Sepenggal Kisah IDRUS PATURUSI


sampul biografi IDRUS PATURUSI yang akan segera beredar


Mata saya masih setengah terpejam saat mengangkat HP yang berdering cukup lama di pagi hari. Sili Suli, seorang penulis asal Toraja, mengabarkan novelnya belum bisa dicetak. Tiba-tiba saja dia menyebut nama Profesor Idrus Paturusi, mantan Rektor Unhas.

“Saya akan kirimkan biografi Idrus Paturusi yang baru saja saya rampungkan. Buku itu belum beredar. Saya ingin Bung Yusran jadi pembaca awal yang bisa memberi masukan atas buku itu,” katanya.

Mata saya langsung berbinar. Saya lalu mengenang Idrus Paturusi, sosok yang matanya selalu teduh. Media punya banyak julukan kepada profesor kedokteran ini. Dia sering disebut dokter bencana. Ketika mendengar ada bencana alam, dia tidak pernah bertanya seberapa jauh lokasinya. Dia tidak pernah bertanya separah apa bencana itu.

Dia akan meninggalkan semua kesibukan demi mendatangi lokasi bencana itu sebagai dokter sekaligus relawan. Dia bekerja dengan fasilitas seadanya demi menghapus sedih di wajah mereka yang tertimpa bencana. Dalam kondisi darurat, dia memenuhi panggilan nuraninya demi menjadi setitik cahaya di tengah duka lara.

Bahkan dia berani meninggalkan kesibukannya sebagai Rektor Unhas. Idrus adalah sosok yang selalu meninggalkan zona nyaman. Dia menolak untuk sekadar melihat bencana dari layar televisi kemudian sibuk berceloteh sana-sini. Dia memilih turun ke lapangan. Dia menjadikan ilmunya sebagai sekuntum cahaya bagi korban bencana.

Dia hadir di banyak lokasi bencana. Mulai dari Meulaboh, Banda Aceh, Pidie Jaya, Nias, Padang, Bengkulu, Yogyakarta, Palu, Lombok, Flores, Ternate, Maluku, hingga ke Asmat. Dia [un juga hadir di Bam, Iran dan Tohoku, Jepang. Bahkan korban perang di Pakistan dan Afghanistan dihampirinya tanpa rasa takut, sekalipun nyawa taruhannya.

Sosok Idrus amat jauh dari sosok dokter dalam sinetron kita yang digambarkan bekerja di rumah sakit swasta yang mahal, ganteng, dan selalu necis. Idrus menjemput semua ketidaknyamanan dan menjadikannya sebagai ladang untuk mengabdikan ilmunya bagi orang lain.

Pernah saya terharu melihat fotonya sedang tertidur di kursi sederhana di dekat tenda, pada satu lokasi bencana. Bayangkan, seorang profesor doktor dengan kehormatan berderet-deret, juga memiliki ribuan murid, tapi berani menjawab panggilan kemanusiaan yang mengiang-ngiang di sanubarinya.

Pada Idrus Paturusi, saya melihat gabungan antara sosok Karaeng Pattingalloang dan Sultan Hasanuddin. Dia cendekia sekaligus petarung. Dia tidak hanya memasuki medan bencana sebagai “ayam jantan dari timur,” tapi membawa karakter seorang akademisi yang ke mana pun selalu beserta kompas nurani kemanusiaan. Dia menjadikan “ilmu amal padu mengabdi di pagi cerah senja teduh.”

Di sore hari setelah mendengar kabar dari Sili Suli, saya menerima kabar Idrus Paturusi menjadi pasien Covid-19 di Makassar. Padahal sehari sebelumnya, dia masih bekerja dalam kemanusiaan saat membagikan masker dan APD pada rumah sakit. Dia sengaja mengumumkan dirinya terkena virus agar orang-orang yang berinteraksi dengannya bisa ikut tes.

Dalam hati, saya berharap beliau tetap sehat agar bisa selalu memberi makna bagi Indonesia. Selama ini dia tak lelah mengobati dan menjalankan sumpah Hippoctares yakni “Saya akan membaktikan hidup untuk kepentingan perikemanusiaan.”

Kini, saatnya dia yang dilayani oleh semua orang yang pernah tersentuh dengan embun dedikasinya. Di sini, di tanah Bogor, saya mengucap banyak doa kesembuhan untuknya. Saya pun ingin mengutip puisi Hanya Seutas Pamor Badik, yang ditulis penyair asal Madura, D Zawawi Imron:

“Kata-kata dan peristiwa
telah lebur pada makna
dalam aroma rimba dan waktu

Hanya seutas pamor badik, tapi
tak kunjung selesai kulayari”



0 komentar:

Posting Komentar