ilustrasi |
Mengapa negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, hingga Italia dalam kondisi porak-poranda, sementara negara sosialis komunis seperti Cina, Vietnam, hingga Kuba perlahan keluar dari krisis dan mulai memimpin dunia untuk melawan Covid-19? Bagaimana dengan Indonesia?
Apa kaitannya dengan dunia yang suka rela berpaling ke big government dan panoptikon dalam konsepsi Michel Foucault?
***
Pengumuman itu hanya bertahan selama delapan jam. Donald Trump, pemimpin negeri superpower Amerika Serikat membatalkan sendiri pengumumannya mengenai lockdown kota New York. Beberapa hari lalu, tepatnya 28 Maret 2020, Trump diprotes para gubernur dan warga Amerika yang menentang karantina wilayah New York.
"Lockdown tidak diperlukan," tulis Trump di Twitter. Padahal sebelumnya Trump bersedia menerapkannya karena wilayah kota New York merupakan episentrum wabah di negara Paman Sam itu.
Negara bagian New York telah melaporkan lebih dari 53.000 kasus virus Covid-19 atau Corona baru, dari lebih dari 124 ribu di Amerika Serikat. Total kematian di kota itu menjadi 672 jiwa, sekitar sepertiga dari 2.185 kematian di seluruh Amerika Serikat. Trump ingin memotong mata rantai peredaran virus itu.
BACA: Virus yang Membuka Aib Sosial Kita
Namun mengunci New York tidak semudah itu. New York jauh lebih besar dari Ghana, yang presidennya bilang mudah mengembalikan ekonomi, tapi tidak ada cara menghidupkan orang meninggal.
New York adalah "ibu kota global dunia" untuk perdagangan dan keuangan. Kota ini bukan hanya menggerakkan perekonomian Amerika Serikat, tetapi juga dunia. Dengan menghentikan aktivitas di New York, mesin besar ekonomi dunia bisa perlahan kolaps. Jutaan orang bisa lebih menderita, dengan kadar yang jauh lebih parah dari infeksi virus.
Virus Covid-19 telah membuka mata dunia bahwa ketangguhan Amerika Serikat tidaklah sehebat apa yang terlihat dalam film Rambo. Armada virus yang berukuran kecil ini sanggup memorak-porandakan pertahanan negeri sekuat Amerika, memaksa warganya untuk tinggal di rumah, serta memberi amunisi bagi semua politisi untuk menghujat presidennya.
Negara yang tampak sekaya Amerika ternyata bisa kekurangan Alat Perlindungan Diri (APD) sehingga seorang perawat tewas gara-gara memakai plastik pembungkus sampah ketika bersentuhan dengan pasien yang terkena virus.
Virus ini bisa memaksa seorang Donald Trump untuk membungkuk di hadapan Presiden Cina Xin Ji Ping dan meminta kerja sama untuk menanggulangi wabah global. Bagi yang paham bagaimana situasi politik di Amerika pasti paham bagaimana arogansi negeri yang menjadi pemimpin dunia selama beberapa dekade.
Negara-negara lain pun ikut menerima imbasnya. Italia yang dikenal sebagai negeri flamboyan itu ternyata keropos dalam membentengi warganya. Inggris yang perkasa juga limbung. Demikian pula Jerman, Perancis, Turki, hingga kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Iran yang kini memilih damai dan fokus mengatasi virus.
Pada mulanya, semua negara shock dan tidak menyangka serangan virus itu demikian kuat. Sejak manusia mulai membangun peradaban, sejarah mencatat bagaimana bangsa-bangsa memperkuat benteng-benteng, persenjataan, hulu ledak nuklir, hingga strategi pertempuran di matra darat laut dan udara.
Namun di abad kekinian, virus Covid-19 datang dan justru menyerang satu titik lemah di dalam semua negara yakni sistem kesehatan yang seharusnya melindungi semua warganya. Seharusnya, sistem kesehatan nasional akan menjadi benteng pertahanan sekaligus memberi rasa aman bagi semua warganya.
