalah pemerintahan yang efektif dan bisa bekerja secara simultan bersama warga dalam melawan semua virus.

Semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, memahami dengan baik protokol penanganan bencana sehingga semua kekuatan bisa bergerak dan berkolaborasi dengan sangat efektif.

Taiwan mengajarkan semua pihak, bahwa yang terpenting bukanlah perdebatan apakah sistem kapitalisme ataukah sosialisme yang paling tepat dalam melawan bencana. Yang terpenting adalah bagaimana membangun satu sistem yang efektif sehingga semua organ negara bisa berkolaborasi dengan warga dan membuat aksi-aksi bersama.

Bahwa kapitalisme dan sosialisme hanya menawarkan mimpi-mimpi dan utopia. Rakyat tak butuh mimpi. Rakyat butuh pemerintah yang efektif dan bisa memaksimalkan semua sumber daya secara cepat untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Taiwan menang di titik ini.

Indonesia mesti banyak belajar pada negeri kecil itu. Indonesia adalah negeri gaduh, yang segala perdebatan selalu dilarikan ke ranah politik. Pemerintah kita dituding anti-sains sebab telah mengabaikan peringatan dini dari para ilmuwan. Betapa kita sedih melihat jumlah tes swab kita berada di level yang sama dengan Bangladesh.

Pemerintah kita sejak awal tidak terbuka apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tidak mengerahkan semua sumber daya untuk mengetes kesehatan warga sehingga yang tertular bisa segera dikarantina?

Mengapa tidak secara terbuka mengumumkan kalau kemampuan kita sangat terbatas untuk melakukan tes secara cepat? Mengapa kita tidak mengakui kalau laboratorium kita sangat terbatas sebab selama ini pemerintah hanya peduli pada start-up dan tidak menaruh kepedulian pada riset-riset yang efeknya bukan pada menghadirkan uang secepat mungkin?

BACA: Virus yang Membuka Banyak Aib Sosial Kita

Pemerintah kita juga tidak bisa memastikan para medis bisa terlindungi, juga tak memberi garansi kalau mereka diperlakukan secara layak saat gugur dalam perjuangan.

Di negeri ini, segala hal dikendalikan secara politik. Bahkan penanganan virus pun sering dilihat sebagai ajang berebut pengaruh untuk politik. Parahnya, sekian tahun negeri kita mengelola politik, solusi yang ditawarkan hanya kompromi dan bagi-bagi kekuasaan. Anda oposisi dan suka mengkritik, maka solusi membungkam Anda adalah berikan jabatan. Anda pun diam.

Namun yang dihadapi adalah virus yang bisa setiap saat membuat warga kehilangan nyawa. Penyelesaian yang kompromistis bukan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Negara harus bergerak cepat, memobilisasi semua kekuatan, demi melindungi tanah air dan segenap tumpah darah Indonesia.

Kita memang keteteran di awal. Tapi seiring waktu, kita mulai melihat insiatif pemerintah mulai muncul, meskipun masih sayup terdengar. Covid-19 menjadi bencana nasional. Anggaran negara direlokasi sehingga tersedia ratusan triliun. Jika dahulu, hanya pemerintah DKI Jakarta yang siaga, kini semua pemerintah daerah bersiaga dan menyiapkan anggaran untuk ikut bertempur.

Doktrin perlawanan kita adalah perlawanan rakyat semesta. Di masa perjuangan, semua rakyat bersatu dan melawan dengan cara masing-masing. Kini, perlawanan semesta itu harus segera dibangkitkan. Di semua lini, mulai dari pemerintah pusat hingga lapis komunitas, perlawanan mesti digaungkan. Bahkan masyarakat adat mulai mengeluarkan strategi kultural untuk mengunci wilayah adat agar membatasi pergerakan virus.

Harapan-harapan mulai bermekaran di hati kita saat melihat munculnya insiatif lokal di mana-mana. Pemerintah kita bisa bebal dan lambat sebab punya tanggung jawab mengurusi penduduk ratusan juta orang, tapi kita melihat muncul banyak inisiatif yang menolak sikap memaki kegelapan, tapi memilih untuk menyalakan lilin.