Virus ini memberi pelajaran bahwa kemajuan suatu negara bukan karena angkatan perang, bukan karena hebatnya kekuatan ekonomi, bukan pula berapa banyak gedung pencakar langit, tetapi bagaimana membangun satu sistem yang kokoh, termasuk di antaranya pendidikan dan kesehatan, sehingga negara itu sanggup menanggulangi semua tantangan yang hadir di abad kekinian.
Kedepannya, kita akan mendefinisikan ulang apa yang disebut kemajuan suatu bangsa. Bukan lagi sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga seberapa kuat sistem kesehatan bisa menjadi payung yang menjaga kemaslahatan setiap bangsa dari semua ancaman penyakit.
Saatnya belajar pada Kuba, negara kecil berhaluan komunis. Negeri kecil yang serupa liliput bagi Amerika itu menampilkan kedigdayaan kesehatan yang bisa menjadi embun bagi negara lain. Pada saat kapal pesiar MS Braemar milik Inggris ditolak Amerika karena dikhawatirkan membawa virus, negara itu malah siap menerima dengan tangan terbuka, kemudian merawat semua penumpang yang terpapar virus.
dokter asal Kuba yang tiba di Italia |
Bahkan Kuba mengirim tenaga medis ke Italia yang kemudian disambut meriah. Negeri Kuba memang tidak kaya jika dilihat dengan kacamata ekonomi ala kapitalisme, tapi negeri itu punya sistem kesehatan yang bisa menyediakan layanan kesehatan yang preventif di tingkat desa sehingga penyakit apa pun bisa dideteksi di tingkat pelayanan dasar sehingga bisa ditangkal sebelum menghantam sistem kesehatan nasional.
Kuba menyiapkan satu dokter keluarga untuk 100 keluarga, yang tugasnya adalah mengetuk pintu warga untuk selalu memantau kesehatan warganya. Negara menyiapkan rumah bagi beberapa dokter ahli di Puskesmas yang secara rutin memantau kesehatan warganya.
Sebagai negara komunis yang diembargo Amerika, Kuba tidak suka bermain retorika nuklir dan ancam-mengancam. Negeri itu memperkuat sektor kesehatan sehingga memukau lembaga kesehatan PBB yakni WHO.
Kuba memperkuat riset kedokteran sehingga negara itu menjadi rujukan bagi negara lain di kawasan. Bahkan banyak warga Amerika Serikat yang datang ke Kuba untuk berbuat sebab percaya dengan kualitas dokter Kuba. Tidak mengherankan jika negeri ini bisa mendeteksi sekecil apa pun ancaman kesehatan warganya.
Jika virus ini berakhir, maka dunia akan mengalami keseimbangan baru. Negara sejahtera dan demokratis ternyata keropos. Negara yang dianggap totaliter dan otoriter, malah punya daya tahan dalam menghadapi bencana. Kita bisa lihat pada ketangguhan Cina, Singapura, Vietnam, hingga Kuba. Negara berhaluan komunis terbukti lebih sanggup mengontrol pergerakan warga sehingga menyelamatkan mereka dari bencana pandemi.
Sementara negara-negara demokrasi tak berdaya menahan warganya untuk disiplin pada aturan sebab warga punya kebebasan dan hak asasi yang dijunjung tinggi. Tidak mengejutkan jika beredar video tentang anak muda di Florida yang tidak peduli dengan virus ini. Mereka tetap santai dan berwisata ke pantai, tanpa harus takut dengan propaganda negara. Di Italia, orang tetap memenuhi kafe-kafe dan pusat perbelanjaan, meskipun negara menerapkan lockdown. Di Inggris, orang tetap lalu lalang.
Di Indonesia, orang malah sibuk teriak lockdown, tanpa menyadari akan ada dampak sosial yang bisa muncul jika kebijakan itu diterapkan. Orang-orang ingin berada dalam satu kerangkeng darurat militer, tanpa menyadari konsekuensinya di masa depan.
Bahkan ketika Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjemput bantuan ke Cina dengan pesawat militer, maka tepuk tangan bergema di seantero negeri. Padahal upaya itu semakin menguatkan peran militer serta memberi panggung bagi lahirnya big government yakni pemerintahan besar yang kelak akan mengontrol semua warganya dengan tangan besi.
Dalam artikel sebelumnya, saya sudah mencatat tentang kecenderungan warga dunia pada lahirnya Surveillance State atau negara dengan pengawasan yang sangat ketat. Kita bisa melihatnya pada Cina yang memaksimalkan big data dan artifical intelligent untuk memantau semua warganya. Cina mengumpulkan data melalui smartphone yang dipakai warga, kemudian menjadikannya sebagai instrumen untuk mengawasi warga.
BACA: Senjata Cina untuk Melawan Corona
Seusai wabah Corona berlalu, kerinduan pada negara kuat bisa memaksa warganya untuk mengubah bentuk negara menjadi lebih kuat. Publik menginginkan big government, tanpa menyadari jika pemerintahan yang mengontrol semua tindakan warganya bisa menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga negara ditempatkan sebagai pihak yang selalu benar.
Yuval Noah Harari mencatat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, teknologi memungkinkan pengawasan secara massif kepada semua warga. Negara bisa memanfaatkan teknologi untuk mengolah semua big data serta memantau biometri warga negara. Teknologi memberikan informasi detail tentang suasana hati publik, siapa yang bisa menggerakkan mereka, serta bagaimana mengendalikan publik untuk agenda-agenda negara.
Sebagai publik, kita tidak menyadari posisi kita yang sedang diawasi. Filsuf Michel Foucault dalam buku Discipline and Punish menyebut menara pengawas ini sebagai panoptikon, yang mengacu pada menara pengawas yang memantau pergerakan narapidana di dalam penjara. Pemerintah memantau dari dalam panoptikon tindak-tanduk warganya. Pemerintah setiap saat bisa mengambil warganya untuk didisiplinkan dan dijinakkan agar menjadi warga negara yang baik.
Percaya atau tidak, negara kuat yang mengontrol warganya ini adalah konsepsi yang amat dekat dengan negara dalam haluan ideologi sosialisme dan komunisme. Kita bisa melihat perwujudannya di Cina dan Kuba, saat hanya ada satu partai yang berkuasa, serta negara bisa mengontrol semua tindakan warganya. Pada akhirnya semua akan jadi sosialis juga.
Di luar aspek kapitalis dan komunis, wabah Covid-19 juga mengajarkan kenyataan lain pada kita. Negara seperti Korea dan Taiwan menjadi contoh hebat bagaimana negara mendorong keterlibatan publik seluas-luasnya hingga lahir kolaborasi hebat untuk menyingkirkan wabah.
Korea bisa menggerakkan warganya untuk saling terhubung dan membentuk the network society yang digambarkan sosiolog Manuel Castells sebagai jejaring terhubung dan saling bekerja sama. Kita bisa melihat bagaimana para pejabat memangkas gajinya, para artis menyumbang dan ikut berkampanye untuk mengusir wabah, serta keterlibatan publik secara sukarela untuk melakukan rapid test.
Korea menjadi contoh bagus dari civil society yang kuat, yang tidak nyinyir kepada negara, melainkan melakukan segala daya dan upaya untuk membantu negaranya demi memberantas virus itu. Dalam situasi krisis, kepercayaan pada otoritas serta pengakuan pada ilmu pengetahuan adalah dua sisi yang saling melengkapi dan memberi kekuatan pada satu bangsa. Korea perlahan bangkit dari serangan wabah.