Di Agam, Sumatera Barat, warga desa menolak bantuan pemerintah sebab merasa berkecukupan dan berharap bantuan diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Di Banyuwangi, sejumlah warga desa menyiapkan rumah-rumah kosong sebagai tempat karantina bagi pemudik. Di Kalimantan Selatan dan Kota Ambon, polisi menyediakan dapur umum untuk warga terdampak. Di Kembangan, Jakarta, warga membagikan makanan gratis untuk kaum miskin.

Yang menyentuh hati adalah ketika warga saling membantu, tanpa melihat agama masing-masing. Kita mendengar warga Muslim menyiapkan makanan untuk saudara Kristiani yang sedang melakukan karantina. Demikian pula hal sebaliknya.

Memang, ada kisah warga yang menolak korban Covid dikuburkan. Namun di banyak lokasi, kita melihat ada banyak warga yang ikhlas menyiapkan lahan untuk menguburkan korban Covid. Kita melihat ada banyak orang baik yang ikhlas berbuat untuk orang lain,

Pemerintah pusat harus dihardik agar bergerak lebih cepat. Pemerintah daerah harus ditekan untuk selalu memberikan pelayanan terbaik, serta memunculkan inisiatif lokal. Kerja-kerja kritik harus tetap dipelihara semangatnya agar negara tetap membangun benteng perlindungan yang kuat bagi warganya.

Namun, kita jangan tenggelam dalam situasi putus-asa melihat segala hal tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Tidak usah terjebak dalam tengkar hingga berhari-hari mengenai stafsus milenial yang blunder itu. Saatnya bergabung dengan perlawanan rakyat semesta pada lini perang yang paling mungkin untuk kita lakukan.

Dahulu, Bung Karno sering mengibaratkan ibu pertiwi sedang memakai kebaya, dengan rambut disanggul dan memakai konde. Kata Bung Karno, jika kita sanggup menyumbang melati, letakkan melati di sanggul ibu pertiwi. Jika sanggup menyumbang mawar, sisipkan mawar di sanggul itu.

Kini, kita pun bisa memberikan apa yang kita miliki untuk ibu pertiwi. Jika punya kritik, berikan yang terbaik agar negara bekerja. Jika punya semangat, sebarkanlah agar orang lain punya asa dan bangkit melawan semua rasa putus asa. Jika tak punya apa-apa, berdiam dirilah, hentikan menyebar provokasi dan ketakutan yang hanya membuat putus asa seakan negeri ini tak punya harapan.

BACA: Saat Corona Menyerang Homo Deus

Dahulu, Bung Hatta menulis Mendayung di Antara Dua Karang, yang pernah dicatat Tempo sebagai buku terbaik yang pernah ditulis manusia Indonesia dalam sejarah. Hatta menyebut ideologi kita bukan kapitalis yang menekankan kebebasan dan lemahnya negara, bukan juga sosialis yang menjadikan negara sangat kuat sehingga menghilangkan kebebasan warganya.

Kata Hatta, kita menyerap ideologi Pancasila yang digali dari kultur Indonesia, ideologi yang menyerap kebaikan pada masing-masing ideologi. Kita tak ingin bangsa ini menyerap sisi buruk kapitalisme yakni jurang kaya miskin yang lebar, serta sisi buruk sosialisme yakni negara yang otoriter.

Covid-19 memunculkan harapan baru dalam diri kita akan hadirnya negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta masyarakat sipil yang kuat dan bisa bergerak dengan cepat untuk melindungi sesamanya, membasuh luka mereka yang sedang sakit, serta menumbuhkan bunga-bunga harapan pada sesama anak bangsa.

“Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta,” kata Bung Hatta.

Maka, bangkitlah Indonesia!



3 komentar:

AGUS AMRI, SH mengatakan...

Sangat berkelas

AGUS AMRI, SH mengatakan...

Sangat berkelas

Anonim mengatakan...

Mantap tulisannya Ka' 👍

Posting Komentar