Lantas di mana posisi Indonesia? Saya teringat tuturan sosiolog Arief Budiman dalam buku Mencari Ideologi Alternatif. Menurutnya, Indonesia ibaratnya membeli satu teknologi, tapi tidak membaca manual book-nya. Kita sejatinya kapitalis tapi malu-malu mengakuinya.
Buktinya, sektor swasta berkembang pesat. Bahkan pelayanan terbaik rumah sakit pun disediakan oleh swasta. Kapitalisme itu baik sebab membawa kita pada kesejahteraan. Tapi hingga kini, kesejahteraan itu hanya milik segelintir orang. Kita berada di dasar piramida, di mana puncaknya hanya ada sedikit orang.
BACA: Saat Corona Menyerang HOMO DEUS
Jika hari ini banyak orang bicara lockdown dan ingin darurat militer, maka bisa jadi itu adalah kerinduan kita untuk kehidupan yang serba diatur negara, termasuk kesehatan serta adanya bantuan sosial, termasuk sandang, papan, dan rumah. Kita ingin kebaikan negara sosialis, tetapi berada dalam ekonomi kapitalis. Kita suka sesuatu yang campur-campur sebagaimana gado-gado. Kita tidak di kanan, juga tidak di kiri.
Kita tak punya fokus dan protokol dalam menghadapi wabah. Di tengah pendemi, kita masih sibuk berdebat remeh-temeh, di antaranya siapa yang paling peduli rakyat, apakah presiden ataukah gubernur?
Kita tidak menyatukan kekuatan. Terlalu banyak orang pintar di negeri ini sehingga kita saling menyalahkan. Kita belum bisa move on. Kita masih suka debat ecek-ecek. Kita masih suka saling olok. Sementara rakyat kita perlahan harus terkapar satu demi satu di tengah lemahnya sistem kesehatan nasional kita. Setiap saat, kita juga bisa ambruk.
Jangan-jangan kita memang butuh sistem sosialis.
32 komentar:
Setuju
Sangat mencerahkan
Tercerahkan
Saya pikir, kita lebih cocok dengan ideologi Islam. Kesultanan. Karena sesuai dengan sejarah budaya kita
Keren
,ulasan yg sangat bagus sekali
nice writing...
nice writing...
https://news.detik.com/berita/d-4877848/jokowi-jangan-ada-puskesmas-yang-bangga-karena-banyak-income-keliru-itu
https://m.mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1783-pusat-kesakitan-masyarakat
http://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1789-hukum-tertinggi-covid-19
cukup berimbang..👍
Luar biasa
Pencerahan yg sangat menggugah & semoga pemerintah peduli dengan rakyatnya atas nama kesehatan, keselamatan & kemanusiaan 💪💪💪
thanks bang
skrg coba saatnya kita beralih ke sosialis krn selama ini dikangkangi liberal namun tak tampak lebih baik
Good... sangat bermanfaat..trmksih...
apapun itu, kita berharap Indonesia menjadi bangsa unggul dan terdepan.
Betul,kita belum bisa move on
Betul, kita belum bisa move on
Betul, kita belum bisa move on
Corona ini kayaknya mengajarkan kita ttg perbedaan kapitalis dan sosialisme kak...
ijin share ya...
Tercerahkan
Tiga pragrf trakhir... realitas sosial kita ��
makasih atas apresiasinya.
makasih
amin. kita sama berharap supaya badai ini segera berlalu.
apapun itu, kita berharap Indonesia bisa bertahan hingga seribu tahun lagi.
Tulisan yang keren mas....seperti DNA negara kita yang pernah menjadi salah satu pelopor gerakan non blok, ya jadinya kayak ditengah2 terus, abu2, padahal posisi ditengah itu berpotensi menjadi Wasit dunia, sekarang tergantung kita mau menguatkan kapabiltas bangsa gak...
Dahsyat Bang. 🤙
Pengen ta belajar menulis sama kak yusran darmawan
Saya selalu suka dengan tulisan bapak,, lanjutkan terus pak
Sekali sekali muncul di ILC bang
Posting Komentar